BERISTRI dua mungkin mengasyikkan, bila kedua istri itu berlomba membahagiakan suaminya. Tapi yang dialami Pelda. (Purn.) Sufio, penduduk Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, malah sebaliknya. Ia kedapatan sudah menjadi mayat di rumahnya, dengan keningnya bocor dan lehernya dijerat sarung. Ia mati dibunuh dua orang pemuda, Adam dan Ahmudin, atas suruhan kedua istrinya. Kedua pemuda itu pekan-pekan ini terpaksa duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Cianjur. Begitu pula kedua istrinya, Iyar dan Emas. Mereka di pemeriksaan memang mengaku berkomplot menghabisi Sufio. "Kami tak tahan terus-menerus disiksa," ujar Iyar, 55 tahun, istri tua Sufio. Sufio, 61 tahun, ayah 10 anak - tujuh dari istri tua dan tiga dari istri muda - memang dikenal tetangganya sering menyiksa istri. Juga selalu cekcok dengan kedua istrinya. Puncaknya terjadi ketika ia mengutarakan keinginannya hendak mengawini Pipih, 17 tahun, adik kandung istri mudanya, Emas. Tentu saja Emas, 27 tahun, kaget. Sebab, selain Pipih adik kandungnya, wanita itu telah pula bersuami. "Saya tak tega adik saya dikawini Sufio, selain ia sudah bersuami saya 'kan kakak kandungnya," ujar Emas kepada TEMPO. Tapi penolakan Emas itu membuat Sufio murka dan mengancam akan menghabisi keluarganya. "Kalau kamu dan orangtuamu menghalang-halangi, kalian akan kuhabisi," gertak Sufio garang. Padahal, Pipih pun tak sudi dikawini kakak iparnya itu. Ia pun segera meninggalkan kampung halamannya, sambil menitipkan uang Rp 100 ribu kepada Adam, 22 tahun, tetangganya, untuk mencari tukang santet. Tapi tak berhasil. Karena gagal, Iyar dan Emas, yang dimadu tapi rukun itu, kemudian berunding dengan Adam dan Ahmudin, 20 tahun, di rumah Udin, 55 tahun, ayah Emas. Mereka sepakat, Sufio harus dihabisi dengan racun serangga. Malam itu juga, sekitar Oktober lalu, Adam dan Ahmudin diantar Iyar pergi ke rumah Sufio, melaksanakan keputusan itu. Sejak dari ruman Udin, Adam sudah mempersiapkan sepotong kayu, padahal rencananya Sufio akan diracun dengan racun pembasmi serangga yang dituangkan dalam secangkir kopi. "Kalau gagal diracun, akan kami pukul dengan kayu itu," kata Adam di Pengadilan. Mereka tiba di rumah Sufio yang berjarak sekitar 1 km dari tempat perundingan pukul 11 malam. Di bawah sinar lampu petromaks, Iyar memperkenalkan Adam dan Ahmudin. Mereka merundingkan sekitar rencana Sufio untuk menikahi Pipih. Adam sanggup mengantar Pipih ke rumah Sufio. Tanpa curiga, Sufio menyambut gembira uluran tangan kedua pemuda itu. Iyar kemudian pergi ke dapur untuk menyediakan minuman. Pura-pura minta iin ke belakang, Adam menghampiri Iyar, yang sedang meramu racun dan kopi, di dapur. "Tapi setelah kopi itu saya cium, baunya keras menusuk," kata Adam. Takut ketahuan, kopi itu dibuang. Akhirnya, dengan sepotong kayu tadi, Adam memukul kepala Sufio dari belakang. Dengan tiga kali hantaman kayu berukuran 50 cm pada kepalanya, Sufio terjungkal pingsan. Sehelai sarung dijeratkan kedua pemuda itu ke leher korban. Sufio pun mati. Selesai melaksanakan tugasnya, Adam dan Ahmudin pulang ke rumahnya. "Kami diberi ongkos pulang Rp 8.000,00 dan dijanjikan hadiah dua petak sawah," ujar Adam. Polisi ternyata tak sulit mengungkap kasus itu. Beberapa hari kemudian kedua istri korban ditangkap. Mereka mengaku terus terang. Setelah itu, baru Adam dan Ahmudin - keduanya tak punya pekerjaan tetap ditahan. "Kami menyesal, waktu itu hati kami seolah-olah buta," ujar Adam kepada pemeriksa. Di sidang pengadilan mereka mengaku terus terang. Kendati kedua pemuda itu diberi ongkos dan dijanjikan dua petak sawah, hakim masih meragukan mereka pembunuh bayaran. "Mungkin saja mereka membunuh karena simpati kepada penderitaan kedua wanita itu," ujar Ketua Majelis Hakim L.L. Hutagalung. Hasan Syukur & Riza Sofyat (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini