Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kekerasan Seksual dan Perbudakan Terlegitimasi dalam Sistem Budaya Lokal Sumba Timur

Budaya yang masih menganut stratifikasi membuat beberapa kalangan menjadi korban pemiskinan, kekerasan seksual, bahkan perdagangan orang.

2 Desember 2024 | 14.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pendeta perempuan, Herlina, mengungkapkan kondisi memprihatinkan dari budaya lokal di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Budaya yang masih menganut stratifikasi (kelas sosial) membuat beberapa kalangan menjadi korban pemiskinan, kekerasan seksual, perbudakan bahkan perdagangan orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di budaya Sumba terdapat beberapa golongan masyarakat yang menandai kelas hidup mereka. Pertama, golongan maramba (bangsawan), kedua golongan kabihu (golongan yang merdeka) dan terakhir golongan ata (hamba atau kelas sosial paling bawah).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Herlina mengungkapkan nilai budaya dan strata sosial itu terus berkembang dari zaman leluhur sampai zaman modern sekarang ini. Nilai budaya yang dianggapnya tak lagi relevan, juga ternyata berdampak pada kualitas hidup dan terlanggarnya Hak Asasi Manusia (HAM) orang lain.

“Saya pernah mengadvokasi beberapa kalangan ata (hamba) di sana. Ata kerap mendapatkan kekerasan fisik dari tuannya. Terkadang, ata perempuan mengalami kekerasan berlapis. Karena ia tak hanya mendapat kekerasan dari sesama ata (biasanya ata laki-laki), tetapi juga kekerasan dari tuannya sekaligus,” kata Herlina dalam diskusi tentang Perbudakan di Sumba, dikutip Ahad, 1 Desember 2024.

Tak jarang, kata Herlina, anak perempuan ata yang belum cukup umur diperkosa oleh tuannya dengan alasan tuannya harus memiliki keturunan. Anak dari hasil pemerkosaan itu, menurut dia, juga seringkali diperjualbelikan dengan sesama bangsawan.

Para hamba di Sumba Timur, berdasarkan pengalaman advokasi yang pernah ia tangani, tak pernah punya daya untuk melapor. Banyak hal yang menjadi faktor. Misalnya tak memiliki kesadaran bahwa apa yang dialaminya merupakan bentuk pelanggaran HAM dan kekerasan seksual. Belum lagi intervensi yang sangat kuat dari tuannya agar apa yang dialaminya itu tak sampai diketahui oleh orang di luar kampungnya.

“Dari kasus itu, kami kemudian melihat bahwa ini tidak bisa, ini bukan kekerasan biasa. Ini kekerasan yang berkelindan di dalam budaya dan sangat sering terjadi di sini. Karena para hamba tidak punya akses apa pun,” kata dia.

Sumba Timur masih menghadapi praktik perbudakan tradisional yang melibatkan eksploitasi perempuan dan anak-anak. Masyarakat yang masih menganut struktur sosial perbudakan tradisional, menempatkan anak-anak yang berasal dari kaum hamba (budak) sering kehilangan akses pendidikan, kesehatan, dan hak asasi manusia.

Sementara itu perempuan kaum hamba menghadapi penguasaan atas tubuh mereka, melanggengkan siklus perbudakan. Anak-anak hamba juga kerap menjadi pekerja anak. Mirisnya, mereka jarang mendapatkan perhatian dari kacamata formal atau kebijakan yang berkaitan dengan pekerja anak.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus