MAHKAMAH Agung, lembaga peradilan tertinggi, bisa salah dan
meralat keputusannya. Sebuah putusan dua tahun lalu, tentang
sengketa antara perusahaan nasional PT ASA Engineering dan
kontraktor minyak asing Roy M. Huffington Inc. (Huffco),
misalnya, sekarang diubah: tuntutan ASA yang semula ditolak, US$
25 juta, kini dikabulkan sebagian, US$ 1,2 juta.
Namun, sampai akhir pekan lalu, toh keputusan MA tanggal 17
Maret itu belum terlaksana. Humas Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Setiawan, menyebutkan bahwa telah mengirimkan surat
teguran, 29 April. Huffco, katanya, telah menyatakan
kesediaannya untuk membayar. "Huffco prinsipnya bersedia
membayar, hanya saja caranya yang perlu dibicarakan," ujar
pengacara Huffco, Hidayat Achyar.
Sengketa antara Huffco dengan ASA itu sudah menahun. ASA, yang
semula menjadi rekanan Huffco, merasa dirugikan oleh perusahaan
asing itu. Pada 1974, perusahaan nasional yang dipimpin oleh
B.Q. Vega mendapat kontrak membangun sebuah perkampungan untuk
Huffco, yang lagi mengerjakan proyek gas alam LNG di Balikpapan.
Menurut ASA, penggugat, ia telah melaksanakan pembangunan 70
buah rumah berikut fasilitasnya, ketika Huffco memutuskan
kontrak dua tahun kemudian. Selain dari kerugian berupa
pengeluaran yang belum dibayar, penggugat juga memmta gantl rugi
atas sikap "ingkar janji" pihak Huffco.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang mengadili gugatan itu, 6
Agustus 1979, memutuskan bahwa Huffco harus membayar ganti rugi
US$ 25 juta lebih. Keputusan itu, bahkan dapat dijalankan
terlebih dahulu, meski Huffco naik banding atau kasasi.
Eksekusi, sebenarnyalah, ketika itu hanya tinggal soal waktu
saja, karena rekening Huffco di FNCB telah kena sita untuk
jaminan. Namun, beberapa waktu kemudian, MA mendapat surat dari
direktur Pertamina, waktu itu Piet Haryono, yang meminta
penundaan putusan pengadilan.
Surat Piet menyebutkan, kegiatan Huffco yang merupakan
kontraktor Pertamina untuk menyelesaikan proyek LNG di
Balikpapan, akan terganggu akibat putusan itu. Bahkan dikatakan,
kontraktor itu tidak mempunyai kekayaan sendiri dalam
melaksanakan kontraknya, karena semua yang dimiliki Huffco
merupakan kekayaan Pertamina.
MA serta merta memerintahkan agar Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak melaksanakan keputusannya. Hakim Agung Asikin
Kusumah Atmadja, yang menandatangani surat itu, mengingatkan
ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada surat edaran MA 1
April 1978, yang tidak memperkenankan keputusan dijalankan lebih
dulu.
Huffco belakangan naik banding ke Pengadilan Tinggi. Ternyata
pengadilan banding itu menguatkan keputusan pengadilan tingkat
pertama. Hanya saja, majelis Hakim Agung yang terdiri dari
Santoso Poedjosoebroto, Asikin Kusumah Atmadja, dan Indroharto
dalam putusan kasasi, 2 Oktober 1980, menolak gugatan ASA.
Dengan adanya keputusan kasasi MA tersebut, menurut hukum,
selesailah sudah sengketa kedua perusahaan itu.
ASA tentu saja tidak puas. Apalagi ketika itu lembaga peninjauan
kembali keputusan peradilan yang berkekuatan tetap dibekukan.
Barulah setelah lembaga itu dihidupkan kembali oleh MA, 1980,
ASA mengajukan permohonan peninjauan kembali itu. Kctua MA yang
baru, Mudjono, menerima permohonan itu. Majelis, yan diketuai
Hakim Agung Purwoto, membuka kembali kasus itu sampai jatuh
putusan Maret lalu itu.
Hakim Agung Purwoto, yang juga wakil ketua MA, tidak
menyalahkan seluruh keputusan MA sebelumnya. Kata Purwoto, salah
satu dari tiga tuntutan ASA sebelumnya, lupa dipertimbangkan --
yaitu tentang tagihan. "Wong barangnya sudah diterima, kok belum
dibayar," katanya. Tapi dua tuntutan lainnya, yaitu permintaan
ganti rugi dan tuntutan akibat pembagian kontrak yang sudah
ditolak oleh keputusan sebelumnya, tidak ditinjau lagi. "Jadi
keputusna yang dulu itu ada kekeliruan sedikit," simpul Purwoto
hgi.
Ketua Majelis Hakim yang lama, Dr. Santoso Poedjosoebroto, yang
kini menjadi anggota DPA, tidak menutup kemungkinan dirinya
khilaf. "Saya sebetulnya sudah lupa kasusnya. Tapi manusia itu
memang ada khilafnya, mungkin ada hal-hal yang saya kurang
teliti," ujar Santoso merendah. Pengacara Huffco, Hidayat Achyar
dari Kantor Pengacara Hanafiah, masih hendak mempersoalkan segi
hukum keputusan MA tersebut. "Putusan itu tidak sah, karena
tidak sesuai dengan peraturan MA sendiri, tentang peninjauan
kembali keputusan yang berkekuatan tetap," katanya. Menurut
Hidayat, seharusnya peninjauan kembali itu dilakukan atau
diperiksa kembali pengadilan tingkat pertama. Sebuah bahan
diskusi untuk kapan-kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini