Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR seratus orang mendatangi kantor DPRD Yogyakarta. Mereka mengusung sejumlah poster. Satu di antaranya tampak besar dan mencolok mata. ”PP 37/2006 Merampok Uang Rakyat,” demikian bunyinya. Aksi yang dilakukan sejumlah anggota lembaga swadaya masyarakat Kota Gudeg, Senin pekan lalu, itu mengawali protes penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006, yang rencananya bakal digelar di sejumlah kota lainnya. ”Targetnya, peraturan itu dicabut,” kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Yogyakarta, Denny Indrayana.
Inilah Peraturan tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, yang dua pekan terakhir mengundang kecaman di sana-sini. Peraturan tersebut mengatur gaji dan fasilitas anggota DPRD. Yang baru dalam aturan tersebut, munculnya tunjangan komunikasi intensif untuk anggota DPRD serta dana operasional untuk ketua dan wakil ketua.
Aksi penolakan atas peraturan ini tak hanya melalui aksi jalanan. Gerakan Rakyat Menggugat Yogyakarta dan Koalisi Tolak PP 37 di Jakarta, misalnya, kini sudah mempersiapkan gugatan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), yang juga anggota Koalisi Tolak PP 37, menilai peraturan pemerintah ini melanggar Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Soalnya, menurut undang-undang itu, satu tahun anggaran adalah mulai 1 Januari sampai 31 Desember. Sedangkan PP 37 menyatakan pembayaran tunjangan komunikasi dan dana operasional mulai Januari 2006.
Dampak dari tunjangan ini juga memukul kantong keuangan daerah. Dalam peraturan itu dinyatakan, tunjangan komunikasi paling tinggi tiga kali uang representasi (gaji) Ketua DPRD. Dana operasional ketua dan Wakil Ketua DPRD maksimal enam kali uang representasi. Fitra memperkirakan, dengan asumsi dana representasi Rp 3 juta dan jumlah anggota DPRD kabupaten plus kota sekitar 15.000 orang, maka duit yang harus dirogoh dari kocek anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sekitar Rp 1,4 triliun. ”Itu cuma untuk rapelan,” ujar Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Ucok Sky Khadafi.
Menurut Denny, peraturan pemerintah ini lahir karena tekanan DPRD. Sejak 2000 hingga kini, pemerintah sudah tiga kali merevisi peraturan ini. Awalnya adalah PP No. 110 Tahun 2000. Peraturan ini dianggap tak memberi kesejahteraan memadai. Inilah yang menyebabkan sejumlah DPRD ”menyiasati” anggaran, tapi buntutnya mereka berurusan dengan aparat hukum karena dituduh korupsi.
Berdasarkan data Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi), tak kurang dari 10 persen anggotanya terjerat kasus korupsi akibat PP No.110. Adeksi bersama Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi) serta Asosiasi DPRD Provinsi lantas meminta peraturan itu direvisi. Maka, lahirnya PP Nomor 24 Tahun 2004. Tapi peraturan baru ini belum memuaskan DPRD. Keberatan utamanya, tunjangan perumahan dan kesehatan dianggap tak memadai. Ketentuan ini kembali direvisi dengan memasukkan dua tunjangan dalam PP No. 37 Tahun 2005.
Ternyata ini juga dianggap belum cukup. Inilah yang memicu lahirnya peraturan daerah soal uang lelah, upah, insentif, dan semacamnya. ”Mereka merasa perlu dana untuk kegiatan menampung aspirasi masyarakat,” kata Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri, Daeng Muhammad Nasir, kepada Tempo. Daeng memberi contoh DKI Jakarta, yang menerbitkan Perda No. 114 Tahun 2005. Peraturan itu mengatur soal insentif Rp 1,5 juta kepada anggota DPRD yang menerima tamu dan Rp 2 juta untuk Ketua DPRD. Menteri Dalam Negeri merespons semua ini dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 188 pada 4 Januari 2006. Menteri mengingatkan anggaran semacam itu tak diperbolehkan dan melawan hukum.
Surat edaran ini kemudian dibahas dalam rapat kerja Adeksi, 12-15 Januari 2006. Mereka minta surat edaran menteri itu dicabut. ”Surat itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Ketua Adeksi, Soerjo Respationo. Menurut Soerjo, pihaknya tak ingin ”musibah” akibat PP 110 terulang.
Adeksi dan Adkasi juga bertemu Menteri Dalam Negeri. Pada pertemuan 10 Februari 2006, mereka menumpahkan unek-unek seputar surat edaran itu. Mereka juga menyatakan perlunya tunjangan komunikasi dan dana operasional. ”Itu untuk anggaran kami bertemu konstituen,” kata Soeryo.
Tak hanya itu. Menurut Daeng, dalam pertemuan itu para perwakilan asosiasi juga menyinggung fasilitas ”kakak” mereka, para anggota DPR di Senayan. Menurut mereka, anggota DPR mendapat tunjangan komunikasi Rp 14,140 juta dan untuk ketua Rp 14,968 juta. Untuk dana operasional, Ketua DPR mendapat Rp 30 juta, wakil ketua Rp 22 juta. ”Kalau DPR Rp 14 juta, anggota DPRD provinsi Rp 9 juta, kabupaten dan kota Rp 6 juta, kan sudah pas,” kata Nasir, mengutip permintaan wakil asosiasi.
Denny Indrayana menuding tekanan asosiasi itulah penyebab pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang menyediakan tunjangan komunikasi dan operasional. Nasir mengakui adanya tekanan itu. ”Saat pertemuan, sempat ada yang nyeletuk. Kalau tak disetujui, kita boikot saja,” kata Nasir. Usai pertemuan, asosiasi menyampaikan draf revisi. Sembilan bulan kemudian, lahirlah PP 37 tersebut.
Celakanya, peraturan ini membuat keuangan pemerintah daerah jebol. Menurut Ucok, banyak keuangan daerah yang terancam defisit lantaran peraturan ini. Ia memberi contoh Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yang pendapatan asli daerahnya nyaris sama dengan belanja DPRD-nya, yakni sekitar Rp 6 miliar. ”Ini kan tidak proporsional,” katanya.
Pemerintah belakangan berupaya mengoreksi aturan ini. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bobolnya anggaran daerah lantaran besarnya tunjangan untuk para wakil rakyat itu memakai ukuran maksimum. ”Itu tidak proporsional,” ujar Sri Mulyani. Untuk mencegah defisit anggaran daerah, pemerintah segera mengeluarkan petunjuk pelaksanaan yang memerintahkan pembayaran tunjangan itu sesuai dengan kemampuan daerah yang terbagi dalam tiga kelas ekonomi.
Penentuan kelas ekonomi ditentukan oleh besaran pendapatan umum dikurangi belanja pegawai. Pendapatan umum itu meliputi PAD, dana alokasi umum, dan dana bagi hasil. Hanya daerah yang sisa pendapatan umumnya di atas Rp 1,5 triliun untuk provinsi, dan Rp 500 miliar untuk kabupaten atau kota, yang bisa mengambil jatah tunjangan dan dana operasional secara maksimal.
Tapi, bagi sejumlah LSM, aturan terbaru pemerintah ini tetap saja tak memecahkan masalah. Mereka tetap meminta peraturan itu dicabut. ”Ini bukan semata besarnya uang, tapi karena munculnya tunjangan tidak jelas itu,” ujar Ucok. Bisa dipastikan, perlawanan terhadap PP 37 itu akan terus ”menyala” di mana-mana.
Abdul Manan, L.N. Idayanie, Syaiful Amin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo