KEMUNGKINAN kontraktor minyak bagi-hasil mengutang pajak ditiadakan sama sekali, terutama untuk kontrak bagi-hasil yang ditandatangani dengan Pertamina sesudah I Januari 1984. Dalam surat keputusan Menteri Keuangan Radius Prawiro, akhir bulan lalu itu, juga disebutkan bahwa Pajak Panghasilan (PPh) perusahaan tadi harus dibayar tiap bulan, selambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Tak jelas mengapa pembayaran PPh itu kini harus dilakukan selama tahun fiskal berjalan. Sebab, sebelumnya, kontraktor diberi kesempatan mengutang pajak. Artinya, pajak baru dibayar sesudah perhitungan pajak rampung ditetapkan. Kendati kini pembayaran pajak bisa dicicil, menurut Mansury, direktur Pajak Langsung, setiap akhir tahun fiskal kontraktor tetap diwajibkan melaporkan neraca dan ikhtisar rugi-laba perusahaan. Sebab, dari hasil laporan keuangan itulah, katanya, kelak bisa dihitung berapa kekurangan dan kelebihan pajak yang bersangkutan. Dengan kata lain, pembayaran PPh selama tahun pajak berjalan itu hakikatnya bersifat sementara. Jadi, "Jika masih ada selisih, maka kekurangan itu harus segera dilunasi pada akhir tahun fiskal," ujar Mansury kepada TEMPO, pekan lalu. Menurut seorang pejabat Pertamina, cara pembayaran pajak seperti itu sesungguhnya malah memberi kesempatan kontraktor mengatur perputaran uangnya secara baik. "Pembayaran pajak secara sekaligus pada akhir tahun fiskal mungkin malah banyak memberatkan mereka," katanya. Tapi tarif PPh dalam ketentuan baru ini, sesudah dihitung, ternyata lebih ringan: 48%. Tarif pajak lama - menurut Ordonansi Pajak perseroan 1925 dan UU Pajak atas Bunga, Dividen,dan Royalti 1970 -- jatuhnya 56%. Menurut seorang pejabat Departemen Keuangan, keringanan tarif dalam ketentuan baru itu sesungguhnya merupakan kompensasi yang diberikan pemerintah, sesudah fasilitas masa bebas pajak dan bebas bea masuk bagi PMA dan PMDN dihapuskan. Belum jelas apakah keringanan tarif semacam inl akan mampu merangsang investasi baru di bidang perminyakan. Memang, sejak pemerintah memberlakukan UU Pajak Penghasilan 1984, mulai 1 Januari lalu, muncul banyak keragu-raguan di kalangan calon penanam modal di sini. Hingga, tak heran, sampai bulan ini belum ada kontraktor minyak agi-hasll baru yang menanamkan modal. Sekalipun agak terlambat, situasi penuh keragu-raguan itu akhirnya ditanggapi pemerintah dengan mengeluarkan ketentuan baru tadi. "Keputusan menteri keuangan itu dikeluarkan untuk menumbuhkan kepastian dan kemungkinan memperkirakan bagi kontraktor minyak asing sebelum menandatangani kontrak dengan Pertamina," ujar Mansury. Persaingan menarik calon investor, dengan memberi kepastian semacam itu, tampaknya bakal berlangsung sengit - paling tidak dengan RRC yang konon berani memberikan tarif pajak perseroan lebih murah. Hingga saat ini, menurut catatan Badan Koordinasi Kontraktor-kontraktor Asing (BKKA) Pertamina, jumlah kontraktor bagi-hasil di sini ada 38 perusahaan. Mereka inilah yang kelak, menurut ketentuan itu, harus menyetorkan sendiri PPh tadi tiap bulan ke rekening valuta asing Departemen Keuangan di Bank Indonesia. Jika semuanya berjalan lancar, penerimaan PPh minyak dan gas alam pada 1984-1985 akan mencapai Rp 10,36 trilyun lalu meningkat jadi Rp 12,66 trilyun pada tahun anggaran berikutnya (Lihat: Grafik). Membesarnya penerimaan ini, menurut dugaan, bukan disebabkan oleh kenaikan hasil penjualan minyak, melainkan oleh depresiasi rupiah kecil-kecilan. Sebab, menurut taksiran Bank Dunia, tingkat harga patokan OPEC yang US$ 29,5 per barel akan bertahan hingga akhir 1985. Baru sesudah itu, pada periode 1985-1990, tingkat hara minyak tadi diperkirakan hanya akan naik 2,3% setiap tahun, yang jika dikaitkan dengan inflasi tak ada artinya. Sejauh ini, ternyata, belum banyak kontraktor minyak bagi- hasil, yang terikat ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 memahami ketentuan baru itu. Sebuah sumber di Arco menyebut, "Peraturan itu sebenarnya untuk Pertamina, karena semua masalah operasi dan manajemen kami dipegang Pertamina." Bahkan dari Total Indonesia ada anggapan, "Peraturan itu hanya untuk memperjelas perhitungan paJak kami yang selama ini belum kami pahami." Mereka ini tampaknya baru akan menaruh perhatian jika kontrak mereka dengan Pertamina berakhir. "Kalau mereka kelak memperpanjang kontrak itu, ketentuan UU PPh tadi baru berlaku," ujar Mansury.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini