KAWIN lari merupakan jalan pintas bagi sepasang muda-mudi untuk
mematahkan halangan dari orangtua atau menghindari mas kawin
yang tinggi. Beberapa suku mengenal kawin lari itu dalam hukum
adatnya, termasuk suku Sasak di Lombok Timur, NTB. Jalan yang
kurang disukai, tapi "dihalalkan" adat, ditempuh pula oleh
sepasang remaja Kota Selong, Laila Hajaze dan Nu'man.
Tapi kawin lari, atau merari kata orang Lombok, yang biasa
terjadi, kali ini menjadi tidak biasa. Soalnya, yah si cewek,
Muchsin, menuntut Pengadilan Agama Selong, agar mencegah
perkawinan anaknya. Bahkan dua hari setelah Laila kabur, gadis
itu dikawinkannya dengan Fauzi Hajaze, yang sejak awal memang
sudah dijodohkan. Pernikahan berlangsung menurut hukum Islam,
yang disebut pernikahan ijbar, yaitu pernikahan yang dipaksakan
oleh wali mubir atau wali yang punya hak paksa orangtua atau
saudara laki-laki.
Urusan tentu saja jadi membelit yang punya perkara. Sebab Laila
telah hidup bersama kekasihnya, Nu'man, seorang guru sekolah di
kota itu. Pengadilan agama, yang memeriksa kasus itu, 14 Maret
lalu memutuskan pembatalan pernikahan ijbar yang dilakukan
Muchsin. Pengadilan juga mengizinkan Laila menikah dengan pria
pilihannya.
Muchsin tak mau terima dan serta merta banding ke pengadilan
tinggi agama di Ujungpandang. Sementara itu Laila dan Nu'man
meresmikan pernikahannya dengan wali tahkim atau wali yang hanya
sekadar kenal dengan pengantin wanita. Berarti di saat yang sama
Laila, 18 tahun, mempunyai dua suami: Nu'man, 24 tahun, dan
Fauzi, 28 tahun. Runyam. Peristiwa itu sampai kini masih menjadi
perdebatan antara ahli hukum Islam dengan hukum adat di Lombok
Timur.
Menurut adat Sasak, kata Lalu Dahlan, bekas camat setempat,
kawin lari itu tidak melanggar hukum Islam. Asal saja mengikuti
tata cara adat yang benar. Yaitu, seorang pria yang melarikan
gadisnya, paling lambat tiga hari kemudian wajib lapor kepada
keluarga si gadis, yang disebut dengan selabar. Waktu itu pula
keluarga pria meminta orangtua si gadis menjadi wali bagi
pernikahan anaknya. Sebelum ada selabar, keluarga yang dilarikan
berhak, dengan cara apa pun, mengambil kembali anaknya.
Dahlan menilai, urusan Laila dengan Nu'man tidak lagi murni
menuruti hukum adat karena tidak ada selabar. Gejala semacam
itu, katanya, sekarang banyak terjadi di masyarakat Sasak.
Seharusnya, kata Dahlan kasus itu diselesaikan secara adat di
lembaga adat yang di daerah itu disebut Krama Desa. "Sayang,
lembaga itu sekarang hanya tinggal nama," ujar Dahlan lagi.
Salah seorang dari tiga orang pemangku adat di Lombok Timur,
Mamik Abdul Wahid, menilai bahwa pernikahan Laila dengan Nu'man
sah adanya. Pertimbangannya, Laila sudah nekat menikah dengan
pria pilihannya. "Daripada mereka berzina, lebih baik menikah,"
kata Wahid, yang ikut dalam upacara pernikahan itu.
Sah atau tidak menurut adat, keluarga Laila tetap tidak menerima
pernikahan yang didahului merari itu. "Buat kami merari itu
haram," ujar H. Abdullah Hajaze, kakek Laila.
Pikiran itu sejalan dengan Ishaka Saleh, S.H., dosen Universitas
Mataram, yang menyatakan bahwa "merari itu menghilangkan hak
mujbir seorang ayah." Dosen itu menilai, cara-cara yang
dibenarkan adat itu, sama saja dengan membenarkan pencurian.
Mungkin karena itu pula, Majelis Ulama Lombok mengeluarkan
fatwa, Februari lalu: pernikahan ijbar antara Fauzi dengan Laila
sah menurut hukum Islam.
Rupanya Pengadilan Agama Selong berpendapat lain. Majelis hakim
mengizinkan Laila menikah dengan Nu'man, karena gadis itu
bersikeras memilih sendiri teman hidupnya. Laila juga tegas
mengatakan bahwa tidak mencintai Fauzi. Dua syarat untuk
membatalkan perkawinan ijbar, yaitu rasa permusuhan dengan
orangtua dan calon suami, menurut hakim telah dipenuhi dalam
kasus Laila -- apalagi perkawinan kan bertujuan membina cinta
kasih.
Suami Laila yang bernama Fauzi menyatakan: "Pernikahan saya itu
sah menurut hukum Islam. Hanya saja saya belum menemukan cara
untuk mengambil kembali istri saya itu." Fauzi merasa sudah
memiliki Laila sejak mereka dijodohkan dari kecil. Laila
sendiri, katanya, telah menyetujui pertunangannya, terbukti dari
surat-surat yang diterimanya. Sebab itu, lelaki yang
sehari-harinya pedagang kelontong itu, merasa dikhianati wanita
pujaannya, yang juga masih terhitung sepupunya.
Laila, gadis dengan tubuh mungil dan kulit bersih, tidak pernah
merasa menikah dengan Fauzi. "Itu hanya usaha mereka untuk
mengambil saya dari Nu'man," kata Laila didampingi Nu'man. Ia
membenarkan pernah membalas surat Fauzi. "Tapi itu karena ia
abang saya dan saya tidak tega menyakitinya," kata Laila.
Sekarang tekadnya bulat, apa pun putusan pengadilan nanti,
"tidak akan mampu menghalangi." Mantap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini