UNDANG-undang sebenarnya telah menjanjikan "Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kelalaian mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi." Hanya asal berikutnya, dari Undang-Undang Pokok Kehakiman (pasal 9) itu, masih dinyatakan: "Tatacara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan undang-undang." Nah, undang-undang yang mengatur, sebagai peraturan pelaksanaan, itulah yang hingga kini belum juga terbit. Padahal undang-undangnya sendiri telah hadir di tengah masyarakat sejak 1970. Bagaimana warganegara yang mengalami 'kecelakaan hukum' hendak menuntut kepada yang berwajib? Apa boleh buat: tunggu saja dulu sampai peraturannya lahir -- entah sampai kapan pula. Makanya La Yai bin Saimo (40 tahun), seorang penduduk Bangka, tak pernah berfikir untuk menuntut ganti rugi kepada pihak kejaksaan walaupun hampir setahun ia mendekam dalam rumah tahanan tanpa terbukti bersalah. "Ah, sudahlah. Sudah bebas juga syukur," katanya. Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang sedang sibuk memburu-buru para penyelundup timah di kawasannya. Beberapa orang telah tertangkap dan diseret ke meja hijau. Tapi tentu saja masih lebih banyak yang buron. Di antaranya seorang bernama La Yai. La Yai yang mana? Tak begitu jelas. Kejaksaan Pangkal Pinang, membantu rekannya dari Tanjung Pinang, Mei 1977 menahan La Yai. Setelah ditahan di Pangkal Pinang, hampir setengah tahun, La Yai dikirim ke Tanjung Pinang. La Yai dari Pangkal Pinang yang satu ini memang bukan orang baru dalam dunia penyelundupan timah. Sudah beberapa kali berurusan dengan yang berwajib. Tapi sampai hampir setengah tahun pula di Tanjung Pinang, belum ada tanda-tanda La Yai diurus sebagaimana mustinya, diutik-utikpun tampaknya tidak. Sebab, menurut Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang, Murdono SH, jaksa yang bertugas mengurus, Sagala SH, sakit. Begitu berlarut-larutnya La Yai menunggu kepastian nasibnya, sampai Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pinang sendiri, Mahyuddin SH, ikut kewalahan meneken surat perpanjangan penahanan. "Sudah sulit bagi kami untuk mempertanggungjawabkan," kata Mahyuddin. Hingga, akhirnya, sejak awal 1978 pengadilan tak mau lagi memberi izin perpanjangan penahanan. Barulah, setelah pengadilan bersikap kejaksaan memilih jaksa baru untuk mengurus perkara La Yai. Yang ditunjuk jaksa Hamidah Hamzah. Di tangan jaksa Hamidah urusan jadi cepat beres. Beberapa orang penyelundup timah yang sudah tertangkap, yang diduga mengetahui peranan La Yai, diundang menyaksikan tampang La Yai. Hasilnya ringkas La Yai bukan La Yai yang harus dituntut. La Yai yang dicari sebenarnya masih muda, 30 tahun, berkulit kuning dan langsing. Sedang La Yai yang ditunjuk Hamidah, sudah berbadan gembrot, tua, kulitnya hitam lagi. Jadi, sejak 4 April lalu, La Yai dibebaskan tanpa syarat. Juga tanpa ucapan terimakasih dan permintaan maaf dari yang berwajib. Padahal, kalau toh belum ad sarana bagi La Yai menuntut ganti rugi, seperti yang diakui oleh Kepala Kejaksaan sendiri, Murdono, "mustinya pembebasannya disertai surat pernyataan maaf." Tapi undang-undang yang mewajibkan petugas hukum minta maaf kepada rakyat 'kan belum ada?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini