Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMARAHAN itu rupanya masih membara. Ketika warga Alas Tlogo dan petinggi Angkatan Laut bertemu di pendapa Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Senin pekan lalu, dua orang warga tiba-tiba histeris. ”Neser onggu kakeh, Cong (Nak, kasihan benar kamu),” kata Saumar, ayah Rohman, yang tewas terkena tembakan marinir, dalam bahasa Madura sambil terisak. Tak lama, menyusul Saliyep, istri Sutam—juga korban tewas—jatuh pingsan dan meracau. Mereka lalu dibawa ke luar ruangan.
Pertemuan itu dilakukan untuk mencari solusi perebutan tanah di kawasan Grati. Namun, lantaran emosi masih kental, dialog antara Panglima Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Timur Laksamana Muda Moekhlas Sidik dan warga yang dipandu Gubernur Jawa Timur Imam Utomo itu macet. Tak ada kesepakatan.
Dua pekan lalu, satu regu marinir bentrok dengan warga Alas Tlogo. Empat orang tewas tertembak, tujuh orang terluka. Di antara yang tewas terdapat seorang ibu hamil yang tengah memarut singkong di teras musala (Tempo Edisi 4-10 Juni 2007). Insiden ini adalah buntut sengketa tanah antara Angkatan Laut dan rakyat setempat.
Luas tanah sengketa mencapai 3.659 hektare—500 hektare di antaranya di Alas Tlogo. Tanah tersebut tersebar di sebelas desa di dua kecamatan. Dua desa, Sumberanyar dan Sumberagung, berada di Kecamatan Nguling. Sembilan desa lainnya, termasuk Alas Tlogo, berada di Kecamatan Lekok. Tanah bermasalah itu kini menjadi kawasan Pusat Latihan Tempur Marinir.Di pendapa kabupaten, sebelas kepala desa menjelaskan bahwa mereka sejak dulu tak pernah menjual tanah itu kepada Angkatan Laut. Yang terjadi, kata Purwo Eko K.J., Kepala Desa Sumberanyar, Angkatan Laut merebut tanah rakyat pada 1961-1963.
Menurut Imam Supnadi, Kepala Desa Alas Tlogo, sebagian besar warganya masih memiliki bukti-bukti surat tanah berupa letter C dan petok D. ”Kalau Angkatan Laut telah membelinya, pasti mereka punya letter C dan petok D. Coba tunjukkan pada kami,” ucap Imam.
Letter C dan petok D adalah surat bukti pembayaran pajak tanah sebelum Undang-Undang Pokok Agraria dikeluarkan pada 1960. Warga, kata Imam, sudah memiliki surat-surat itu sejak 1949.
Sebaliknya, Angkatan Laut mengaku punya bukti kuat. Perolehan tanah di kawasan itu, menurut versi mereka, didapat dari Panitia Pembebasan Tanah untuk Negara yang dibentuk pada 1960. Setahun sebelum itu, Angkatan Laut sudah melakukan sosialisasi kepada warga. Pembelian baru dilakukan pada 1961-1963. Total anggaran pembelian dari negara mencapai Rp 77,6 juta.
Pembelian lahan itu berkaitan dengan persiapan operasi Dwikora. ”Lahan tersebut diperlukan untuk membangun pusat pendidikan dan latihan terlengkap dan terbesar, baik untuk pendidikan kejuruan Korps Marinir maupun pelaut,” kata Letkol Toni Syaiful, Kepala Dinas Penerangan Armada Timur.
Namun, lantaran dananya cekak, Angkatan Laut belum bisa mewujudkan fasilitas penting itu. Area itu kemudian dimanfaatkan untuk perkebunan. Ini dimulai dengan menempatkan 185 keluarga prajurit untuk bermukim di kawasan tersebut agar lahan tak telantar. Pada 1978, lahan tersebut disewakan kepada PT Asembagus untuk ditanami kapas. Pada 1984, Pusat Koperasi AL bekerja sama dengan PT Kebun Grati Agung, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara, membuka perkebunan tebu.
Warga, kata Imam, menolak pembelian yang menurut Angkatan Laut telah terjadi pada 1961-1963 itu. Tapi penolakan warga terhenti karena peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) meletus pada 1965. ”Warga yang protes langsung dicap PKI,” kata Imam.
Pascareformasi, warga mencoba mendapatkan kembali tanah mereka. Mula-mula mereka mendatangi Badan Pertanahan di Pasuruan. Warga mencari tahu mengapa sertifikat Angkatan Laut bisa diterbitkan di atas tanah mereka. Namun pejabat pertanahan menolak menjelaskannya.
Pada 2000, dibantu seorang pengacara asal Malang, warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pasuruan di Bangil. Mereka membawa surat-surat tanah itu ke pengadilan. Gugatan ditolak karena berkas mereka kurang lengkap.
Menurut Mohamad Zubair A.R., pengacara 252 warga Alas Tlogo, pada 1961, warga pernah dikumpulkan oleh kepala desa dan diminta menjual tanahnya ke Angkatan Laut. Tapi, ”Tak ada kesepakatan karena mereka tak pernah menerima uangnya,” kata pengacara asal Surabaya ini.
Setahun lalu, mereka kembali mengajukan gugatan. Tapi, dalam putusan perdata Maret lalu, gugatan warga ditolak. Ini lantaran pengadilan tak mengakui bukti petok D dan surat penguasaan efektif yang dibuat kepala desa. ”Hakim berpendapat warga tak bisa membuktikan kepemilikan tanah,” ujar Zubair.
Warga kemudian memilih banding. Kemarahan warga mulai tumpah setelah mereka melihat Angkatan Laut tetap menggarap tanah yang masih berstatus dalam perkara itu. Bentrokan berdarah pun tak terhindarkan pada dua pekan lalu.
Profesor Budi Harsono, guru besar hukum pertanahan Universitas Trisakti, Jakarta, mengungkapkan, masing-masing versi riwayat tanah di Grati itu memiliki kelemahan. Petok D atau letter C yang diklaim warga, misalnya, kata Budi, ”Cuma tanda pembayaran pajak bumi yang dipungut dari para penggarap.” Artinya, surat itu tak ubahnya iuran pembangunan daerah atau kini disebut pajak bumi dan bangunan. Ini bukan bukti kepemilikan.
Namun, sejak Undang-Undang Pokok Agraria berlaku pada 26 Februari 1960, semua hak milik adat—yang dibuktikan antara lain dengan petok D atau letter C—dikonversi menjadi hak milik. ”Konversi terjadi secara hukum, sehingga dengan sendirinya dianggap sebagai hak milik, meski belum didaftarkan ke Badan Pertanahan,” kata Budi. Toh, agar lebih afdal ihwal asal-usulnya, Budi menyarankan, ”Mesti dicek ke buku tanah desa.”
Sebaliknya, klaim sertifikat dari Angkatan Laut juga dinilai aneh. Sertifikat itu adalah sertifikat hak pakai yang dikeluarkan pada 1993. ”Hak pakai hanya bisa diterbitkan di atas tanah negara. Di luar itu tak bisa,” kata Maria Rita Roewiastuti, pengamat dan aktivis pertanahan dari Solo. Dengan kata lain, sertifikat itu akan keluar setelah Badan Pertanahan menganggap, misalnya, wilayah Grati berasal dari bekas perkebunan Belanda atau tanah tak bertuan.
Padahal, kata Imam Supnadi, ”Tahun 1912, mbah buyut saya sudah jadi kepala desa di sini. Jadi ini bukan tanah telantar.” Ia menjelaskan bahwa kawasan Grati, termasuk Alas Tlogo, dibuka oleh imigran Madura sebelum peralihan abad ke-20. ”Dari dulu, ini desa tandus. Mana laku buat perkebunan Belanda?” katanya.
Tim pencari fakta dari Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat yang diterjunkan ke Alas Tlogo juga menemukan bahwa kerja sama Angkatan Laut dan Grati Agung ternyata dilakukan di atas tanah hak guna lahan. ”Ada yang salah pada Angkatan Laut,” kata Wakil Ketua Komisi Pertahanan Priyo Budi Santoso. Sebab, baru pada 1993 Angkatan Laut memegang sertifikat hak pakai dari Badan Pertanahan Nasional.
Menurut Maria, dalam sengketa tanah, sebaiknya setiap pihak menelusuri kembali riwayat tanah ke Badan Pertanahan. ”Cek di sana asal-usul tanahnya,” kata mantan pengurus Lembaga Bantuan Hukum ini. Maria menilai sikap warga Alas Tlogo yang menggugat ke pengadilan sudah tepat. ”BPN bisa saja salah. Tapi pencabutan sertifikat hak atas tanah memang harus lewat gugatan pengadilan,” ujarnya.
Di depan Komisi Pertanahan DPR, pekan lalu, Kepala BPN Joyo Winoto menolak menjelaskan riwayat tanah TNI di Pasuruan. ”Biarkan aspek sosialnya selesai dulu,” kata Joyo.
Arif A.K., Kukuh S.W. (Surabaya), Abdi Purmono (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo