KALAU tidak ada aral melintang, akhir bulan ini, akan terbit majalah wanita Kartini, yang baru. Berarti akan bcredar di pasaran dua majalah Kartini, dengan Surat Izin Terbit (SIT) yang sama, penerbit sama, tapi dengan pimpinan berbeda. Sebab, sampai saat ini, masih beredar majalah Kartini lama, pimpinan Willy Risakota dan kawan-kawan. Keputusan itu dilakukan Lukman Umar, gara-gara upayanya untuk duduk kembali di kursi pimpinan umum majalah Kartini lama, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung, sampai kini masih terkatung-katung. Untuk itu pengacaranya, Munir, memasang iklan dan menyebutkan tanggal terbit majalahnya: 30 Desember ini. "Ini merupakan upaya saya yang terakhir -semua risiko akan saya hadapi untuk ini," ujar Lukman. Lukman memang sudah kepalang basah dalam tiga tahun sengketanya dengan kelompok Willy Risakota. Pada 1982, berkedudukan sebagai pimpinan umum, pimpinan perusahaan Kartini, sekaligus pengurus Yayasan Pratama Sari -penerbit majalah itu - ia didepak kelompok Willy yang menuduhnya hendak mengangkangi perusahaan. Sengketa menjadi urusan pengadilan. Lukman menang. Selain mendapat ganti rugi Rp 50 juta, ia juga berhak atas kedudukannya di majalah Kartini dan Yayasan Pratama Sari. Begitu pula di peradilan banding dan kasasl. Tapi, ternyata, tidak mudah melaksanakan putusan itu. Semula, ia meminta eksekusi atas putusan kasasi, tertanggal 30 Maret, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi, sebelum eksekusi itu terlaksana, Mahkamah Agung mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 27 Juni 1985, yang memerintahkan eksekusi itu ditunda. Alasannya, pihak Willy mengajukan permohonan peninjauan kembali. Tapi, surat Mahkamah Agung itu, ternyata, pada 30 November lalu diralat. Dalam ralat itu, yang ditandatangani Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto S. Gandasubrata, disebutkan tidak terdapat alasan untuk menunda eksekusi - walau ada upaya permohonan kembali keputusan Mahkamah Agung dari Willy. Selam itu, menurut Mahkamah Agung, pihak pengadilan hanya bisa melaksanakan eksekusi untuk putusan yang bersifat condemnatoir - berupa hukuman. Sedangkan putusan yang bersifat declaratoir - berupa pernyataan - tidak perlu eksekusi pengadilan. Artinya, selain untuk soal ganti rugi, Lukman otomatis duduk kembali di kursi pimpinan umum/perusahaan majalah Kartini dan Yayasan Pratama Sari, begitu putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tapi, masih tidak gampang bagi Lukman untuk masuk kembali ke Kartini. Willy tidak berniat memasukkan nama Lukman kesusunan pimpinan majalah itu dalam permohonan SIUPP-nya ke Departemen Penerangan - sebagai pengganti SIT. Bahkan nama Lukman, yang selama ini disebut nonaktif di majalah itu, sejak putusan Mahkamah Agung malah dicoret sama sekali. "Kami memang kalah dari segi hukum. Tetapi yang mengatur hidup majalah ini adalah Departemen Penerangan. Karena itu, penyelesaian selanjutnya kami percayakan ke sana," ujar Willy, beberapa waktu lalu. Bahkan ia menjawab pengumuman Lukman. Pada iklannya, Jumat pekan lalu, pihak Willy mengumumkan merekalah yang menjadi pengurus resmi Yayasan Pratama Sari. Sebab itu, ia berpendapat bahwa SIT majalah Kartini adalah milik pihaknya. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Sukarno mengatakan bahwa sampai saat ini masih ada perbedaan penafsiran antara kedua pihak tentang eksekusi itu. Pihak Willy menganggap semua eksekusi harus ditunda, sementara menurut Lukman untuk putusan condemnatoir tidak perlu eksekusi pengadilan. "Sebagai Deppen, kami mengimbau agar mereka menunggu keputusan peninjauan kembali Mahkamah Agung dulu. Sebab, bisa-bisa putusan Mahkamah Agung berubah," kata Sukarno, menanggapi niat Lukman menerbitkan majalah baru. Lukman ternyata tetap bertekad menerbitkan Kartini barunya itu. "Biar seru, dan tentu tidak mungkin majalah kembar seperti itu bertahan lama. Dan, jangan lupa, yang berhak atas SIT-nya adalah saya," ujar Lukman. Untuk itu Lukman pun siap menerima risiko. "Saya sudah siap menjadi kere sekalipun," ujar Lukman. KI Laporan Musthafa H. dan Eko Y. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini