Ratusan promes palsu pemerintah RI beredar di pasar uang mancanegara. Seorang korban di Amerika Serikat siap-siap menggugat pemerintah RI. BERITA berkode rahasia, baru-baru ini, diterima berbagai instansi pemerintah dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington, D.C. Isinya mengejutkan: Leonard A. Sclafani dari kantor pengacara Polatsek & Sclafani mengancam akan menggugat pemerintah Indonesia ke pengadilan. Sebab klien mereka, Frank A. Summa, tidak bisa mencairkan promissory note alias promes -- surat berharga yang bisa dijualbelikan -- yang diterbitkan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) senilai 2,8 juta dolar AS. Promes yang diurus Summa itu milik perusahaan San Angela Wool, yang berkantor di Austin, Texas. Mereka mendapatkannya dari Hassan A.F. Zubaidi, penyandang dana (financier) dari Beirut, sebagai pembayaran kiriman wol dan berbagai komoditi lain ke Afrika. San Angela Wool menugasi Summa mencairkan promes dengan persenan 50%. Tapi bank menolak promes itu. Sebenarnya, tiga bulan lalu, Pengacara Sclafani sudah meminta bantuan Atase Pertahanan RI. Tapi secara resmi KBRI menjawab bahwa promes itu tidak berlaku karena, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 59/1972, hanya Departemen Keuangan yang berhak mengeluarkan promes atas nama pemerintah Indonesia. Sedangkan promes yang ditandatangani Ibnu Hartomo, deputi sekjen Wan- hankamnas, pada 1986 itu tidak disahkan Menteri Keuangan. Karena itu, Direktur Muda Bank Indonesia, Dahlan Sutalaksana, menilai gugatan Sclafani itu salah alamat. "Promes itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pemerintah Indonesia, melainkan tanggung jawab yang bikin," kata Dahlan. Meskipun demikian, ancaman Sclafani tetap dianggap serius. Buktinya, pemerintah Indonesia sampai menyewa pengacara terkenal untuk menghadapi pengadilan, yang dimulai Oktober mendatang. Wanhankamnas -- lembaga yang tersangkut langsung dalam masalah ini -- sibuk mengirimkan radiogramnya ke kantor-kantor perwakilan RI dan bank-bank pemerintah di luar negeri, menyatakan promes itu palsu, bukan keluaran instansi tersebut. Nasib sial San Angela Wool itu merupakan rangkaian kasus dibekuknya tiga orang warga Italia Januari lalu. Mereka dituduh memperjualbelikan promes palsu yang bernilai 30 juta dolar AS. Kejaksaan AS bisa membongkar ke-"aspal"-an promes itu karena kasus seperti ini pernah muncul pada 1987. Bahkan, waktu itu pengadilan sudah memvonis tujuh pengedar gelap promes Wanhankamnas. Selain jadi perkara di AS, kabarnya, promes itu juga menjadi masalah di Prancis dan Italia. Ternyata, ada puluhan promes Wanhankamnas yang beredar, dengan pecahan 1,4 juta sampai 25 juta dolar AS. Promes itu bisa beredar di kalangan pedagang pasar uang New York karena disahkan dokumen penguat, yang menyebutkan bahwa promes dapat diuangkan di bank pemerintah RI di New York. Ada yang jatuh tempo 1991, 1992, ada juga yang 1993. Dokumen penguat promes itu ternyata juga ada beberapa versi. Ada yang dikuatkan Notaris N.R. Makahanap, Lembaga Bantuan Hukum Justisia, Duta Besar RI di Suriah Chalid Mawardi, juga Mardiono, asisten Ibnu Hartomo di Wanhankamnas (nama Mardiono tidak ada di instansi itu). Padahal, menurut sumber di Wanhankamnas, promes itu boleh dikatakan palsu. Blangko, stempel, tanda tangan Sekjen Wanhankamnas ternyata palsu. "Ibnu Hartomo pun dalam menandatangani promes itu bukan sebagai pemegang mandat Wanhankamnas," ujar sumber tersebut. Benarkah demikian? Sayangnya, Ibnu Hartomo tidak mau lagi mengungkapkan kasus ini karena ia sudah melaporkan pada Presiden Soeharto. Namun, ia pernah mengatakan pada TEMPO. "Semua masalah yang timbul akibat beredarnya promes itu tanggungjawab saya karena sayalah yang menandatanganinya," ujarnya kala itu (TEMPO, 28 Februari 1987). Menurut Ibnu Hartomo, dulu promes diterbitkan Wanhankamnas untuk membangun perumahan perwira tinggi. Ia lalu mengontak Zubaidi, presiden Zubaidi Trading Company, Beirut. Zubaidi sepakat membayar promes Wanhankamnas dengan lima promes senilai 500 juta dolar AS, yang dijamin Windsor Trust. Maka, 12 November 1985, diadakanlah pertemuan di sebuah hotel mewah di Damaskus, yang dijaga ketat oleh pasukan Zubaidi. Zubaidi menyerahkan promesnya dengan jaminan dari Ibnu Hartomo berupa 500 promes yang nilainya 1,4 juta sampai 25 juta dolar AS sebagai jaminan. Chalid Mawardi, dubes RI di Suriah, ikut menandatangani promes itu. "Saya lihat dokumen yang dibawa Ibnu resmi. Karena tidak sempat mengecek lagi ke Jakarta, saya mengesahkan bahwa Ibnu Hartomo memang utusan resmi Pemerintah," kata Chalid. Lima hari setelah transaksi, Ibnu mencoba mencairkan promes Zubaidi ke Bank of Nova Scotia, Kepulauan Cayman, bank yang ditunjuk Zubaidi. Ternyata, bank itu menolak menguangkan. Ibnu tentu memprotes Zubaidi. Tapi Zubaidi, yang kabarnya masuk daftar hitam perbankan internasional, pintar mengumbar janji sehingga Ibnu bersikap menunggu tanpa hasil sesen pun. Belang Zubaidi baru ketahuan setelah Ibnu menerima kabar bahwa tiga promesnya ditawarkan orang Palestina itu kepada perusahaan komponen pesawat AS, akhir 1985. Padahal, promes itu hanya jaminan. Di luar itu, melalui berita antarkedutaan, terungkap, Zubaidi menggunakan promes itu untuk mengimpor bubur kertas (pulp) dari Finlandia dan beras dari Pakistan. Jakarta pun sigap. Maret 1986, Bank Indonesia meneleks perwakilan bank asing di Jakarta dan perwakilan bank-bank pemerintah di luar negeri, membatalkan keabsahan surat berharga itu. Namun, promes yang sudah dipegang Zubaidi telanjur beredar. Malah sindikat Zubaidi bisa memperbesar, tahun silam, dengan memalsu tanda tangan Ibnu Hartomo. "Ibnu Hartomo benar-benar kena kibul Zubaidi," komentar Sclafani. Ardian Taufik Gesuri dan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini