Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang menceritakan kronologi terjadinya kericuhan dan kekerasan yang dialami sejumlah demonstran penolak Undang-Undang TNI di depan kantor parlemen setempat pada Minggu, 23 Maret 2025. Menurut Sekretaris Jenderal PPMI Kota Malang Delta Nishfu, ia bersama tujuh anggota PPMI dari berbagai perguruan tinggi yang ikut jadi korban kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tanganku memar, enggak bisa nyetir (sepeda motor) karena waktu kejadian aku sempat diseret, terus dipukuli dan hampir dibawa (diamankan) polisi,” kata Delta pada Senin sore, 24 Maret 2025, atau sebelum Tempo mendapatkan rilis buatan PPMI Kota Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara dalam rilis itu, Delta menjelaskan aksi dimulai pada sekitar pukul 15.45 WIB di depan gedung DPRD Kota Malang dan dibuka dengan mimbar orasi oleh sejumlah massa aksi. Sore itu, terdapat pula perpustakaan jalanan yang digelar di belakang massa aksi. Aksi berjalan dengan kondusif sampai sekitar pukul 17.45 WIB (azan magrib). Menjelang magrib, demonstran memilih untuk duduk dan menunggu waktu berbuka.
Di rentang waktu itu, paramedis mulai berkeliling dan memberikan air minum kepada massa aksi untuk berbuka. Terdapat pula kiriman makanan dari donatur warga X. Banyak sukarelawan lain yang membagikan konsumsi waktu itu. Massa aksi kemudian berhenti sejenak untuk berbuka puasa bersama sampai dengan kurang-lebih pukul 18.00 WIB.
Sementara itu, gedung DPRD dimatikan aliran listriknya saat langit telah gelap. Setelahnya massa aksi mulai melakukan aksi teatrikal simbolik selama kurang-lebih 15 menit.
Di teatrikal itu, dua perempuan bernarasi dan berorasi. Dua laki-laki lain, berakting seperti aparat negara yang melakukan kekerasan kepada rakyat ketika bersuara. Orasi dan puisi-puisi kembali dikumandangkan setelahnya. Massa aksi yang lain mulai mengeluarkan bola plastik dan menggunakan jalan sebagai lapangan mereka. Mereka bermain bola di sana.
Sejenak setelah itu, beberapa paramedis sempat menuju ke tengah-tengah demonstran. Dengan pengeras suara, mereka menginformasikan kepada massa aksi untuk bisa mengenali mereka dengan lambang palang merah.
Lambang itu terbuat dari lakban berwarna merah yang menempel di baju mereka. Meskipun telah tersiar di media sosial bahwa posko medis terletak di halte SMAN 1 Malang, paramedis kembali mengingatkan para demonstran untuk menuju pos-pos mereka. Pos yang mereka maksud adalah halte untuk penderita luka berat dan trotoar depan balai kota untuk luka ringan.
Sekitar pukul 18:20 WIB, ketika beberapa massa aksi tengah bermain bola di tengah jalan, polisi mulai bersiap-siap mengenakan peralatan mereka. Tak lama setelah itu, beberapa polisi mulai memukul mundur demonstran dari dua arah. Pertama, beberapa polisi mencoba memukul mundur massa aksi dari arah timur balai kota. Kedua dari arah Jalan Majapahit dengan puluhan polisi dengan peralatan lengkap. Beberapa menit berikutnya, aparat gabungan berlari dan mengejar para demonstran.
Pukul 18:30 WIB, tim paramedis melakukan mobilisasi karena ada laporan beberapa massa aksi yang terluka. Pada menit-menit ini, aparat mulai menyerang massa aksi dan tim paramedis yang sedang melakukan mobilisasi maupun yang berjaga dan siaga di posko medis.
Sejumlah massa aksi ditangkap, dipukul dan mendapatkan ancaman. Tim medis dan pendamping hukum yang bersiaga di halte Jalan Kertanegara juga mendapati pemukulan, kekerasan seksual dan ancaman pembunuhan (verbal) dari aparat gabungan. Tim paramedis dipukul mundur dari posko.
Beberapa alat medis dan obat-obatan tim medis tidak terselematkan. Satu massa aksi yang mencoba menyelamatkan paramedis dan menjelaskan bahwa mereka paramedis justru dikeroyok aparat gabungan. Aparat gabungan mencoba menculiknya sambil tetap memukulnya. Aparat gabungan kemudian mengerumuninya.
Pukulan tongkat dari aparat itu membuat dua giginya rontok dan beberapa yang patah harus dicabut. Sekitar pukul 18.50 WIB, dia dilarikan ke Rumah Sakit Sjaiful Anwar.
Di sana, ia dinyatakan harus menjalani dua operasi. Operasi yang akan dia jalani adalah agar bisa membuat mulutnya menutup dan untuk meluruskan tulang rahangnya dengan tengkorak. Pasalnya, ada kemungkinan bahwa tulang rahang dan tengkoraknya patah.
Aparat gabungan (polisi dan tentara) melakukan penyisiran dan memukul mundur massa dengan membabi buta dan represif pada pukul 18.35 WIB. Daerah yang mereka serang dan sisir adalah sekitaran Balai Kota Malang, Jalan Suropati, Jalan Sultan Agung hingga Jalan Pajajaran.
Di arah lain, aparat melakukan penyisiran melalui Jalan Gajahmada. Perkiraan aparat gabungan yang terlibat kurang lebih berjumlah dua pleton. Sejumlah gawai massa aksi dirampas. Pada jam-jam ini, massa aksi turut ditangkap dan dipukuli juga oleh orang tak dikenal berpakaian hitam.
Pemukulan terhadap beberapa awak pers mahasiswa terjadi di momen ini. Salah satu pengurus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang inisial DN sempat diseret orang tak dikenal di dalam bundaran Tugu sesaat setelah merekam pergerakan aparat dari jarak dekat. Saat diseret, DN sempat melemparkan ponselnya ke semak-semak.
Setelah diseret, DN mengalami pemukulan meskipun sudah mengatakan bahwa dirinya hanya melakukan peliputan. Salah seorang kawan pers mahasiswa yang melihat kekerasan tersebut turut membantu meneriaki bahwa DN adalah anggota pers sehingga beberapa saat setelah mendapat pemukulan, DN pun dilepaskan dan segera mencari pertolongan medis di depan Aula Skodam Brawijaya.
Jurnalis mahasiswa lain dari LPM Kavling 10 Universitas Brawijaya berinisial KI juga mengalami pemukulan oleh aparat berseragam. Ia mengalami pemukulan di depan Hotel Tugu saat hendak menjauh dari sekitar bundaran Tugu. Saat itu, massa aksi mulai dipukul mundur oleh aparat ke arah barat (Jalan Jenderal Basuki Rahmat dan Jalan Suropati). KI sempat bersembunyi di belakang mobil bersama tiga kawannya.
Saat itu juga aparat menghampiri mereka. KI segera menunjukkan identitasnya sebagai pers mahasiswa. Meski begitu, KI tetap dipukul sembari disuruh pulang oleh aparat. Ia mendapatkan tiga pukulan. Satu pukulan tangan ke pipinya dan dua pukulan tongkat ke kepala dan punggungnya. Tak hanya itu, aparat juga sempat merampas ponselnya. KI sadar bahwa ponselnya hilang. Kemudian saat ia berbalik badan, aparat melempar ponselnya.
Selain itu, terdapat satu awak jurnalis perempuan UAPM (Unit Aktivitas Pers Mahasiswa) Inovasi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim yang mengalami pemukulan polisi ketika hendak meninggalkan lokasi aksi. Ketika polisi meneriakinya untuk segera pergi, ia mendapatkan satu pukulan tongkat di kakinya.
Padahal ia sudah berlari dari titik aksi. Di tengah perjalanan, ia mendapatkan pelecehan verbal berupa diskriminasi gender. Setelahnya, ia dipukul dua kali menggunakan tongkat di leher dan betis kanan hingga lebam.
Hampir semua pemukulan awak jurnalis mahasiswa terjadi saat mereka hendak mundur dari area bundaran balai kota. Sampai rilis ini ditulis, setidaknya ada 8 pers mahasiswa yang mengalami pemukulan oleh aparat. Semuanya mengalami luka ringan dan sudah mendapatkan perawatan.
Pernyataan sikap PPMI Kota Malang:
1. Mengecam kekerasan aparat terhadap pers mahasiswa, tim medis, dan massa aksi.
2. Mengecam tindakan pelecehan seksual yang dilakukan aparat terhadap jurnalis perempuan maupun tim medis.
3. Menuntut Kepolisian Resor Malang Kota (Polresta) untuk mengevaluasi total kinerja aparat untuk pengamanan demonstran.
Rilis ini ditutup dengan tanda pagar atau tagar #GagalkanRUUTNI, #CabutRUUTNI, #KembalikanTNIkeBarak, #PeringatanDarurat, #IndonesiaGelap, dan #StopKriminalisasiJurnalis
Pilihan Editor: Teror Kepala Babi dan Kekerasan Jurnalis yang Meningkat