Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan kerja sama antara bos perusahaan swasta dengan petinggi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PT PPI dalam kasus korupsi impor gula. Kasus ini juga menyeret eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong (TTL).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini diungkapkan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung, Abdul Qohar, saat mengumumkan sembilan tersangka baru dalam kasus korupsi impor gula. Mereka merupakan bos perusahaan swasta yang mengimpor gula kristal mentah (GKM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembilan tersangka baru itu adalah TWN (Direktur Utama PT Angels Product/AP); WN (Presiden Direktur PT Andalan Furnindo/AF); AS (Direktur Utama PT Sentral Usahatama Jaya/SUJ); IS (Direktur Utama PT Medan Sugar Industri/MSI); PSEP (Direktur PT Makassar Tene/MT); HAT selaku (Direktur PT Duta Segar Internasional/DSI); ASB (Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas/KTM); HFH (Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur/BMM); dan ES (Direktur PT Permata Dunia Sukses Utama/PDSU).
Abdul Qohar lantas menjelaskan posisi kasus. "Pada 2 Mei 2015, berdasarkan rapat kordinasi antarkementerian, disimpulkan Indonesia surplus gula, sehingga tidak membutuhkan impor gula," ujar dia dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta pada Senin, 20 Januari 2025.
Tapi pada tahun tersebut, lanjut Abdul Qohar, tersangka TWN selaku Direktur Utama PT AP, mengajukan permohonan persetujuan impor raw sugar atau GKM sebanyak 105.000 ton. Selanjutnya pada 12 Oktober 2015, Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sejumlah itu kepada PT AP untuk dikelol menjadi gula kristal putih. Padahal sesuai Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004, yang boleh mengimpor gula kristal putih hanya lah badan usaha milik negara atau BUMN.
Selain itu, Abdul Qohar menjelaskan, impor gula kristal mentah tersebut dilakukan tidak melalui rapat koordinasi dengan intasi terkait. Impor ini juga tanpa rekomendasi dari Menteri Pendustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.
Pada 20 Agustus 2016, dilakukan rapat koordinasi oleh kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu pembahasannya adalah Indonesia, pada Januari sampai April 2016, diperkirakan kekurangan gula kristal putih (GKP) sebanyak 200 ribu ton.
"Namun, dalam rapat tersebut tidak pernah diputuskan bahwa Indonesia memerlukan impor gula kristal putih," ucap Abdul Qohar. Selanjutnya pada November sampai Desember 2015, tersangka Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI telah memerintahkan stafnya untuk bertemu dengan delapan perusahaan gula swasta. Yakni, PT AP, PT AF, PT SUJ, PT MSI, PT PDSU, PT MT, PT DSI, dan PT BMM. Persamuhan itu dilakukan selama empat kali di Gedung Equality Tower Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan.
"Jadi sebelum ada penandatanganan kontrak, kedelapan perusahaan tersebut sudah diundang lebih dulu, sudah diberitahu, mereka nanti yang akan melakukan pengadaan GKM untuk diolah menjadi GKP, dalam rangka stabilisasi harga pasar dan stok gula nasional," ungkap Abdul Qohar.
Pada Januari 2016, Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PT PPI yang berisi penugasan untuk memenuhi stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Ini dilakukan melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memgimpor dan mengolah GKM menjadi GKP sebanyak 300 ribu ton.
"Jadi penugasannya baru belakangan, setelah mereka dilakukan rapat empat kali untuk ditunjuk sebagai impor," kata Abdul Qohar.
PT PPI lalu membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut. Padahal, lanjut dia, seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga gula, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung. Adapun GKP hanya dapat diimpor perusahaan pelat merah.
Selanjutnya, Tom Lembong memerintahkan Karyanto Supri selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) untuk menerbitkan persetujuan impor GKM untuk diolah menjadi GKP kepada delapan perusahaan swasta yang sudah ditunjuk. Persetujuan impor itu, menurut Abdul Qohar, diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, serta tanpa adanya rapar koordinasi dengan intansi terkait. "Kedelapan perusahaan swasta yang mengelola GKM menjadi GKP tersebut izin industrinya adalah produsen gula rafinasi," ucap Abdul Qohar.
Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117 Tahun 2015, gula kristal yang diimpor itu hanya dapat diolah menjadi gula kristal rafinasi (GKR). GKR digunakan untuk memenuhi kebutuhan sektor industri makanan, minuman, dan farmasi, serta tidak dapat diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
"Selanjutnya PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut," lanjut Abdul Qohar. Padahal, kenyataannya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke pasar atau masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengan mereka.
Gula itu dibanderol Rp 16.000 per kilogram, lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi (HET) saat itu yang sebesar Rp 13.000 per kilogram. Penjualan tersebut juga tidak dilakukan melalui operasi pasar, tapi langsung di pasaran dengan harga pasar saat itu.
"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP tersebut, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola GKM menjadi GKP sebesar Rp 105 per kilogram," ucap Abdul Qohar.
Kemudian pada 28 Maret 2016, Tersangka TWN selaku Direktur Utama PT AP mengajukan perpohonan penjualan impor raw sugar sebanyak 105.000 ton. Pada tanggal dan hari yang sama, kata Abdul Qohar, Tom Lembong menyetujuinya.
Lagi-lagi, persetujuan tersebut tanpa melalui pembahasan rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian. Persetujuan itu juga tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian.
Pada 8 April 2016, TWN selaku Direktur Utama PT AP mengajukan kembali permohonan kesetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 157.500 ton. Tom Lembong, pada hari dan tanggal yang sama, langsung menerbitkan persetujuan impor GKM untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Pada 28 April 2016, delapan tersangka yakni TWN (Direktur Utama PT AP), WN (Presiden Direktur PT AF), HS (Direktur Utama PT SUJ), IS (Direktur Utama PT MSI), TSEP (Direktur PT MD), HFH (Direktur PT BMM), ES (Direktur PT BDSU), dan ES (Direktur PDSU) mengajukan permohonan impor raw sugar dengan sebanyak 200 ribu ton. Atas permohonan tersebut, Tom Lembong memerintahkan Karyanto Supri selaku Pelaksana Tugas Dirjen Daglu untuk menyetujui impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih kepada delapan perusahaan itu.
Pada 7 Juni 2016, tersangka ASB selaku Direktur Utama PT KTM mengajukan permohonan pertujuan impor gula kristal mentah sebanyak 110 ribu ton. Tom Lembong lantas menyetujuinya, tanpa melalui rapat koordinasi bersama Kementerian Koordinator Perekonomian dan rekomendasi Kementerian Perindustrian.
Terakhir, pada 29 Juni 2016, tersangka HFH selaku Direktur Utama PT BMM memerintahkan Alberti J. Tohubu selaku Direktur PT BMM untuk mengajukan perpohonan persetujuan impor raw sugar sebanyak 20 ribu ton. Abdul Qohar menyebut, permohonan ini juga disetujui oleh Tom Lembong tanpa pembahasan dan rekomendasi instansi lain.
Atas perbuatannya, sembilan tersangka dari pihak swasta ini disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pilihan Editor: Kuasa Hukum Tom Lembong MelaporDugaan Kecurangan Sidang Praperadilan ke Komisi Yudisial