Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menang Dengan UU Pers

Harian Jawa Pos lolos dari gugatan Mochammad Amien, Ketua Yayasan Darut Taqwa, Surabaya. Setelah penggugat menolak menggunakan hak jawab.

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana Pengadilan Negeri Surabaya tampak tenang Selasa siang pekan lalu. Tak ada kegembiraan berlebih ketika palu Hakim Supriatna berdentam di akhir persidangan. Hanya seulas senyum puas mengembang di bibir Ma'ruf Syah. Kuasa hukum harian Jawa Pos itu tampak senang karena majelis hakim menolak gugatan perdata yang diajukan Mochammad Amien, Ketua Yayasan Darut Taqwa, Surabaya. "Sejak semula, kami sudah yakin menang," kata Ma'ruf. Amien menggugat Jawa Pos minta maaf tiga kali berturut-turut di seperempat halaman koran dan membayar ganti rugi Rp 1 miliar karena dinilai telah mencemarkan nama baiknya. Tapi majelis hakim yang beranggotakan Supriatna, Purnamawati, dan Made Tengah Widiartha menolak gugatan itu. Hakim tak menemukan bukti Jawa Pos dengan sengaja mencemarkan nama baik Amien. Ma'ruf puas karena hakim menggunakan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers untuk memutus perkara itu. Menurut dia, berita yang dimuat Jawa Pos sudah sesuai dengan Pasal 3 UU No. 40 dan Kode Etik Jurnalistik: pers punya kebebasan dalam menerima dan memberitakan sebuah berita kepada masyarakat. Berita itu juga sudah mencatumkan nama sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Perseteruan itu bermula ketika Amien merasa dirugikan oleh pemberitaan Jawa Pos edisi 16 Mei 2003 yang berjudul Warga Bantah Halangi Pembangunan Masjid. Harian yang berpusat di Surabaya itu menulis bahwa warga kecewa atas pembangunan kembali Masjid Darut Taqwa di Dukuh Kupang, Surabaya. Jawa Pos mengutip keterangan kuasa hukum warga, Ardi W. Kusuma, yang mengatakan bahwa warga menilai pembangunan itu tak sesuai dengan peruntukannya. Masjid yang semula hanya satu lantai itu akan dibikin menjadi tiga lantai dan sebagian untuk gedung serbaguna. Yayasan membongkarnya pada Agustus 2002. Menurut Jawa Pos, masjid tersebut dibangun pada 1977 atas inisiatif warga. Dua tahun kemudian, dibangun Taman Kanak-Kanak (TK) Taqwa di kompleks masjid itu. Untuk menunjang operasional masjid, lalu didirikan Yayasan Masjid Darut Taqwa pada 1982. TK Taqwa kemudian digabungkan ke dalam yayasan pada 1996. Amien, yang saat itu menjabat sebagai ketua yayasan, mengubah nama yayasan menjadi Yayasan Darut Taqwa. Perubahan itu tidak melalui persetujuan pengurus yayasan yang lain. Amien langsung memprotes berita tersebut. Ia menyayangkan pemuatan berita itu karena Jawa Pos tak pernah meminta konfirmasi kepadanya. Ia menilai pemberitaan itu melanggar hak asasi. "Sumber beritanya tidak akurat karena hanya memuat pernyataan satu pihak," kata Amien. Menurut redaktur Metropolis Jawa Pos, Imam Syafi'i, berita itu hasil wawancara dengan enam warga RW II Kelurahan Dukuh Kupang, Surabaya, yang mendatangi kantor Jawa Pos pada 15 Mei 2003. Ardi Kusuma mengatakan mereka ingin Jawa Pos memuat berita pembangunan Masjid Darut Taqwa. Sebelum berita diturunkan, Imam menugasi Doan Widianto meminta konfirmasi Amien. Doan mencoba menemui Amien di Masjid Darut Taqwa, tapi tak ketemu. Lantaran diburu tenggat, berita itu diturunkan tanpa konfirmasi dari Amien. "Tapi saya tetap meminta Doan menemui dan minta klarifikasi dari Amein keesokan harinya," kata Imam. Ketika berita itu muncul, Doan ditelepon oleh Nadjib, pengurus takmir Masjid Darut Taqwa. Nadjib mengatakan berita itu tidak seimbang. Doan menawarkan hak jawab, tapi Nadjib menolak. "Yang diinginkan Pak Amien bukan seperti itu. Ini namanya pukul dulu, baru hak jawab," kata Nadjib seperti ditirukan Imam. Imam menambahkan, Amien baru menelepon redaksi Jawa Pos pada 17 Mei 2003. Intinya sama dengan yang diungkapkan Nadjib. Imam juga menawarkan hak jawab, tapi ditolak oleh Amien. Empat hari kemudian, Amien mengirimkan somasi. Isinya, Jawa Pos harus meminta maaf. Imam mengatakan, pihaknya tetap memberikan hak jawab. Tempat dan ukurannya seperti berita sebelumnya. Kedua pihak tak mencapai titik temu. Jawa Pos lalu memuat somasi Amien di rubrik Metropolis Watch pada 24 Mei. Tapi Amien menganggap somasinya tak dimuat secara penuh. Pada 3 Juli 2003, Amien menggugat perdata Pemimpin Redaksi Jawa Pos, Arief Afandi, dan PT Jawa Pos sebagai penerbit harian pagi itu ke Pengadilan Negeri Surabaya. Tapi Amien kalah dan mengajukan banding. "Saya dikalahkan karena dianggap tak menggunakan hak jawab lebih dulu," katanya. Arief mengakui, awalnya ia tak ingin beperkara di pengadilan dengan Amien. Kalaupun akhirnya perkara berlanjut ke pengadilan, ia hanya ingin dari Surabaya lahir sebuah yurisprudensi bahwa kasus pers diselesaikan dengan Undang-Undang Pers. Dan harapannya terkabul. Sapto Yunus, Sunudyantoro, Agus Raharjo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus