Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita berawal ketika Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, bertamu ke gedung Mahkamah Agung untuk menemui Ketua MA Bagir Manan. Kejadian itu sudah lama, pada 23 Juni 2005. Menurut Bagir, kunjungan tersebut hanya untuk perkenalan. ”Itu ketika mereka baru dilantik,” kata Bagir seusai salat Jumat, dua pekan lalu. Memang, ketika itu Emir baru diangkat sebagai Direktur Utama Garuda.
Acara silaturahmi itu semula tak ada yang mempersoalkan. Namun, sejak salinan surat berkop Garuda—ditandatangani Emir sendiri—kepada ketua mahkamah peradilan tertinggi di Indonesia beredar di sejumlah kalangan tiga pekan belakangan ini, masalahnya menjadi berbeda. Soalnya, ada pihak yang beperkara dengan Garuda ketika itu, yaitu PT Komodo Adiperkasa Air Cargo. ”Untuk apa Emirsyah bertemu Bagir Manan?” kata David M.L. Tobing, kuasa hukum PT Komodo. Apalagi, beberapa bulan setelah itu, MA memenangkan Garuda dalam perkaranya dengan Komodo.
Dalam surat PT Garuda tertanggal 19 Agustus 2005 itu terungkap dengan gamblang pertemuan Bagir dengan Emir. Dalam surat itu, Garuda menyatakan terima kasih kepada Ketua MA karena telah memprioritaskan pemeriksaan berkas kasasi perkara perdata antara Garuda dan Komodo. Bahkan dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo itu dinyatakan Garuda memohon MA sesegera mungkin memutus perkara itu. ”Guna memberikan kepastian hukum dan memberikan kesempatan agar Garuda dapat melanjutkan usahanya dalam membangun kembali Garuda,” demikian bunyi sebagian surat itu.
Bagaimana sesungguhnya perseteruan Garuda dengan Komodo? Kasus bermula ketika Garuda ingin membeli tiga pesawat MD-11 ER. Tendernya dimenangkan Komodo pada Mei 1996, karena Komodolah yang dianggap punya jalur untuk pembelian pesawat tersebut. Setelah itu, Komodo yang menggandeng perusahaan rekanan dari Prancis, S.A. Maya Aeronautics, menandatangani kontrak senilai US$ 327 juta atau hampir Rp 3 triliun dengan Garuda. Perjanjian itu berupa kesepakatan pendanaan sementara pembelian pesawat oleh pihak ketiga—perusahaan lain—sebelum diambil alih pembayarannya oleh Komodo, paling lambat Juni 1997.Namun, pada April 1997, Garuda memutuskan secara sepihak kontraknya dengan Komodo setelah satu dari tiga pesawat didatangkan ke Indonesia. ”Bahkan pesawat itu sudah sempat dioperasikan,” ujar David.
Komodo lalu menggugat perdata Garuda ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mei 2003. Namun, gugatan itu ditolak karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat tidak dapat mengadili perkara itu di Indonesia. Komodo mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Kali ini Komodo menang. Garuda diharuskan membayar ganti rugi US$ 54 juta atau sekitar Rp 490 miliar.
Garuda mengajukan kasasi ke MA, 28 Januari 2005. Majelis hakim kasasi yang dipimpin Hakim Agung Iskandar Kamil serta anggota Bahaudin Qaudry dan Kaimuddin Salle kemudian memenangkan Garuda.
Bagir Manan menyatakan tidak tahu-menahu bila Garuda sedang punya perkara yang harus diputus MA ketika dirutnya berkunjung sekitar dua tahun silam. Sedangkan Emir mengaku lupa apa isi pembicaraannya dengan Bagir kala itu. ”Itu sudah lama,” katanya saat ditemui seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat, dua pekan lalu. Ia malah meminta Tempo menanyakan ke kuasa hukum perusahaan, yaitu Adnan Buyung Nasution, karena dalam pertemuan itu Garuda memang didampingi kuasa hukum.
Panji Prasetyo dari Firma Hukum Adnan Buyung mengakui pertemuan itu, namun dia mengelak soal adanya niat mempengaruhi penanganan perkara dengan Komodo. ”Garuda memang rajin berkomunikasi dengan lembaga hukum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, justru demi transparansi,” kata Panji.
Jika ada tudingan Garuda telah ”melobi” MA untuk memenangkan perkara, Panji mengatakan Bagir bukanlah hakim agung yang menangani perkara Garuda dan Komodo. ”Lagi pula, Pak Bagir sebagai Ketua MA bisa beraudiensi dengan siapa saja, termasuk direksi BUMN,” kata Panji.
Namun, Panji mengakui, sebagai kuasa hukum Garuda, pihaknya memang meminta MA memprioritaskan penanganan perkaranya dengan Komodo. Menurut Panji, ini lazim dilakukan seperti halnya minta perlindungan hukum. Permintaan itu diajukan via surat yang dilayangkan kepada Ketua MA sebelum pertemuan itu berlangsung. ”Secara normatif kan boleh saja, tapi tergantung hakimnya, mengabulkan atau tidak.” Toh, kata Panji, yang dibutuhkan Garuda adalah kepastian hukum segera. ”Apa pun keputusannya,” ujarnya.
Lagi pula, menurut Panji, memprioritaskan kasus Garuda ini penting, karena maskapai penerbangan nasional tersebut sedang dalam proses restrukturisasi. ”Apalagi nilai yang digugat Komodo signifikan,” ujarnya.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, Ketua MA berwenang memprioritaskan penanganan suatu perkara. Menurut Nurhadi, bukan hanya Garuda, jika ada pihak lain yang meminta prioritas penanganan perkara, bisa saja dikabulkan. ”Kalau alasan substansinya bisa dibenarkan, misalnya terkait kepentingan umum,” katanya.
Apa pun alasannya, pihak Komodo tetap mempertanyakan isi pertemuan dua tahun silam itu. Menurut David, tidak masuk akal bila kedatangan Emir ke MA untuk bertemu Bagir hanya sekadar untuk memperkenalkan diri. ”Kalau perkenalan, ngapain harus didampingi pengacara yang menjadi kuasa hukum Garuda dalam perkara dengan Komodo,” katanya.
David yakin pertemuan itu bukanlah pertemuan biasa, karena adanya perkembangan penanganan kasus yang ekstracepat setelah itu. ”Pertemuan terjadi 23 Juni, surat Garuda dilayangkan 19 Agustus, putusan keluar pada Oktober 2005,” katanya. ”Itu langka, karena penanganan perkara di MA biasanya tahunan.”
Anggapan David belum tentu benar. Namun, menurut Koordinator Bidang Pemantau Peradilan Indonesian Corruption Watch, Emerson Juntho, pertemuan yang berbuntut kemenangan Garuda patut diselidiki. MA juga harus bisa menjelaskan kepada publik soal dugaan kongkalikong dalam memenangkan perkara. ”MA harus menjelaskan bahwa mereka bersih dalam hal ini,” ujarnya.
Masih menurut Emerson, MA bisa dianggap melanggar kode etik karena melakukan pertemuan dengan pihak yang beperkara sebelum putusan dijatuhkan. Ini juga dibenarkan oleh Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas. ”Idealnya tidak boleh ada pertemuan antara pihak yang beperkara dan hakim, kecuali dihadirkan kedua belah pihak yang sedang beperkara,” kata Busyro, Senin pekan lalu. Lagi pula, bukankah sudah ada tulisan—lengkap dengan tanda seru—tersebar di beberapa tempat di gedung MA yang berbunyi: ”Mahkamah Agung RI Tidak Menerima Tamu Yang Berhubungan Dengan Perkara!”
Dimas Adityo, Tito.S, Rini.K dan Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo