Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA undang-undang ini jadi, mungkin tak ada lagi pejabat yang melakukan gerakan tutup mulut dengan alasan tak jelas. Sebab, sang pejabat bisa diseret ke pengadilan dengan dakwaan menghalangi hak masyarakat memperoleh informasi. Ia bisa dipidana dua tahun penjara, plus "bonus" denda Rp 5 juta.
Itulah satu di antara ketentuan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, yang kini ngendon di DPR. Dalam program legislasi nasional yang hasilnya sudah disepakati pemerintah dan DPR, awal Februari lalu, pembahasan rancangan undang-undang ini berada di urutan ketujuh setelah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara.
"Harusnya RUU Kebebasan Memperoleh Informasi menjadi prioritas DPR," kata koordinator Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Agus Sudibyo, "Ini merupakan kunci pemberantasan korupsi." Jumat pekan lalu, bersama wakil 57 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam koalisi itu, Agus mendatangi gedung DPR. Mereka menuntut para wakil rakyat mengutamakan pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi dan RUU Perlindungan Saksi.
Menurut koalisi itu, jika RUU Kebebasan Informasi disahkan, agenda pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menyikat para koruptor lebih cepat terlaksana. Publik mendapat akses, diberi hak, sekaligus dilindungi dalam "mengorek" informasi untuk kepentingan masyarakat. "Tanpa membuka informasi seluas-luasnya, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi wacana," kata Agus.
Kelahiran RUU Kebebasan Informasi bisa dibilang "buah" reformasi. Ketika itu, setelah Orde Baru ambruk, muncul desakan berbagai pihak akan perlunya undang-undang yang menjamin dan melindungi publik mendapat informasi. DPR periode 1999-2004 menyambut usulan itu dengan memasukkan RUU tersebut sebagai hak inisiatif Dewan. Pada Februari 2003, DPR membentuk panitia khusus untuk membahas RUU Kebebasan Memperoleh Informasi ini.
Tapi, di tengah pembahasan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) masa itu, Hendropriyono, meminta pembahasan rancangan undang-undang tersebut diintegrasikan dengan pembahasan RUU Intelijen, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan RUU Kerahasiaan Negara. Usul Hendro ini mengundang kritik dari sejumlah kalangan. Mereka tak setuju jika gara-gara pembahasan rancangan undang-undang lainnya, RUU Kebebasan Informasi menjadi molor penyelesaiannya.
Pada pertengahan tahun lalu, DPR berhasil merampungkan RUU Kebebasan Informasi dan menyerahkannya kepada pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi. Di sini rancangan undang-undang itu mentok, dan kini kembali ke DPR periode sekarang.
Isi rancangan ini memang bisa membuat lega para "pemburu" informasi. Meliputi sepuluh bab dan 59 pasal, RUU tersebut memberi hak kepada setiap orang untuk mengetahui dan menyebarluaskan informasi dari badan publik atau lembaga mana pun yang berkaitan dengan publik. Lembaga yang tidak memberikan informasinya bisa diperkarakan ke pengadilan.
Keleluasaan memperoleh informasi tak pula tanpa pengecualian. Rancangan undang-undang ini menyebutkan informasi intelijen, dokumen yang memuat strategi pelaksanaan peperangan, atau pangkalan militer sebagai informasi yang bersifat rahasia. Juga yang tak bisa dipublikasikan adalah informasi yang, misalnya, menghambat proses penyidikan atau membahayakan keselamatan penegak hukum dan keluarganya.
Untuk mengatasi sengketa di seputar kebebasan memperoleh informasi, RUU ini juga mengamanatkan dibentuknya komisi informasi di Jakarta dan di setiap provinsi. Komisi inilah yang diberi mandat menyelesaikan sengketa melalui mediasi atau ruang pengadilan.
Kini bergantung pada DPR, apakah bisa cepat merampungkan rancangan undang-undang ini atau sebaliknya, terseok-seok. "Karena itu, harus ada aksi dan tekanan publik ke DPR untuk membahas RUU itu," kata Paulus Widiyanto dari Koalisi untuk Kebebasan Informasi.
LRB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo