PENGEROYOKAN berlangsung dengan cepat. Dua belas orang memasuki sebuah rumah di Desa Tusu, Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Sesaat kemudian seorang pemuda bertubuh kekar dengan tali plastik terikat di lehernya, diseret keluar. Ia pun mulai dihajar beramai-ramai dengan senjata tajam dan tumpul. Orang ini tewas seketika karena hampir tak ada bagian tubuhnya yang bebas dari tusukan dan pukulan. Peristiwa yang menimpa Hariyadi Suyanto, 22,itu terjadi akhir Maret lalu.Tapi sampai sekarang kejadian itu ternyata belum terungkap jelas. Kedua belas tersangka yang diduga kuat sebagai pelaku utama pengeroyokan itu memang masih tetap dalam tahanan. Tapi kelima orang oknum ABRI yang menyaksikan peristiwa itu dan tak berbuat apa-apa untuk mencegah, belum juga diperiksa. KEhadiran lima orang oknum ini memang dikaitkan dengan isu sebelumnya bahwa Leo, nama panggilan Hariyadi sehari-hari, adalah seorang penjahat pelarian dari Semarang. Bahkan karena kehadiran kelima orang oknum itu, kematian Leo hampir saja hilang begitu saja. Hanya karena laporan beberapa saksi mata akhirnya peristiwa itu diusut dan beberapa tersangka ditahan. Dari beberapa tersangka itulah kemudian diketahui awal kisah pengeroyokan itu. Dua hari sebelum kejadian itu, Leo, yang sehari hari bekerja sebagai kenek truk itu, bertengkar dan dilanjutkan dengan perkelahian dengan Agus, 19. Pihak terakhir ini kalah. Tapi ia belum menyerah. Setelah melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, Serma (Sersan Mayor) P dari Koramil Cawas, pengeroyokan itu pun disiapkan. Dan penduduk yang menyaksikan keladlan itu tak mampu berbuat apa-apa karena kehadiran lima oknum ABRI tadi - seorang di antaranya tak lain adalah ayah Agus. Penduduk makin bungkam tentang kejadian itu, setelah makin banyak terdengar desas-desus bahwa Leo seorang gali pelarian dari Semarang. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu memang berasal dari Semarang. Sejak awal tahun ini ia mencoba mengadu untung di Klaten dan menumpang di rumah nenek angkatnya yang bekerja sebagal pembantu rumah tangga di Desa Tugu. Karena itu, tak banyak penduduk yang mengenal Leo. Konon, isu itu berasal dari sebuah memo kepada Dansek dan Danramil Cawas yang menyebutkan bahwa Leo memang gali pelarian. Tapi seorang perwira di Polres Klaten, setelah mengusut sampai ke Semarang, membantah isu itu. Bahkan perwira yang tak mau disebutkan namanya itu menduga, Serma P-lah pembuat desas-desus tadi. Tapi, menurut Dansatserse Polres Klaten Letnan Satu Panjang, "Belum ada bukti, ayah Agus terlibat dalam perkara itu. Keempat anggota ABRI lainnya yang menyaksikan kejadian itu sampai sekarang belum diperiksa. " Mungkin karena sampai sekarang duduk soal sebenarnya belum jelas, maka Nyonya Cukup Sutarko, ibu Leo, bertekad akan mendesak pihak berwajib mengusut tuntas kematian anaknya. "Dan saya akan menuntut setiap pihak yang terlibat," kata istri seorang karyawan Bea Cukai Semarang itu. Ia yakin, anaknya tak bersalah dan lebih yakin: anaknya bukan gali. Kepergian Leo ke Klaten, menurut Ny. Cukup, semata karena masalah keluarga. Suatu hari, kata sang ibu, anak bungsunya utu minta kawin. "Saya melarangnya, karena dia belum bekerja," kata Ny. Cukup. Karena itulah Leo mencoba mencari nafkah di Klaten. Kini wanita itu mengaku menyesal karena menolak permintaan anak bungsunya itu. Tapi ia lebih menyesal karena, "Pengusutan kematian Leo tidak rampung-rampung sampai sekarang." Malahan, kata nyonya itu, pertengahan April ia pernah menerima surat ajakan berdamai dan pihak penganiaya anaknya. Namun, surat itu sedikit pun tak ditanggapi keluarga Leo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini