Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Korban Sirkus OCI Ungkap Tak Pernah Terima Santunan

Pendamping para mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) meragukan klaim pengelola sirkus yang menyebut telah menanggung biaya pengobatan.

21 April 2025 | 17.40 WIB

Perwakilan eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) didampingi penasihat hukum Muhammad Soleh (kanan) saat ditemui usai rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 21 April 2025.  TEMPO/Intan Setiawanty
Perbesar
Perwakilan eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) didampingi penasihat hukum Muhammad Soleh (kanan) saat ditemui usai rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 21 April 2025. TEMPO/Intan Setiawanty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pendamping para mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), Muhammad Soleh, menyatakan kliennya tidak pernah menerima kompensasi meski menderita cacat akibat kecelakaan kerja. Ia meragukan klaim pengelola sirkus yang menyebut telah menanggung biaya pengobatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Jangankan satu miliar, satu juta, saksi hidup, satu rupiah pun tidak ada,” kata Soleh saat ditemui usai rapat dengan Komisi III DPR di Senayan, Jakarta, Senin, 21 April 2025. Ia juga mengatakan, eks pemain bernama Ida dipulangkan ke keluarganya hanya setelah dianggap tidak berguna lagi bagi pertunjukan. “Dia dikembalikan setelah jatuh dan tidak bisa menghasilkan uang,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara pengelola sirkus, Jansen Manangsang, sebelumnya mengklaim telah membiayai operasi Ida di RS Sumber Waras. Namun Soleh menegaskan, “Itu kewajiban. Tapi kenapa baru dipertemukan setelah jatuh?”

Sejak kecil, lanjut dia, para pemain OCI dieksploitasi, dipisahkan dengan orang tua mereka, dengan kekerasan melatih sirkus. Namun nahas, setelah korban cacat, tidak mendapatkan santunan sepeser pun.

Oleh karena itu, lanjut Soleh, pihaknya mendorong Komisi III untuk melihat bahwa ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Musababnya, kata dia, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat tidak ada kedaluwarsanya.

Komisi III DPR memanggil eks pemain sirkus dan pengelola OCI untuk menggali lebih dalam ihwal dugaan eksploitasi dan kekerasan di masa lalu. Wakil Ketua Komisi III Rano Alfath mengatakan forum tersebut bertujuan membuka seluruh persoalan. “Soal OCI itu kan kita pengen perdalam aja, masalahnya apa. Terus apakah benar ada kekerasan di dalamnya? Nanti itu dibuka di situ semua,” kata Rano.

Adapun Taman Safari Indonesia awalnya didirikan pada 1981 di atas tanah seluas 55 hektare di Cisarua Selatan. Pendiri taman satwa itu adalah tiga bersaudara Jansen Manansang, Frans Manansang, serta Tony Sumampau. Mereka merupakan anak dari Hadi Manansang, pendiri OCI.

Tony, mewakili OCI, mengklaim perusahaan tersebut tidak memiliki hubungan dengan Taman Safari Indonesia. “Hubungan legal nggak ada, hubungan uang juga nggak ada,” katanya.

Pada 1970-an, Tony menghabiskan masa kecil bersama anak-anak pemain sirkus OCI, yang pada 2025 sudah berusia dewasa. Sekitar lima dekade kemudian, para pemain sirkus yang sudah dewasa kembali mengungkap adanya dugaan eksploitasi dan pelanggaran HAM yang terjadi pada mereka selama di OCI.

Sebelumnya, mereka sempat membawa kasus ini ke Komnas HAM. Pada 1997, Komisi menyatakan OCI telah melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap anak-anak pemain sirkus.

Pelanggaran yang disebutkan adalah terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan; hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis; hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak; serta hak anak untuk mendapatkan pelindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak.

Isu ini kembali mencuat ketika delapan perwakilan dari para korban menyambangi kantor Kementerian HAM di Jakarta Selatan pada Selasa, 15 April 2025. Sebagian besar adalah perempuan paruh baya. Mereka berdialog dengan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, beserta dua direktur jenderal kementerian tersebut.

Para korban mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti dipukul, disetrum, dipaksa bekerja dalam kondisi sakit, dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan, hingga dipaksa makan kotoran hewan.

Dalam kronologi tertulis dari pendamping korban, dikatakan bahwa para pemilik dan/atau pengelola OCI serta Taman Safari Indonesia mengambil dan memisahkan lebih dari 60 anak-anak berusia 2 – 4 tahun dari orang tua mereka. Kemudian di usia 4 – 6 tahun, mereka diduga dipekerjakan tanpa upah, tidak disekolahkan, dan tidak diberi tahu identitas aslinya.

Tony, mewakili OCI, telah menyangkal terjadinya bentuk kekerasan seperti pemukulan, penyetruman, dan pemisahan ibu dengan anak. Namun, ia membenarkan dahulu OCI tidak membayar upah para anak pekerja sirkus, melainkan hanya memberi mereka uang saku. 

Ia juga mengatakan terjadi kekerasan dalam bentuk pukulan menggunakan rotan. Hal itu ia gambarkan sebagai hal “biasa” dan bentuk “pendisiplinan”. “Pemukulan biasa itu ada aja. Tapi kalau dengan alat, dengan besi, nggak mungkin lah,” ujarnya.

Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus