Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat Paniai menyatakan tak heran dengan vonis bebas yang dijatuhkan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar terhadap terdakwa Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu. Mereka bahkan sudah meramalkan putusan tersebut sejak awal kasus ini ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pernyataan bersama keluarga korban yang diterima Tempo, mereka menyatakan sudah meramalkan putusan tersebut sejak Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu orang tersangka dalam tragedi yang menewaskan empat orang warga sipil dan menyebabkan 17 orang luka-luka tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dugaan kami itu menjadi kenyataan sekarang," tulis mereka, Kamis, 8 Desember 2022.
Keluarga korban menyatakan menyatakan penetapan satu tersangka itu sebagai bentuk ketidakberpihakan penegak hukum kepada para korban. Karena hal itu, mereka menyatakan tak pernah menghadiri sidang kasus tersebut di PN Makassar.
Selain itu, mereka juga menilai sikap penegak hukum seperti itu tak menghargai mereka sebagai manusia. Hal tersebut, menurut mereka, juga terjadi kepada korban pelanggaran HAM lainnya di Papua.
"Itulah sebabnya kami menolak hadir, karena pengalaman pengadilan pelanggaran HAM sebelumnya di Papua," tulis mereka.
Meskipun demikian, mereka tetap berharap pemerintah bisa membuka ulang penyidikan kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini.
"Walaupun Pemerintah Indonesia melalui pengadilan Makasar memvonis bebas terhadap tersangka, tetapi kami keluarga korban mengatakan kasus pelanggaran HAM berat Paniai belum di selesai oleh Indonesia secara adil dan jujur bagi keluarga korban dan korban," tulis mereka
Putusan Pengadilan HAM
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pengadilan Negeri Makassar memberikan vonis bebas terhadap Mayor Inf (Purn) Isak Sattu yang menjadi terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai.
"Mengadili menyatakan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana didakwakan pertama dan kedua," kata Ketua Majelis Hakim HAM, Sutisna, Kamis, 8 Desember 2022.
Hakim dalam amar putusannya memerintahkan untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Komnas HAM pun menyatakan kecewa dengan keputusan tersebut. Menurut mereka, sejak awal Kejaksaan Agung tak mengikuti rekomendasi yang mereka buat dengan hanya menetapkan Isak Sattu sebagai satu-satunya terdakwa. Apalagi, dalam dakwaannya, jaksa menyatakan bahwa ada unsur pertanggungawaban komando dalam kasus ini.
Kronologi singkat kasus Paniai
Kasus Paniai ini diketahui berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini ditengarai diawali oleh teguran kelompok pemuda kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner Hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu rupanya menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI.
Esok harinya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye berangkat menuju Enarotali, mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan. Masyarakat berkumpul di Lapangan Karel Gobai yang terletak di depan Polsek dan Koramil sambil menyanyi dan menari sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat sehari sebelumnya.
Merasa tak mendapat tanggapan, situasi memanas dan masyarakat mulai melempari pos polisi dan pangkalan militer dengan batu. Aparat menanggapi aksi tersebut dengan penembakan untuk membubarkan massa. Empat orang warga sipil tewas dalam kasus paniai dan tujuh belas lainnya mengalami luka-luka dalam peristiwa ini. Komnas HAM pun menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat.
MUH RAIHAN MUZAKKI