Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Wall street mencium harga minyak

Harga minyak dunia diduga akan naik terus. beberapa negara mulai menambah konsumsi kebutuhan minyaknya. harga saham beberapa perusahaan minyak di bursa wall sreet mengalami kenaikan.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wall Street Mencium Harga Minyak WINARNO ZAIN TAK terbayangkan betapa ngerinya ketika kapal tangki Valdez milik perusahaan minyak Exxon tahun lalu menabrak karang di perairan Alaska dan menumpahkan 11 juta galon minyak ke laut. Berhari-hari TV dan media Amerika memberitakan betapa dahsyat kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Amerika, yang memang sudah prihatin dengan lingkungan, makin gelisah dengan peristiwa itu. Belum lagi reda peristiwa Alaska, pecah lagi berita tentang bocornya tanker minyak di Huntington Beach, dekat Los Angeles. Kali ini biang keladinya tanker sewaan British Petroleum (BP) dari Inggris. Meski jumlah minyak yang tumpah kecil sekali dibandingkan peristiwa Alaska (cuma 400.000 galon), kejadian itu mempertajam kepekaan terhadap rusaknya lingkungan akibat kecelakaan minyak. Perusahaan minyak akan berpikir dua kali sebelum melakukan eksplorasi di Amerika. Akibatnya, negara pemakai minyak terbesar di dunia ini tak punya peluang lagi untuk meningkatkan produksi minyaknya. Bahkan produksinya yang sekarang pun sudah lebih kecil dari sebelumnya. Tahun lalu produksi minyak AS merosot 500.000 barel sehari, dan tahun ini diperkirakan akan merosot lagi dengan jumlah sama. Sejak harga minyak jatuh empat tahun lalu, sumur-sumur minyak di Texas, Oklahoma, dan Louisiana, tiga negara bagian penghasil minyak terbesar di AS, sudah ditutup karena operasinya tak lagi menguntungkan. Sekalipun AS tetap penghasil minyak terbesar di dunia setelah Uni Soviet -- produksinya 50% lebih tinggi dari produksi Arab Saudi -- AS akan menghadapi kenyataan bahwa tak lama lagi separuh konsumsi minyaknya akan berasal dari impor. Kalau benar begitu, ini berita bagus bagi beberapa negara penghasil minyak seperti Indonesia. Kenaikan konsumsi minyak dunia ternyata tak cuma berasal dari negara industri. Tahun lalu sebagian besar kenaikan konsumsi minyak justru dari Dunia Ketiga, terutama Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Korea, yang PDB-nya tumbuh 10%, tahun lalu meningkatkan konsumsi minyaknya 20%. Permintaan terhadap minyak akan terus meningkat, dan ini hanya berarti satu: harga minyak akan terus menguat, meski banyak orang masih skeptis. Memang harga minyak akan mengalami siklus naik turun. Dia akan dipengaruhi sikap OPEC dan angin Kutub Utara. Kini tak sukar melihat perkembangan harga minyak untuk jangka panjang. Boleh jadi, harganya tak akan merosot ke US$ 14 per barel seperti digunakan Indonesia untuk perhitungan APBN tahun lalu juga tak akan merosot ke US$ 16 seperti dipatok dalam APBN 1990-91 yang akan dimulai 1 April ini. Dengan makin merosotnya produksi minyak di luar OPEC, permintaan terhadap minyak OPEC makin naik. OPEC akan tetap merupakan pemasok utama minyak dunia. OPEC dengan pelan mulai mengembalikan posisinya sebagai pemasok minyak dunia terbesar, sekalipun belum mencapai kedudukan yang dipegangnya pada awal 1980-an. Kini OPEC mulai di atas angin. Soalnya adalah, apakah OPEC di masa mendatang akan bersikap arif dalam memainkan perannya sebagai aktor penentu dalam dunia perminyakan. Musim dingin yang kini membeku di belahan bumi utara cukup menyejukkan saraf OPEC. Kelebihan produksi beberapa anggotanya yang melanggar kuota tak begitu dianggap serius oleh para menteri minyak. Sebab, walau produksi OPEC kini satu atau dua juta barel sehari di atas kuota resmi, ternyata harga minyak selama ini tidak goyah. Tak ada keributan di antara anggota OPEC, karena setiap anggota masih untung. OPEC baru akan menghadapi ujian pada musim semi mendatang, saat harga diduga akan melemah. Soalnya memang lebih terpulang pada ke-13 anggota OPEC, apakah mereka tak lagi akan terperosok pada pertengkaran kepentingan jangka pendek. Kalau soalnya kini bukan lagi urusan membagi produksi, masalah yang menonjol adalah ini: bagaimana mengendalikan supaya harga tak terlalu cepat naik, karena ini bisa jadi bumerang. Pengusaha komoditi yang berpengalaman suka menyebut fenomena ini sebagai market resistance, gejala di mana konsumen akan melawan kenaikan harga yang terlalu cepat. Misalnya, pindah ke barang substitusi. Dalam hal komoditi minyak, perpindahan dari minyak ke gas alam hanya berjarak beberapa langkah, padahal gas alam lebih murah dan lebih bersih. Dan gerakan ke penggunaan gas alam memang sudah makin menjalar ke banyak negara industri dan negara industri baru. Ingat, ekspor gas alam cair Indonesia sendiri kini makin menduduki bagian makin besar dalam ekspor minyak dan gas bumi. Perlawanan juga bisa timbul dengan dikerjakannya kembali sumur dan ladang yang selama ini menganggur. Karena harga minyak naik, maka mereka jadi lebih menarik untuk dikerjakan kembali. Perlawanan apa pun yang dilakukan konsumen, efeknya akan sama: keseimbangan permintaan dan penawaran akan terseret ke arah yang tak menguntungkan buat pembentukan harga. Mengemukakan pentingnya pricing management buat OPEC saat ini tentunya bukan sesuatu yang prematur, karena ramalan para ahli -- termasuk Bank Dunia -- dua tahun silam tentang naiknya harga minyak pada 1990-an, sampai saat ini belum salah, dan belum ada yang merevisi. Bahkan perubahan dahsyat di Eropa Timur bisa memperkuat ramalan ini. Uni Soviet tak lagi menjatahi minyak gratis kepada bekas negara satelitnya, hingga mereka kini terpaksa mulai membeli dari OPEC. Karena itu, konsensus para ahli masih tetap: harga minyak bisa sampai US$ 30 per barel beberapa tahun mendatang. Kini harga sekitar US$ 18 per barel. Ini bukan ramalan kosong barangkali. Exxon dan BP menderita rugi di atas US$ 2 milyar dari bencana kebocoran tadi. Tapi, di luar dugaan, harga saham mereka di bursa Wall Street tidak terpukul. Harga saham BP lebih dari sepekan lalu malah naik dari US$ 69,25 menjadi US$ 70,75. Harga saham Exxon tercatat US$ 48,50, naik 15% dari tahun lalu. Wall Street agaknya cukup jeli melihat apa yang bakal terjadi dengan harga minyak. Los Angeles, Maret 1990

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus