Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban-korban keberingasan massa

Ribuan orang mengeroyok 4 polisi di desa kaplongan indramayu, karena salah sangka. hanafiah, warga desa Reulue busu, pidie, aceh, dikeroyok karena dianggap sombong. ada pengeroyokan di tangerang.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGOTA masyarakat, akhir-akhir ini, cenderung brutal. Lihat saja peristiwa di Desa Kaplongan, Kecamatan Karangampel, Indramayu, Jawa Barat, Kamis dini hari pekan lalu. Suasana bagaikan perang. Ribuan orang dengan membawa berbagai peralatan, secara brutal, mengeroyok empat orang polisi anggota reserse Polres Cirebon. Padahal, keempat anggota polisi itu, masing-masing Sersan Satu Mahfudri, Sersan Dua Sulaeman Amri, Sersan Dua Sutardi, dan Sersan Dua Agus Suryana, ketika itu lagi bertugas. Mereka di pagi itu, menurut Kapolwil Cirebon, Kolonel Ahmad Turan, tengah melaksanakan perintah penggerebekan ke rumah Mista bin Sadiyah, yang disangka salah seorang pelaku pencurian kendaraan bermotor. Setelah melakukan pengamatan di sekitar rumah Mista, keempat polisi itu membagi tugas. Dua orang mengetuk pintu, seorang berjaga di depan, dan seorang lagi di belakang rumah. Tapi ketika dua petugas berusaha membekuk Mista, tersangka ternyata melawan dan melarikan diri lewat pintu belakang. Namun, dia tertangkap petugas yang siap di belakang rumah. Mista langsung digiring menuju mobil dengan tangan diborgol. Saat itu pula, Janiah, 23 tahun, istri Mista, berteriak, "Garong, garong, garong...." Masyarakat, yang lagi tidur lelap, tersentak dan langsung mendatangi sumber suara itu sambil membawa peralatan seadanya. Bahkan ada di antaranya yang memukul kentongan. Massa pun berduyun-duyun. "Diperkirakan mencapai ribuan orang," kata Kapolwil Ahmad Turan. Tanpa dikomando, massa langsung menyerang keempat polisi yang tengah menggiring Mista. Mereka juga merusakkan kendaraan dinas polisi itu. Melihat hal tersebut, para polisi berteriak mengungkapkan identitasnya. Tapi massa yang telanjur brutal tak menggubris. "Akhirnya terpaksa diberi tembakan peringatan. Itu pun tak diindahkan," kata Achmad Turan. Toh massa tak gentar. Agus Suryana, 24 tahun, untuk membela diri, kata Kapolwil, bahkan terpaksa melepaskan tembakan yang mengenai pangkal paha seorang pengeroyok, Muhidin. Belakangan tokoh masyarakat itu tewas. Tapi tembakan itu justru membuat massa semakin brutal. Agus, yang sudah 3 tahun bertugas sebagai reserse, juga tak tertolong lagi. Ia tewas di tempat itu juga. Untunglah, ketiga rekannya berhasil meloloskan diri. Munculnya kebrutalan massa itu, diakui Janiah, karena teriakannya. "Saya tak tahu bahwa yang datang menggedor rumah itu polisi. Sebab, mereka berpakaian preman dan memperlakukan suami saya dengan kasar," katanya lugu. Menurut Sekretaris Desa Kaplongan, Taram, timbulnya kasus itu akibat polisi salah tangkap. Di desa itu ada empat orang yang bernama Mista. Dan, Mista yang menjadi sasaran polisi itu dikenal sebagai dermawan dan juragan beras. "Malah suka disebut bos," katanya. Sebab itu, penduduk yakin yang menggedor rumah dermawan itu adalah garong. Sebab, desa itu akhir-akhir disatroni pencuri. September lalu, misalnya, salah seorang warga yang dikenal sebagai pedagang emas kena garong. Dan seminggu sebelumnya juga terjadi pencurian. "Apalagi kedatangan keempat anggota polisi tersebut tanpa ada koordinasi dengan aparat desa," kata Taram. Anggota Polres Cirebon mengakui pihaknya tak melapor ke aparat desa. "Operasi itu kan rahasia. Aparat desa tak selalu jujur. Sering operasi gagal gara-gara bocor," begitu alasan seorang atasan keempat anggota polisi itu. Sumber di Polres juga membantah bahwa penangkapan itu salah sasaran. "Mana ada maling mengaku maling?" katanya. Ahmad Turan mengharapkan masyarakat turut membantu jika petugas sudah menunjukkan identitasnya. "Bukan sebaliknya malah mengeroyok," kata Kapolwil. Atas kasus itu, lima orang penduduk setempat hingga kini ditahan di Polres Cirebon. Tak hanya di Indramayu massa beringas begitu. Di Desa Reulue Busu, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa dua pekan lalu, 10 pemuda putus sekolah tanpa ampun menghabisi nyawa seorang pendatang baru di kampung itu, Hanafiah, 25 tahun. Hanafiah roboh bersimbah darah dengan kepala pecah, sekujur tubuhnya remuk dihajar para pemuda. Persoalan di balik pengeroyokan itu ternyata sangat sederhana. Para pemuda yang rata-rata berumur 17 tahun itu, menganggap Hanafiah sombong. "Dia sok jagoan dan tak mau berteman," kata Syaiful, salah satu pemuda itu. Tapi ayah almarhum, Nurdin, keberatan kalau anaknya dikatakan sombong. Hanafiah, yang sehari-hari membuka praktek dukun, juga suka bepergian. Seminggu sampai tiga minggu tinggal di Pidie lalu pindah lagi. "Dia itu pendiam. Bagi yang belum kenal memang bisa dianggap somhong," katanya. Di Tangerang, pesta perkawinan menjadi berantakan, juga gara-gara kebrutalan massa. Pada Minggu dini hari dua pekan lalu, Wajib, 31 tahun -- kakak mempelai perempuan -- dikeroyok anak-anak muda yang membawa celurit dan golok hingga tewas secara mengerikan di kamar tidur sang pengantin. "Meskipun korban sudah berteriak minta ampun, para pelaku tetap membacok korban. Keterlaluan," kata salah seorang saksi yang melihat kejadian itu, Sanusi. Pembunuhan sadistis itu juga berawal dari masalah sepele. Para pemuda itu, entah mengapa, tidak setuju dengan film layar tancap yang diputar tuan rumah pada hajatan itu. Mereka lalu memutus tambang layar tancap hingga roboh. Gara-gara itu Wajib menegur mereka. "Kami kan yang membayar ini semua. Mengapa layar dirobohkan," tanya korban, seperti yang ditirukan salah seorang saksi. Hanya karena teguran itu para pemuda tersebut mengeroyok Wajib dengan brutal. Korban yang mencoba menghindar sampai ke kamar tidur pengantin tetap mereka hajar. Ada apa sebenarnya di balik berbagai keberingasan masyarakat tersebut? Gatot Triyanto, Hasan Syukur, dan Affan Bey

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus