MAU meningkatkan gengsi koperasi agar tidak selalu suram? Ikuti saja jejak Wijaya Bank. Kendati namanya pakai embelembel "bank", Wijaya Bank (WB) bukanlah bank, tapi murni usaha koperasi simpan pinjam yang didirikan beberapa bulan lalu. Dan akibat berpraktek seperti usaha perbankan, dua pengurus Wijaya Bank terpaksa diamankan di Markas Besar (Mabes) Polri, Kamis dua pekan silam. Akal-akalan pimpinan WB berpraktek sebagai bank gelap tergolong nekat. Mungkin WB satu-satunya bank gelap yang berani mengiklankan diri di beberapa harian Ibu Kota, 21 Agustus lalu, yang berisi rencana operasinya. Dalam pada itu, seperti layaknya bank yang baru berdiri, datang "ucapan selamat" dari beberapa perusahaan menyambut dibukanya WB. Naas. Justru iklan itu pula yang membongkar kedok WB. Curiga itu datangnya dari otoritas moneter, yaitu Bank Indonesia (BI). "Sepengetahuan kami, selama ini BI belum pernah meresmikan atau menerima surat permohonan dari Wijaya Bank," kata Dahlan Sutalaksana, Direktur Muda Bank Indonesia. Setelah dicek, nama WB tidak tercantum dalam daftar nama bank-bank yang diberi izin operasi oleh Departemen Keuangan. Kecurigaan itu, sebentar sempat mengambang. Maksudnya, perlu bukti tambahan sebelum BI melaporkannya ke polisi. Entah bukti apa lagi yang dihimpun, yang jelas, BI baru melaporkan ke Mabes Polri pada 27 Agustus, sepekan setelah iklan tadi dimuat. Kamis pagi itu, dua pegawai Biro Hukum BI menghadap Letnan Kolonel Made M. Pastika, Kepala Kesatuan Penyidik Bank, Mabes Polri. Dan hari itu juga dilakukan penggerebekan. "Kami takut mereka melarikan diri, dan kerugian akan lebih banyak lagi," kata Pastika bernada pasti. Dalam penggerebekan itu polisi menahan Direktur Utama WB, Mico Wijaya, 47 tahun, dan Direktur Eksekutif, Hans Sebastine, 42 tahun. Dari kedua tersangka, polisi menyita uang Rp 15 juta, segepok blangko deposito dan tabungan, berikut izin operasinya. Kantornya juga disegel, di lantai 10 Gedung Pacific di Jalan Sudirman, Jakarta. Hingga berita ini diturunkan, sudah 20 pegawai WB yang diminta keterangannya. Selain pegawai WB, polisi memeriksa lima pegawai Departemen Koperasi. Dari hasil pemeriksaan itu baru diketahui WB memiliki izin sebagai koperasi usaha simpan pinjam dari Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Koperasi DKI Jakarta per 1 Juni 1992. Dalam izin hanya dicantumkan nama Koperasi Simpan Pinjam Wijaya, tanpa sebutan "bank" di belakangnya. Dari mana Mico mendapat sebutan "bank"? Itu diperoleh bukan dari Departemen Keuangan, tapi dari Kantor Departemen Koperasi, Jakarta Pusat. Menurut Pastika, dengan bantuan orang dalam di Kantor Departemen Koperasi (kantor di bawah kotamadya) Jakarta Pusat, Mico memalsu akte pendirian koperasi. Selain itu, Mico memalsukan akte pendirian usaha itu. Semula, koperasi itu cuma memiliki izin usaha sebagai koperasi simpanan pinjam dari anggotanya. Namun, dengan bantuan oknum di kantor koperasi, seperti disebut tadi, izin usahanya diubah menjadi menerima deposito berjangka, sertifikat deposito, valuta asing, juga izin mengeluarkan kartu kredit. "Selain Mico, empat dari lima pendiri WB ternyata namanya fiktif," kata Pastika. WB beroperasi memang seperti bank. Bank gelap ini menawarkan produk tabungan yang diberi nama Wijaya Save, bunganya 20%. Kemudian, ada deposito berjangka dengan bunga tinggi sebesar 21% hingga 27% untuk jangka waktu 1w24 bulan. Tak heran, dalam waktu enam hari saja WB berhasil mengeduk dana Rp 30 juta dari 30 nasabah. Praktek bank gelap seperti dilakukan WB, menurut sumber TEMPO, bukan yang pertama. Sejak paket Oktober 1988 digelidingkan lima tahun lampau, paling tidak Pemerintah berhasil membongkar dua badan usaha koperasi yang membuka praktek sebagai bank gelap, di antaranya Koperasi Dwi Daya. Dan yang masih hangat diingat adalah PT Suti Kelola. Dengan imingiming bunga 3,5% per bulan plus bonus 2,5% setahun, Suti Kelola maraup dana masyarakat Rp 8 milyar lebih. Rob Tigor Malau, si pemilik Suti, raib entah ke rimba mana kini. Terlepas dari berhasilnya pihak BI dan polisi menyingkap bank gelap, apa yang dilakukan Mico terbilang berani. Ia mendirikan WB beberapa bulan setelah DPR mensahkan UndangUndang Perbankan baru. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat tanpa izin bisa diancam hukuman 15 tahun, ditambah denda setinggi Rp 15 milyar. "Saya sekarang kapok. Ini adalah yang pertama saya berurusan dengan polisi," kata Mico Wijaya. Namun, kendati ancaman hukuman yang diberikan UndangUndang Perbankan baru itu cukup berat, agaknya praktek bank gelap akan bermunculan. Soalnya, tak sedikit pengusaha yang paham mengenai undang-undang tersebut. Maksudnya, bisa jadi para pengurus itu tak tahu bahwa yang namanya menghimpun dana lewat deposito dan tabungan, sebenarnya haram dilakukan oleh lembaga nonbank. Dan yang jelas, seperti kata Dahlan, BI masih kekurangan tenaga untuk melakukan pengawasan. Bagaimana seterusnya? "Pokoknya, masyarakat jangan keburu tergiur dengan bunga tinggi itu," kata Dahlan. Menahan godaan itu agaknya paling baik. Namun, apa tidak sulit, Pak? Bambang Aji dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini