Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ya Uang Ya Amal

Jalan yang parah, tak dapat dilalui mobil menyebabkan makin bertambahnya ojek yang mampu melewati gang sempit dan tanah becek. Menjadi tukang ojek dapat merupakan kerja sambilan di luar jam dinas. (sd)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA tukang ojek semakin luas. Di Bali banyak anak muda punya penghasilan dengan memboncengkan turis pakai motor. Di Jakarta tidak ha~nya turis. Warga Ibukota sendiri suka dibonceng pakai motor dan sepeda. Juga di Banjarmasin, dunia boncengan rupa-rupanya menular. Sudah ada bis kota, becak dan taksi kok masih pakai ojek. Masih sempat saja hasil akal-akalan baru ini menyelip dengan berbagai alasan. Masyarakat yang sering lewat di sepanjang kaki lima Jalan Niaga, atau di depan Mesjid Noor di Banjarmasin, dapat menyaksikan ojek bagai ikan-ikan yang rakus dan gesit di jalanan. Ia merampas nafkah sopir angkutan resmi yang tercatat dalam pembukuan DLLAJR. Dengan terampil dan gagah ia mengarungi gang-gang sempit dan tanah-tanah becek sehingga memiliki sifat yang disukai para penumpang: cepat, praktis! Walaupun umpamanya terganggu bau keringat si tukang ojek, alah tak apa. Palingkan muka sedikit, bau hilang dikebut angin. Non-K~omersiil Selain Banjarmasin, juga di Gambut, Banjarbaru, Martapura, Binuang dan Kandangan, ojek mulai menenegakkan kekuasaannya. Apalagi jalan-jalan banyak yang parah dengan borok-borok besar, sehingga taksi tak berani menghampiri. "Kami beroleh rezeki karena jalan rusak. Karena jalan tak dapat dimasuki atau jarang disentuh mobil umum,~" kata ojekwan Parhan kepada Rahmat Marlim dari TEM~PO. Lelaki berusia 40 tahun ini beroperasi di Jalan Martapura Karang Intan (Riam Kandangan). Status resminya sih bukan tukang ojek: ia masih dinas sebagai guru SD di Karang Intan. Bagaimana duduk perkaranya seorang guru bisa jadi tukang memb~onceng-bonceng orang, mungkin bisa ditanyakan pada Menteri P&K. Secara moral dan ethis hal tersebut memang sedikit bikin kabur gambaran guru sebagai pendidik yang dihormati. Tapi pada Parhan soalnya hanya masalah pembagian waktu. Ya kan Pak Parhan? Lihat saja, siang sehabis mengajar, setelah sembahyang dan makan, hidupnya vakum. Mau dibikin apa waktu kosong itu, kalau tidak berdwifungsi? Mumpung ia punya sepeda motor Yamaha hasil kredit Cari rezeki dengan cara apa saja kan mulia, asal halal. Qur'an juga tak melarang, ya kan Pak Parhan? "Mengikuti desakan zaman, rasanya kita kurang cocok jalan kaki ataupun pakai sepeda butut,~ kata Parhan memberi pertanggungja~waban kehadiran motor itu. "Sekarang kan motor banyaknya sudah seperti sepeda saja." Maka ia pun tak segan-segan membayar harga Yamaha yang Rp 150 ribu itu, pelan-pelan. Apalagi jarak rumah dan sekolah tempatnya mengajar lumayan bagi orang yang bukan pengikut Harbans Singh. Sejak itu, berbau bensinlah guru kita ini. Inspirasi untuk menjadi ojekwan datang dengan tak terduga. Pada suatu hari, adalah seorang lelaki yang terlantar, karena tak bisa pulang kampung. Soalnya: tak ada mobil yang sudi lewat -- maklum jembatan rusak. Lagipula jalan waduh payah. Sebagai seorang guru yang sering menasehati muridn~ya untuk tolong-menolong, Parhan merasa simpati. Lalu ia tawarkan jasa memboncengkan lelaki itu sampai ke rumah. Dengan hati yang benar-benar non-komersiil. Tapi lelaki yang ditolong itu, lantaran girangnya, menyelipkan selembar kertas di kantong Pak Guru. Tak bisa ditolak (lagipula, mengapa ditolak?) karena lelaki itu berkata dengan tulus: "Terima kasih. Sekedar untuk beli bensin." "Ya, terimakasih dah," sahut Pak Guru akhirnya. Parhan tentu saja tak peduli berapa jumlah uang itu. Ia meluncur pulang sambil menghirup udara dengan segar, bangga juga bahwa barangnya yang mahal bisa berfungsi sosial. Setelah jauh ia baru iseng memperhatikan lembaran yang ~diselipkan orang itu. "Lima ratus," serunya dengan terkejut. Nah. Waktu itulah inspirasi datang. Ia mendadak berfikir ekonomis: bagaimana kalau usaha "menolong" itu diteruskan. Ia menghitung-hitung: yah, lumayan untuk membayar cicilan motor yang belum lunas. Lalu terbayang angka-angka pengeluarannya: untuk bensin sekian, untuk reparasi sekian. Parhan jadi kagum juga. Lalu ia putuskan: "Daripada konsumtif melulu, kan lebih baik produktif?" Sejak itu ia menjadi ~guru merangkap ojekwan. Kadangkala juga terbalik: ojekwan merangkap guru. Dipanggil Penilik Sekolah Pendapatannya lumayan. Sedikitnya Rp 500 sehari. Sedang kalau rezeki baik bisa sampai Rp 3 ribu. "Nganggur 2 hari tak apa, toh masih ada restan pendapatan," kata Parhan. Sekarang sudah hampir 8 bulan ia ngojek. Cicilan Yamahanya sudah tunai, bahkan ada sisa dalam bentuk tabungan. Pekerjaan itu masih tetap dihadapinya sebagai setengah amal setengah uang. Maklum guru. "Tengah malam tak jarang pintu rumah saya digedor orang sekampung," katanya menceritakan dengan polos. Gedoran itu biasanya berakhir dengan perjalanan panjang ke luar kampung yang jauh nun di sana. Alasannya, misalnya, ada kerabat yang meninggal dan perlu dilayat. "Kalau sudah begitu mau tak mau saya cuci muka. Asal ada bensin di tangki dan mesin tak bertingkah, permintaan itu saya kabulkan," kata Parhan. Untuk menolong orang yang kaluratan ini (musibah kematian menurut istilah sana) Parhan pernah menempuh jarak sampai 180 km -- dengan motor, ingat. ~ Mending kalau ada listerik. Yamahanya harus meluncur lewat pematang sawah yang sempit dan becek. Berbagai kemungkinan sudah ia alami. Ban dalam pecah. Motor ngadat. Yang paling m~alang, kalau bensin tandas. Parhan pernah menderita kehabisan bensin di sebuah pelosok yang sepi. Ia baru ~dapat merasakan bahwa Yamaha tanpa bensin ternyata hanya tumpukan besi biasa yang tak berguna, malah jadi beban. Ingat di daerah tak sembarang tempat ditongkrongi tukang jual bensin kan. Maka berdoalah Parhan semoga ada motor lain lewat, untuk menderma bensin. Baru dinihari krisis energi bisa diatasi. Sebuah motor lewat, pemiliknya berkenan menyedotkan bensin lewat p~ipa darurat. "Karena p~ngalaman itu, saya selalu men~gisi tan~ki bensin saya s~eb~elum mengantar penumpang k~e pelosok," kata Parhan. Bagaimana ia mengkombinasikan kekaryaannya sebagai guru dan sebagai tukang bonceng, merupakan pengalaman yang lain lagi. Dua tiga orang guru SD yang lain, rupa-rupanya juga telah ikut terjun ngojek. ~~Maka pada suatu hari, Penilik Sekolah memanggil Parhan dan guru-guru tersebut ke kantor. Tentu saja untuk "dimintai keterangan". Padahal bukan salah Parhan. Waktu itu Parhan lewat sekolahnya pagi-pagi sebelum jam sekolah, mengantar penumpang. "Tapi jam dinas tetap saya pegang," ujarnya. Penilik sekolah sendiri tak melihat. Ia hanya mendapat laporan ada guru bolos karena ngojek. Parhan dapat menjamin: ia tidak mengganggu jam-jam dinasnya sebagai guru, meskipun ngojek mendatangkan lebih banyak duit. Tak sempat dihubungi apakah guru-guru lain yang jadi tukang ojek juga dapat menjamin hal tersebut. Bagi Parhan, sekali lagi, ngojek sama sekali bukan pekerjaan hina. Ia menganggapnya sebagai bantuan kepada kelancaran transportasi umum. ~Memperkaya keluarga, dan sekali lagi amal. ~Rupa-rupanya arti ngojek dari sudut tukang ojek bisa m~acam-mac~am. Tam~si Leo, anggota Pro~vost di Sungai Ulin, juga berdwifungsi sebagai tukang ojek. Ia berpendapat: "Ngojek ~adalah menghilangkan keruwetan rumah tangga dan bisa bergaul langsung dengan rakyat," katanya. "ABRI dan rakyat kan ibarat ikan dan air." Dengan memakai jaket bertuliskan "Sukarelawan Timor Timur," Leo (41 tahun) berpangkalan-di Simpang Empat Banjarbaru. Leo memiliki sebuah Kawasaki. Ia dinas siang malam, tapi hanya pada hari Minggu. Sekali antar ke Aranio Riam Kanan, tarifnya Rp 500. Malam h~ari ~dua k~ali lipat. "Makium Pak, pangkat saya cuma tamtama. Gaji cuma Rp 30 ribu. Jadi bayangkan!" kata Leo dengan ngeres menerangkan kenapa ia tidak membiar~kan hidupnya tenteram pada hari Minggu. Dari hasil ngojek itulah ia dapat nombok biaya sekolah anak dan adik-adiknya. Untung ia tergolong ~seorang yang aktif memburu penumpang. Tidak itu saja. Dengan semangat Provostnya, ia pun aktif memimpin tukang-tukang ojek dalam daerahnya, untuk memperhatikan faktor keamanan penumpang -- satu hal yang bisa membantu bisnis ojek menjadi pesat. "Soal keamanan pribadi di sini dijamin, Pak. Biar tengah malam sekalipun," kata Leo dengan yakin. Maklum militer. Bagaimana d~engan ojek yang bukan merupakan kerja sambilan? Lain lagi ceritanya. Ada seorang tukang ojek bernama Tarmiji, di jurusan Gambut-Aluh-Aluh dan Sungai Tabuk -- 14 km dari ~ Banjarmasin. Usianya 25 tahun. Tidak punya motor sendiri. Ia menyewa Honda dengah bagi hasil (dua-pertiga untuk pemilik!) setelah dipotong pengeluaran bensin dan oli. Hasilnya antara Rp 500-Rp 1000 sehari. Tarmiji cukup puas dengan angka ini, meski badannya jadi pegal juga dimakan angin. Ia berasal dari Kandangan. Tertiup oleh angin urbanisasi: ia terlempar ke Banjarmasin. Rupanya di sana kepalanya terbentur pada hidup yang keras. Tarmiji, yang masih bujangan ini, lari ke Gambut. Mulanya jadi tukang becak. Lama-lama becak dilalap ojek. Maka ia pun menyeber~an~g jadi tuk~an~g ojek. Tapi meskipun menunggangi hasil teknologi, keadaan jalan yang sedih membuat Tarmiji tak bisa membedakan mana lebih capek: genjot becak atau makan asap Honda. "Cuma tukang ojek lebih bergengsi. Dikira motornya punya kitalah. Jadi cocok saja kalau ada gadis kampung yang naksir," kata Tarmiji terkekeh-kekeh, sambil membetulkan kacamata riben-kelelawarnya. Hindari Wa~nita Namun posisi ngetop di kalangan gadis kampung ada juga sialnya. "Kalau turun dari motor, si gadis cuma bilang terima kasih dan kita cuma dikasih senyum genit. Mau bilang apa," kata Tarmiji sambil mengenang pengalaman-pengalamannya. "Masak kita bilang, hee tidak, kau harus bayar. Kan tidak sampai hati. Mau bertengkar? Ah, kita kan lelaki baiknya mengalah saja. Begitu kan?" Sebagai tukang ojek berdarah muda, menurut Tarmiji darahnya sering tersirap. Soalnya ia sering memboncegkan gadis atau janda kembang. "Apalagi kalau sekali waktu dadanya menempel ke belakang punggung saya, karena ada goncangan-goncangan, wah, susah Pak," katanya sambil memperbaiki sekali lagi ~ kacamatanya. Karena itu menurut Tarmiji: sebaiknya menghindari m~embawa penumpang wanita. "Bukan apa-apa. Kita kan cumanya berniat cari rezeki. Bisa nabung buat beli becak sendiri. Tidak seperti kawan-kawan lain, main-main." Ia menyatakan sedang bersemangat untuk menabung. "Kawin sih memang kepingin, tapi cukup tabungan dulu." Tidak hanya sentuhan dada. Disalip juga bisa panas. Apalagi kalau disalip motor lain yang membawa penumpang wanita. Wah, Tarmiji jadi seperti dikilikili. Langsung ia tancap gas dan main kebut. "Tapi sesudah sadar lagi bahwa saya bawa penumpang yang harus saya jaga keselamatannya, gas saya turunkan lagi. Biarlah, biarlah, tak apa juga, nyawa orang kan tak ada serepnya" . . . Pengojek antara Gambut dan Sungai Tabuk, memang terbilang terampil Sampai sejauh ini belum ada dikabarkan mereka menyia-nyiakan keselarnatan penumpang. Apalagi sampai tewas. Maka dunia ojek semakin ramai dan bermanfaat, karena keadaan jalan memang bertambah rawan saja. Bila pada suatu hari nanti Pemerintah sudah teringat memperbaiki jalan-jalan tersebut, mungkin nasib ojek akan mengalami perubahan. Tapi, ah, masa' tak ada akal lain?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus