Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Laila berlaki dua

Pelaksanaan hukum adat dan agama yang berlainan membuat laila hajaze (di lombok) berlaki dua. ia kawin lari dengan nu'wan, dan disaat yang sama ia dikawinkan oleh ayahnya secara ijbar dengan muchsin. (hk)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWIN lari merupakan jalan pintas bagi sepasang muda-mudi untuk mematahkan halangan dari orangtua atau menghindari mas kawin yang tinggi. Beberapa suku mengenal kawin lari itu dalam hukum adatnya, termasuk suku Sasak di Lombok Timur, NTB. Jalan yang kurang disukai, tapi "dihalalkan" adat, ditempuh pula oleh sepasang remaja Kota Selong, Laila Hajaze dan Nu'man. Tapi kawin lari, atau merari kata orang Lombok, yang biasa terjadi, kali ini menjadi tidak biasa. Soalnya, yah si cewek, Muchsin, menuntut Pengadilan Agama Selong, agar mencegah perkawinan anaknya. Bahkan dua hari setelah Laila kabur, gadis itu dikawinkannya dengan Fauzi Hajaze, yang sejak awal memang sudah dijodohkan. Pernikahan berlangsung menurut hukum Islam, yang disebut pernikahan ijbar, yaitu pernikahan yang dipaksakan oleh wali mubir atau wali yang punya hak paksa orangtua atau saudara laki-laki. Urusan tentu saja jadi membelit yang punya perkara. Sebab Laila telah hidup bersama kekasihnya, Nu'man, seorang guru sekolah di kota itu. Pengadilan agama, yang memeriksa kasus itu, 14 Maret lalu memutuskan pembatalan pernikahan ijbar yang dilakukan Muchsin. Pengadilan juga mengizinkan Laila menikah dengan pria pilihannya. Muchsin tak mau terima dan serta merta banding ke pengadilan tinggi agama di Ujungpandang. Sementara itu Laila dan Nu'man meresmikan pernikahannya dengan wali tahkim atau wali yang hanya sekadar kenal dengan pengantin wanita. Berarti di saat yang sama Laila, 18 tahun, mempunyai dua suami: Nu'man, 24 tahun, dan Fauzi, 28 tahun. Runyam. Peristiwa itu sampai kini masih menjadi perdebatan antara ahli hukum Islam dengan hukum adat di Lombok Timur. Menurut adat Sasak, kata Lalu Dahlan, bekas camat setempat, kawin lari itu tidak melanggar hukum Islam. Asal saja mengikuti tata cara adat yang benar. Yaitu, seorang pria yang melarikan gadisnya, paling lambat tiga hari kemudian wajib lapor kepada keluarga si gadis, yang disebut dengan selabar. Waktu itu pula keluarga pria meminta orangtua si gadis menjadi wali bagi pernikahan anaknya. Sebelum ada selabar, keluarga yang dilarikan berhak, dengan cara apa pun, mengambil kembali anaknya. Dahlan menilai, urusan Laila dengan Nu'man tidak lagi murni menuruti hukum adat karena tidak ada selabar. Gejala semacam itu, katanya, sekarang banyak terjadi di masyarakat Sasak. Seharusnya, kata Dahlan kasus itu diselesaikan secara adat di lembaga adat yang di daerah itu disebut Krama Desa. "Sayang, lembaga itu sekarang hanya tinggal nama," ujar Dahlan lagi. Salah seorang dari tiga orang pemangku adat di Lombok Timur, Mamik Abdul Wahid, menilai bahwa pernikahan Laila dengan Nu'man sah adanya. Pertimbangannya, Laila sudah nekat menikah dengan pria pilihannya. "Daripada mereka berzina, lebih baik menikah," kata Wahid, yang ikut dalam upacara pernikahan itu. Sah atau tidak menurut adat, keluarga Laila tetap tidak menerima pernikahan yang didahului merari itu. "Buat kami merari itu haram," ujar H. Abdullah Hajaze, kakek Laila. Pikiran itu sejalan dengan Ishaka Saleh, S.H., dosen Universitas Mataram, yang menyatakan bahwa "merari itu menghilangkan hak mujbir seorang ayah." Dosen itu menilai, cara-cara yang dibenarkan adat itu, sama saja dengan membenarkan pencurian. Mungkin karena itu pula, Majelis Ulama Lombok mengeluarkan fatwa, Februari lalu: pernikahan ijbar antara Fauzi dengan Laila sah menurut hukum Islam. Rupanya Pengadilan Agama Selong berpendapat lain. Majelis hakim mengizinkan Laila menikah dengan Nu'man, karena gadis itu bersikeras memilih sendiri teman hidupnya. Laila juga tegas mengatakan bahwa tidak mencintai Fauzi. Dua syarat untuk membatalkan perkawinan ijbar, yaitu rasa permusuhan dengan orangtua dan calon suami, menurut hakim telah dipenuhi dalam kasus Laila -- apalagi perkawinan kan bertujuan membina cinta kasih. Suami Laila yang bernama Fauzi menyatakan: "Pernikahan saya itu sah menurut hukum Islam. Hanya saja saya belum menemukan cara untuk mengambil kembali istri saya itu." Fauzi merasa sudah memiliki Laila sejak mereka dijodohkan dari kecil. Laila sendiri, katanya, telah menyetujui pertunangannya, terbukti dari surat-surat yang diterimanya. Sebab itu, lelaki yang sehari-harinya pedagang kelontong itu, merasa dikhianati wanita pujaannya, yang juga masih terhitung sepupunya. Laila, gadis dengan tubuh mungil dan kulit bersih, tidak pernah merasa menikah dengan Fauzi. "Itu hanya usaha mereka untuk mengambil saya dari Nu'man," kata Laila didampingi Nu'man. Ia membenarkan pernah membalas surat Fauzi. "Tapi itu karena ia abang saya dan saya tidak tega menyakitinya," kata Laila. Sekarang tekadnya bulat, apa pun putusan pengadilan nanti, "tidak akan mampu menghalangi." Mantap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus