SELAMA 40 tahun Diana Elisabeth, 41, menempati rumah di atas tanah seluas 900 m2 itu. Tapi, penduduk Desa Gudo di Jombang itu tiba-tiba digugat orang yang tidak dikenalnya, Aniek Triman, dari desa yang sama. Aniek, istri Mantri Suntik Triman, mengaku memiliki tanah berstatus "milik negara" itu dengan memberikan ganti rugi kepada Ong Tiep Nio Rp 700.000. Termasuk di dalamnya rumah Diana, istri Iskak, seorang makelar sepeda. Transaksi jual beli dilakukan pada 1982 di hadapan Camat Ismanoe, disaksikan oleh Kepala Desa Gudo, Darmo, bertempat di Kecamatan Gudo. Masalahnya kemudian jadi ruwet, bahkan sampai ke pengadilan, karena adanya surat-surat penting yang dipalsukan. Antara lain, surat pelepasan hak tanah negara yang tercatat atas nama Ong Sik Tjhwan, surat ikhtisar bagi golongan Tionghoa, seperti akta kelahiran. "Saya baru tahu bahwa tanah ini dijual orang," ujar Diana, kepada Saiff Bakham, dari TEMPO. Waktu itu 1982, kata Diana, ia dipanggil oleh Kantor Agraria Jombang, agar menyingkir dari tanah ini karena sudah dijual oleh Tiep Nio. Tapi ia membantah, karena "tidak ada orang maupun keluarga yang menjualnya, apalagi saya lahir di rumah gedek itu," tambahnya dengan nada tinggi. Dahulunya tanah itu milik Ong Sik Tjhwan bersama istrinya, Liem Pian Nio, yang masih terhitung bibi Diana. Merasa tidak memiliki keturunan dan sudah menganggap Diana seperti anak sendiri, mereka memberikan tanah itu untuk ditempati Diana. "Saya punya bukti akta notaris bahwa tanah sewa ini adalah hak saya, karena tidak bisa diwariskan," ujar Diana kesal. Baru belakangan muncul nama Ong Tiep Nio yang mengaku sebagai ahli waris, lengkap dengan "bukti-bukti". Di Pengadilan Negeri Jombang, Diana dikalahkan, karena surat jual beli tanah itu dianggap sah oleh hakim. Diana naik banding. Lagi-lagi dia kalah. Sebab, katanya, bukti-bukti yang diajukannya ke pengadilan tingkat pertama, dan mestinya dikirimkan bersama-sama berkas banding ke Surabaya telah diubah. Bukti-bukti dulu yang dibuat di atas kertas biasa, katanya, diganti di atas kertas segel ditandatangani camat dan kepala desa lengkap dengan stempel dinasnya. "Hanya saja camat dan kepala desa tidak mencantumkan nama jelasnya," tuduh Diana, yang mendapat informasi penyimpangan itu dari orang dalam pengadilan. Saksi lain, yang memperkuatnya, adalah Camat Ismanoe: "Saya tidak pernah menandatangani surat bukti pelepasan ganti rugi antara Tiep Nio dan Aniek Triman." Tekad Diana tidak juga padam, walaupun bandingnya dinyatakan kalah. Dia berangkat ke Jakarta, ke Kantor Direktorat Jenderal Agraria di Jalan Sisingamangaraja, dan ingin menemui Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam. Jerih payahnya tidak mengecewakan. "Ini buktinya, Agraria Pusat memerintahkan agar proses pelepasan hak ditinjau kembali, dan proses pembuatan sertifikat untuk Aniek Triman harus dihentikan," kata Diana, sembari mengeluarkan selembar kertas. Untuk itu, hampir setiap hari Diana bersepeda sejauh 13 km dari Gudo ke kantor pengadilan di Jombang. "Saya harus bertemu dengan Pak Surip, panitera yang bertugas waktu itu, untuk menanyakan apa benar hasil jalannya persidangan telah diubahnya," tutur Diana. Tapi, sayang, Surip sedang mengikuti penataran hakim di Jakarta. November lalu, Diana naik kasasi ke Mahkamah Agung, dan awal bulan ini "saya melaporkan perkara pemalsuan itu ke Polres Jombang dan Polda Jawa Timur," katanya. "Lho, mengapa baru sekarang diungkapkan? Kalau isi putusannya dianggap tidak benar, silakan banding atau kasasi," tutur Zuraidah, hakim yang menangani perkara itu. "Ini 'kan perkara perdata," tambahnya. Diakuinya, bisa saja seorang panitera salah dalam mencatat apa yang terucap dalam persidangan. Dan, katanya, belum pernah ada orang yang mempersoalkan panitera karena salah catat. "Panitera 'kan disumpah, masa dia berani mencatat yang nggak-nggak dengan sengaja?" kata Zuraidah. Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini