KETIKA mencorat-coret membuat catatan, seorang manajer tiba-tiba tertegun, debar jantungnya mengencang. Sebuah coretan tidak jelas yang terlihat aneh dan ekspresif mengingatkan dia pada tanda tangannya sendiri, yang baru saja digariskan pada selembar cek. Ia jadi bertanya-tanya, sesuaikah tanda tangannya dengan specimen, adakah kesalahan dalam pencantuman jumlah uang. Pikirannya bahkan berkelana lebih jauh. Ia kemudian berusaha mengingat-ingat berapa besar rekening banknya, juga apakah transaksi mendatang akan berhasil. Kendati tampak tekun membaca sebuah konsep kontrak, manajer itu sesungguhnya tak tahu apa yang dibacanya. Ia selama beberapa menit melamun dan "terbang" ke dunia lain -- katakanlah dunia angan-angan yang terpisah total dari keadaan aktualnya. Ketika sadar, manajer itu terpaksa mengulang apa yang baru saja dibacanya. Isi beberapa alinea pada konsep kontrak itu ternyata tak diingatnya sama sekali. Proses terjadinya lamunan seperti itu merupakan pokok penelitian Dr. Eric Klinger, ahli psikologi pada Universitas Minnesota, Minneapolis, Amerika Serikat. Dalam publikasi yang diturunkannya awal Oktober baru lalu, Klinger mengemukakan lamunan yang berkait dengan masalah sehari-hari, dan terjadi hampir setiap hari pada setiap orang. "Pikiran kita meloncat-loncat dari satu persoalan ke persoalan lain, dan tak pernah konstan pada suatu masalah," demikian antara lain kesimpulan Klinger. Pendapat Klinger itu bisa dianggap sebagai pandangan baru dalam psikologi. Sebelumnya, dalam psikoanalisa, lamunan tidak dibedakan dari angan-angan. Yang terakhir ini diyakini para psikoanalis sebagai kegiatan mental yang disengaja, dilakukan misalnya untuk mengatasi guncangan emosi. Seseorang yang baru saja dikecewakan karena keinginannya tak terpenuhi cenderung untuk berangan-angan. Semakin besar kekecewaan itu, semakin banyak ia berangan-angan. Karena itu, para psikoanalis percaya bahwa angan-angan senantiasa jauh dari kenyataan dan biasanya tak mungkin terjadi. Malah angan-angan sering kebalikan dari kenyataan, terlebih yang porsinya berlebihan. Dalam masyarakat tradisional, terkenal ungkapan "bagaikan si Muin menggantang asap". Yang disindir di sini adalah si miskin yang tidak berbuat apa-apa kecuali terus berangan-angan menjadi orang kaya. Klinger tidak menolak teori-teori psikoanalisa ini. Tapi ia menemukan angan-angan yang coraknya berbeda. Inilah lamunan, yang prosesnya terjadi secara lebih spontan. Dari penelitian yang berupa wawancara dan pengolahan hasil tes IPI (Imaginal Processes Inventory) -- tes imajinasi yang ditemukan psikolog terkemuka Jerome L. Singer di tahun 1967 -- terhadap berbagai kelompok percobaan, Klinger menemukan satu perbedaan penting, yakni ada kegiatan berangan-angan secara sengaja dan ada yang spontan. Yang pertama, misalnya angan-angan seks atau angan-angan untuk melepaskan rasa kecewa, tingkat frekuensinya rendah. Yang kedua adalah kegiatan melamun, yang terjadi spontan, tak disengaja, dan dekat dengan masalah sehari-hari yang sedang dihadapi. Frekuensinya jauh lebih tinggi. Melamun secara spontan itu, menurut Klinger, tak bisa dipisahkan dari kegiatan berpikir. Dalam proporsi normal, dua pertiga dari seluruh pikiran kita, tulis psikolog itu, termasuk kategori melamun. Tak jelas benar bagaimana Klinger bisa memastikannya seperti itu. Sedemikian penting lamunan yang datang secara spontan itu, hingga menurut Klinger ia bekerja seperti klep otomatis. Dengan melamun, seorang pengemudi truk, penjaga malam, atau seorang peneliti bisa mengatasi kebosanan. "Kegiatan mental ini adalah mekanisme pikiran untuk menjaga efisiensi energi otak," tulis Klinger. Di sini Klinger mengubah pandangan orang tentang melamun, yang selalu dianggap tidak berguna itu. Dulu, di Abad Pertengahan, kegiatan melamun pada orang dewasa dinilai bersifat negatif, karena dianggap bermalas-malas saja. Bahkan lebih parah dari itu: dianggap gejala sakit jiwa. Tapi psikoanalisa membantah pendapat ini. Lalu dalam psikologi modern, berulang kali dibuktikan bahwa melamun adalah kegiatan mental yang normal. Anak-anak penghayal ditemukan lebih kreatif, lebih tahan menghadapi frustrasi, dan lebih menarik. Di samping itu, terbukti bahwa lamunan seks sangat berfungsi dalam hubungan intim. Kini Klinger membuktikan, lamunan malah bagian dari kegiatan pikiran. Kendati demikian, ahli psikologi ini sependapat dengan orang-orang zaman dulu, bahwa melamun, yang katanya adalah kegiatan otak itu, toh juga melibat banyak emosi. Bertolak dari sini, Klinger mencoba menjawab pertanyaan yang sudah lama dicari dalam psikologi: imaji apa yang bisa menjadi picu untuk lamunan? Untuk itu, Klinger melakukan beberapa percobaan. Melalui sebuah alat rekaman, Klinger memperdengarkan berbagai kata, kalimat, dan cerita pada sekelompok sukarelawan yang sudah terlebih dahulu diobservasi. Lalu secara periodik mereka diminta melaporkan pikirannya. Pada kelompok lain, percobaan yang sama dilakukan dengan rekaman video. Kesimpulannya, picu lamunan adalah sejumlah kata, gambar, pemandangan, bunyi, dan cerita yang mengandung ekspresi dan mampu membangkitkan asosiasi pada sebuah suasana perasaan tertentu. Inilah pangkalnya mengapa seseorang yang sedang dilanda asmara jadi terjerumus pada lamunan, ketika melihat warna yang lembut dan suara yang mengalun. Penemuan Klinger ini ternyata mempunyai manfaat klinis. Beberapa psikolog melakukan percobaan untuk membangun diagnosa tentang gangguan emosi melalui frekuensi lamunan. Pada percobaan itu ditemukan gejala yang tidak istimewa, yakni gangguan emosi mengakibatkan frekuensi lamunan jadi meningkat -- melebihi proporsi 2/3, Dan ini cocok dengan anggapan yang berlaku selama berabad-abad: terlampau banyak melamun menandakan keresahan. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini