DUNIA tukang ojek semakin luas. Di Bali banyak anak muda punya
penghasilan dengan memboncengkan turis pakai motor. Di Jakarta
tidak ha~nya turis. Warga Ibukota sendiri suka dibonceng pakai
motor dan sepeda. Juga di Banjarmasin, dunia boncengan
rupa-rupanya menular.
Sudah ada bis kota, becak dan taksi kok masih pakai ojek. Masih
sempat saja hasil akal-akalan baru ini menyelip dengan berbagai
alasan. Masyarakat yang sering lewat di sepanjang kaki lima
Jalan Niaga, atau di depan Mesjid Noor di Banjarmasin, dapat
menyaksikan ojek bagai ikan-ikan yang rakus dan gesit di
jalanan. Ia merampas nafkah sopir angkutan resmi yang tercatat
dalam pembukuan DLLAJR. Dengan terampil dan gagah ia mengarungi
gang-gang sempit dan tanah-tanah becek sehingga memiliki sifat
yang disukai para penumpang: cepat, praktis! Walaupun
umpamanya terganggu bau keringat si tukang ojek, alah tak
apa. Palingkan muka sedikit, bau hilang dikebut angin.
Non-K~omersiil
Selain Banjarmasin, juga di Gambut, Banjarbaru, Martapura,
Binuang dan Kandangan, ojek mulai menenegakkan kekuasaannya.
Apalagi jalan-jalan banyak yang parah dengan borok-borok besar,
sehingga taksi tak berani menghampiri. "Kami beroleh rezeki
karena jalan rusak. Karena jalan tak dapat dimasuki atau
jarang disentuh mobil umum,~" kata ojekwan Parhan kepada Rahmat
Marlim dari TEM~PO. Lelaki berusia 40 tahun ini beroperasi di
Jalan Martapura Karang Intan (Riam Kandangan). Status resminya
sih bukan tukang ojek: ia masih dinas sebagai guru SD di
Karang Intan.
Bagaimana duduk perkaranya seorang guru bisa jadi tukang
memb~onceng-bonceng orang, mungkin bisa ditanyakan pada Menteri
P&K. Secara moral dan ethis hal tersebut memang sedikit bikin
kabur gambaran guru sebagai pendidik yang dihormati. Tapi pada
Parhan soalnya hanya masalah pembagian waktu. Ya kan Pak Parhan?
Lihat saja, siang sehabis mengajar, setelah sembahyang dan makan,
hidupnya vakum. Mau dibikin apa waktu kosong itu, kalau tidak
berdwifungsi? Mumpung ia punya sepeda motor Yamaha hasil kredit
Cari rezeki dengan cara apa saja kan mulia, asal halal. Qur'an
juga tak melarang, ya kan Pak Parhan?
"Mengikuti desakan zaman, rasanya kita kurang cocok jalan kaki
ataupun pakai sepeda butut,~ kata Parhan memberi
pertanggungja~waban kehadiran motor itu. "Sekarang kan motor
banyaknya sudah seperti sepeda saja." Maka ia pun tak
segan-segan membayar harga Yamaha yang Rp 150 ribu itu,
pelan-pelan. Apalagi jarak rumah dan sekolah tempatnya mengajar
lumayan bagi orang yang bukan pengikut Harbans Singh. Sejak itu,
berbau bensinlah guru kita ini.
Inspirasi untuk menjadi ojekwan datang dengan tak terduga. Pada
suatu hari, adalah seorang lelaki yang terlantar, karena tak
bisa pulang kampung. Soalnya: tak ada mobil yang sudi lewat
-- maklum jembatan rusak. Lagipula jalan waduh payah. Sebagai
seorang guru yang sering menasehati muridn~ya untuk
tolong-menolong, Parhan merasa simpati.
Lalu ia tawarkan jasa memboncengkan lelaki itu sampai ke
rumah. Dengan hati yang benar-benar non-komersiil. Tapi lelaki
yang ditolong itu, lantaran girangnya, menyelipkan selembar
kertas di kantong Pak Guru. Tak bisa ditolak (lagipula,
mengapa ditolak?) karena lelaki itu berkata dengan tulus:
"Terima kasih. Sekedar untuk beli bensin." "Ya, terimakasih
dah," sahut Pak Guru akhirnya.
Parhan tentu saja tak peduli berapa jumlah uang itu. Ia
meluncur pulang sambil menghirup udara dengan segar, bangga
juga bahwa barangnya yang mahal bisa berfungsi sosial. Setelah
jauh ia baru iseng memperhatikan lembaran yang ~diselipkan orang
itu. "Lima ratus," serunya dengan terkejut. Nah. Waktu itulah
inspirasi datang.
Ia mendadak berfikir ekonomis: bagaimana kalau usaha "menolong"
itu diteruskan. Ia menghitung-hitung: yah, lumayan untuk membayar
cicilan motor yang belum lunas. Lalu terbayang angka-angka
pengeluarannya: untuk bensin sekian, untuk reparasi sekian.
Parhan jadi kagum juga. Lalu ia putuskan: "Daripada konsumtif
melulu, kan lebih baik produktif?" Sejak itu ia menjadi ~guru
merangkap ojekwan. Kadangkala juga terbalik: ojekwan
merangkap guru.
Dipanggil Penilik Sekolah
Pendapatannya lumayan. Sedikitnya Rp 500 sehari. Sedang kalau
rezeki baik bisa sampai Rp 3 ribu. "Nganggur 2 hari tak apa, toh
masih ada restan pendapatan," kata Parhan. Sekarang sudah
hampir 8 bulan ia ngojek. Cicilan Yamahanya sudah tunai,
bahkan ada sisa dalam bentuk tabungan. Pekerjaan itu masih
tetap dihadapinya sebagai setengah amal setengah uang. Maklum
guru. "Tengah malam tak jarang pintu rumah saya digedor orang
sekampung," katanya menceritakan dengan polos.
Gedoran itu biasanya berakhir dengan perjalanan panjang ke
luar kampung yang jauh nun di sana. Alasannya, misalnya,
ada kerabat yang meninggal dan perlu dilayat. "Kalau sudah
begitu mau tak mau saya cuci muka. Asal ada bensin di
tangki dan mesin tak bertingkah, permintaan itu saya kabulkan,"
kata Parhan. Untuk menolong orang yang kaluratan ini (musibah
kematian menurut istilah sana) Parhan pernah menempuh jarak
sampai 180 km -- dengan motor, ingat.
~ Mending kalau ada listerik. Yamahanya harus meluncur lewat
pematang sawah yang sempit dan becek. Berbagai kemungkinan
sudah ia alami. Ban dalam pecah. Motor ngadat. Yang paling
m~alang, kalau bensin tandas. Parhan pernah menderita
kehabisan bensin di sebuah pelosok yang sepi. Ia baru ~dapat
merasakan bahwa Yamaha tanpa bensin ternyata hanya tumpukan
besi biasa yang tak berguna, malah jadi beban. Ingat di
daerah tak sembarang tempat ditongkrongi tukang jual
bensin kan.
Maka berdoalah Parhan semoga ada motor lain lewat, untuk
menderma bensin. Baru dinihari krisis energi bisa diatasi.
Sebuah motor lewat, pemiliknya berkenan menyedotkan bensin
lewat p~ipa darurat. "Karena p~ngalaman itu, saya selalu
men~gisi tan~ki bensin saya s~eb~elum mengantar penumpang k~e
pelosok," kata Parhan.
Bagaimana ia mengkombinasikan kekaryaannya sebagai guru
dan sebagai tukang bonceng, merupakan pengalaman yang lain
lagi. Dua tiga orang guru SD yang lain, rupa-rupanya juga
telah ikut terjun ngojek. ~~Maka pada suatu hari, Penilik
Sekolah memanggil Parhan dan guru-guru tersebut ke kantor.
Tentu saja untuk "dimintai keterangan". Padahal bukan
salah Parhan. Waktu itu Parhan lewat sekolahnya pagi-pagi
sebelum jam sekolah, mengantar penumpang. "Tapi jam dinas
tetap saya pegang," ujarnya. Penilik sekolah sendiri tak
melihat. Ia hanya mendapat laporan ada guru bolos
karena ngojek.
Parhan dapat menjamin: ia tidak mengganggu jam-jam dinasnya
sebagai guru, meskipun ngojek mendatangkan lebih banyak duit.
Tak sempat dihubungi apakah guru-guru lain yang jadi tukang
ojek juga dapat menjamin hal tersebut. Bagi Parhan, sekali
lagi, ngojek sama sekali bukan pekerjaan hina. Ia
menganggapnya sebagai bantuan kepada kelancaran transportasi
umum. ~Memperkaya keluarga, dan sekali lagi amal. ~Rupa-rupanya
arti ngojek dari sudut tukang ojek bisa m~acam-mac~am.
Tam~si Leo, anggota Pro~vost di Sungai Ulin, juga berdwifungsi
sebagai tukang ojek. Ia berpendapat: "Ngojek ~adalah
menghilangkan keruwetan rumah tangga dan bisa bergaul
langsung dengan rakyat," katanya. "ABRI dan rakyat kan ibarat
ikan dan air." Dengan memakai jaket bertuliskan "Sukarelawan
Timor Timur," Leo (41 tahun) berpangkalan-di Simpang Empat
Banjarbaru. Leo memiliki sebuah Kawasaki. Ia dinas siang
malam, tapi hanya pada hari Minggu. Sekali antar ke Aranio
Riam Kanan, tarifnya Rp 500. Malam h~ari ~dua k~ali lipat.
"Makium Pak, pangkat saya cuma tamtama. Gaji cuma Rp 30 ribu.
Jadi bayangkan!" kata Leo dengan ngeres menerangkan kenapa ia
tidak membiar~kan hidupnya tenteram pada hari Minggu. Dari hasil
ngojek itulah ia dapat nombok biaya sekolah anak dan
adik-adiknya. Untung ia tergolong ~seorang yang aktif memburu
penumpang. Tidak itu saja. Dengan semangat Provostnya, ia
pun aktif memimpin tukang-tukang ojek dalam daerahnya, untuk
memperhatikan faktor keamanan penumpang -- satu hal yang bisa
membantu bisnis ojek menjadi pesat. "Soal keamanan pribadi di
sini dijamin, Pak. Biar tengah malam sekalipun," kata Leo
dengan yakin. Maklum militer.
Bagaimana d~engan ojek yang bukan merupakan kerja sambilan?
Lain lagi ceritanya. Ada seorang tukang ojek bernama Tarmiji,
di jurusan Gambut-Aluh-Aluh dan Sungai Tabuk -- 14 km dari ~
Banjarmasin. Usianya 25 tahun. Tidak punya motor sendiri.
Ia menyewa Honda dengah bagi hasil (dua-pertiga untuk
pemilik!) setelah dipotong pengeluaran bensin dan oli.
Hasilnya antara Rp 500-Rp 1000 sehari. Tarmiji cukup puas
dengan angka ini, meski badannya jadi pegal juga dimakan angin.
Ia berasal dari Kandangan. Tertiup oleh angin urbanisasi:
ia terlempar ke Banjarmasin. Rupanya di sana kepalanya
terbentur pada hidup yang keras. Tarmiji, yang masih bujangan
ini, lari ke Gambut. Mulanya jadi tukang becak. Lama-lama becak
dilalap ojek. Maka ia pun menyeber~an~g jadi tuk~an~g ojek. Tapi
meskipun menunggangi hasil teknologi, keadaan jalan yang sedih
membuat Tarmiji tak bisa membedakan mana lebih capek: genjot
becak atau makan asap Honda. "Cuma tukang ojek lebih
bergengsi. Dikira motornya punya kitalah. Jadi cocok saja
kalau ada gadis kampung yang naksir," kata Tarmiji
terkekeh-kekeh, sambil membetulkan kacamata riben-kelelawarnya.
Hindari Wa~nita
Namun posisi ngetop di kalangan gadis kampung ada juga
sialnya. "Kalau turun dari motor, si gadis cuma bilang terima
kasih dan kita cuma dikasih senyum genit. Mau bilang apa,"
kata Tarmiji sambil mengenang pengalaman-pengalamannya. "Masak
kita bilang, hee tidak, kau harus bayar. Kan tidak sampai hati.
Mau bertengkar? Ah, kita kan lelaki baiknya mengalah saja.
Begitu kan?"
Sebagai tukang ojek berdarah muda, menurut Tarmiji darahnya
sering tersirap. Soalnya ia sering memboncegkan gadis atau
janda kembang. "Apalagi kalau sekali waktu dadanya menempel
ke belakang punggung saya, karena ada goncangan-goncangan,
wah, susah Pak," katanya sambil memperbaiki sekali lagi ~
kacamatanya. Karena itu menurut Tarmiji: sebaiknya
menghindari m~embawa penumpang wanita. "Bukan apa-apa. Kita
kan cumanya berniat cari rezeki. Bisa nabung buat beli
becak sendiri. Tidak seperti kawan-kawan lain, main-main."
Ia menyatakan sedang bersemangat untuk menabung. "Kawin sih
memang kepingin, tapi cukup tabungan dulu."
Tidak hanya sentuhan dada. Disalip juga bisa panas. Apalagi
kalau disalip motor lain yang membawa penumpang wanita. Wah,
Tarmiji jadi seperti dikilikili. Langsung ia tancap gas dan
main kebut. "Tapi sesudah sadar lagi bahwa saya bawa penumpang
yang harus saya jaga keselamatannya, gas saya turunkan lagi.
Biarlah, biarlah, tak apa juga, nyawa orang kan tak ada
serepnya" . . .
Pengojek antara Gambut dan Sungai Tabuk, memang terbilang
terampil Sampai sejauh ini belum ada dikabarkan mereka
menyia-nyiakan keselarnatan penumpang. Apalagi sampai tewas.
Maka dunia ojek semakin ramai dan bermanfaat, karena keadaan
jalan memang bertambah rawan saja. Bila pada suatu hari nanti
Pemerintah sudah teringat memperbaiki jalan-jalan tersebut,
mungkin nasib ojek akan mengalami perubahan. Tapi, ah, masa'
tak ada akal lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini