Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Malapetaka 15 Januari 1974 atau dikenal sebagai Malari 1974, merupakan peristiwa gelombang demo mahasiswa lalu kerusuhan sosial yang terjadi setelah kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.
Baca : Peristiwa Malari 1974, Demonstrasi Tolak Kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka Berujung Rusuh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para demonstran menolak kedatangan Tanaka karena dianggap sebagai simbol modal asing yang harus dienyahkan. Untuk itu mereka melakukan aksi berupa long march dari Salemba menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta.
Mereka mengusung tiga tuntutan, yakni pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi modal asing dan pembubaran asisten pribadi presiden.
Namun, aksi damai yang diikuti oleh ratusan ribu orang itu berujung rusuh. Menurut ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia sekaligus pimpinan aksi, Hariman Siregar, mengatakan unjuk rasa mahasiswa telah berakhir pukul 14.30 WIB. "Sedangkan kerusushan terjadi satu jam kemudian," katanya dikutip dari Majalah Tempo Edisi 4 Februari 2008.
Massa Rusuh Mengaku dari Kalangan Buruh
Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu melakukan penjarahan serta membakar mobil produksi Jepang dan toko-toko. Panglima Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berupaya memblokade gerakan massa mengarah ke Istana Presiden, namun gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soemitro juga mengaku telah menawarkan dialog anatara Dewan Mahasiswa UI dengan Tanaka. "Tanaka sudah bersedia, tetapi DM-UI menjawab bahwa dialog diganti dengan dialog jalanan."
Namun saat itu, Jakarta telah menjadi karang abang. Belasan orang tewas, ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, serta 160 kilogram emas sejumlah toko perhiasan hilang. Bahkan, saking mencekam Soeharto harus mengantar Tanaka menumpang helikopter ke bandara Halim sebelum pulang ke negaranya.
Tokoh Peristiwa Malari 1974
Sebagai buntut peristiwa Malari 1974 tersebut, polisi dan tentara menangkap ratusan orang. Ada sekitar 775 orang ditangkap, 50 orang di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendikiawan seperti Hariman Siregar, Sjahir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid.
Para tokoh tersebut ditahan berdasarkan Undang-Undang Antisubversi. Kepala Penerangan Departemen Pertahanan dan Keamanan Brigadir Jenderal Sumrahadi ketika itu mengatakan pemerintah juga terpaksa menahan orang-orang yang dicurigai sebagai penggerak peristiwa Malari.
Pemerintah menuding ke beberapa pihak. Sejumlah aktivis mantan anggota Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dicurigai ada di balik para mahasiswa dan pelajar yang bergerak. Mengutip majalah Tempo dalam Edisi Khusus Malari, yang terbit 13 Januari 2014, angka itu terus menyusut seiring waktu. Kebanyakan dari mereka bebas karena kurang bukti.
Pengacara Yap Thiam Hien dan wartawan Mochtar Lubis dilepas setelah setahun ditahan. Pengacara Adnan Buyung Nasution dibebaskan pada Oktober 1975 bersama sebelas mahasiswa, di antaranya Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena.
Hanya 3 Tokoh Disidangkan
Hanya Hariman dan Sjahrir dari Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada yang disidangkan ke pengadilan. Mereka dituduh melakukan perbuatan subversi dan makar. Jaksa menggunakan pernyataan Hariman dan Sjahrir dalam sejumlah pertemuan Dewan Mahasiswa UI dan Gerakan Diskusi UI untuk menjerat keduanya sebagai koordinator lapangan dan diduga otak peristiwa itu.
Dalam persidangan, sejumlah saksi menarik keterangannya di berita acara pemeriksaan. Ada yang mengaku tak sadar dan merasa terancam saat memberikan kesaksian. Beberapa yang lain tak tahu keterangannya digunakan untuk menjerat Hariman dan Sjahrir. Jaksa akhirnya bergantung pada informasi intelijen Operasi Khusus.
Meski tak cukup bukti menggerakkan kerusuhan, Hariman Siregar dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara pada 21 Desember 1974. Hakim menganggap kelalaiannya telah berujung pada aksi pembakaran dan perusakan.
“Kelalaian ini sama seperti kelalaian seseorang yang membeli arloji di pinggir jalan, padahal tahu di Jakarta sering ada penjambretan,” kata Siburian, seperti dikutip majalah Tempo edisi 28 Desember 1974.
Kamis malam, 12 Juni 1975, majelis hakim yang dipimpin Anton Abdurrahman Putera juga menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara buat Sjahrir. Sedangkan Aini divonis 2 tahun 2 bulan.
Kemudian buntut dari peristiwa Malari 1974 juga membuat dua jenderal, yakni Soemitro sebagai panglima Kopkamtib/Wapangab dan Ali Moertopo sebagai Deputi Bakin dicopot dari kursi jabatannya oleh Presiden Soeharto. Hal itu lantaran banyak yang menilai bahwa peristiwa Malari terjadi akibat rivalitas kedua jenderal tersebut dalam ambisi kekuasaan.
KAKAK INDRA PURNAMA
Baca juga : Mengenang Malari, Seknas Prabowo-Sandiaga Gelar Diskusi Publik
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.