Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Negara partai, negara pesta

Pemerintah deng xiaoping di cina, tidak berhasil dalam bidang manajemen. keputusan manajer profesional sering diveto orang partai. orang rrc ke as bukan untuk belajar manajemen tapi untuk belajar teknik.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lobby Garden Hotel -- hotel terbagus di Guangzhou (dulu: Canton) -- saya menunggu Tracey Webb, seorang pengacara Amerika, untuk sarapan bersama-sama. Sengaja kami rencanakan makan pagi di luar hotel untuk mengalami Cina yang sebenarnya. Seorang pria setengah baya menghampiri saya, lalu menyodorkan secarik kertas kumuh bertuliskan dwibahasa -- Cina dan Inggris. Bahasa Inggrisnya yang kacau kurang lebih berbunyi begini: Saya kehabisan uang untuk pulang ke kampung bersama anak gadis saya. Bersediakah Tuan mengongkosi saya? Bila perlu, anak gadis saya bisa menemani Tuan dulu. Lantas bulu kuduk saya meremang. Saya jadi teringat ucapan Konsul Amerika Serikat di Hong Kong sebelum kami berangkat ke Guangzhou. "Kalau Anda pikir di RRC tak ada prostitusi, Anda salah besar. Kalau Anda pikir di RRC tak ada AIDS, kesalahan Anda lebih besar lagi, karena di sana tak ada pemantauan yang memadai," katanya. Tracey datang. Saya ceritakan kepadanya tawaran pak tua itu. Ia tertawa besar. "Mungkin, kampung halaman yang dimaksudnya itu hanya di belakang hotel ini," katanya. Sekarang ketawa Tracey menjadi lebih besar. "I told you, it's a party country," katanya. Yang dimaksudnya itu bukanlah negara partai, tetapi negara pesta. Malam sebelumnya kami pergi ke disko di kolong hotel besar itu. Surprising! Bukan disko komunis. Disko beneran. Juliana of London. Remaja lokal yang modis berbaur dengan pengunjung asing, berjingkrak dalam irama La Isla Bonita-nya Madonna hingga lewat tengah malam. Bersama 20-an mahasiswa Amerika, pada suatu malam kami pesta mabuk-mabukan di salah satu kamar di Garden Hotel itu. Saya sudah takut orang Partai akan datang menangkap kami. Ternyata, sampai lewat tengah malam kami dibiarkan saja. Sejak itu, arti party country menjadi lain bagi kami. Terbukanya "jendela" RRC terhadap perkembangan dunia membuat orang Cina mulai menyadari bahwa sebenarnya mereka bisa memakai uang lebih banyak lagi. Seorang dosen bahasa Inggris yang dulu warga negara Indonesia agak canggung ketika saya undang minum di puncak hotel yang lantainya bisa berputar, melihat Guangzhou 360 derajat. Ia pasti baru sekali datang ke situ, sekalipun tak dikatakannya. Dan ia heran setengah mati ketika saya bilang bahwa restoran berputar seperti ini di Bandung pun sudah ada. Ia tak percaya bahwa Jakarta sudah penuh gedung pencakar langit. Kesan "sama rasa sama rata" tercermin kuat pada gaji. Bila buruh pabrik memperoleh 200 Rmb sebulan, seorang dosen bergaji 300 Rmb sebulan. Seorang profesor ahli fisika nuklir yang saya temui di kereta menuju reaktor Teluk Daya, dekat Hong Kong, mengaku bergaji 400 Rmb. Padahal, ia pejabat penting di instalasi nuklir itu. Bajunya disetrika rapi. Ia adalah orang RRC pertama yang saya temui dengan bahasa Inggris bagus. Kata dia, istrinya juga bekerja sebagai arsitek dengan gaji 300 Rmb. Ia malah membelikan saya sekotak manisan kulit jeruk untuk oleh-oleh. Itu disampaikannya kepada saya sambil menyebut bahwa ia pernah jumpa dengan Menteri Soebroto di salah satu konperensi. Ketergesaan tak perlu di Cina, karena pada dasarnya semua pabrik kelebihan pegawai. Tanpa dalih agent of development segala, pabrik-pabrik harus menampung karyawan sebanyak mungkin. Jadi, orang hanya termotivasi untuk memperoleh pekerjaan, bukan untuk melakukan pekerjaan. Budaya produktivitas -- dalam ukuran Barat, tentunya -- tak tampak buktinya di Cina. Padahal, sebetulnya ada perangsang untuk menjadi produkti. Ada aturan bahwa laba bersih perusahaan, setelah dipotong setoran ke negara, boleh dibagi untuk karyawan. Nyatanya, lebih banyak perusahaan negara yang rugi. Soalnya? Korupsi memang merajalela di Cina. Dan Partai tampaknya tutup mata atas kenyataan ini. Maklum, yang korupsi itu orang Partai juga. Kelemahan manajemen juga tampak menonjol di RRC. Pemerintahan Deng Xiaoping, yang tampak lapar valuta asing untuk mempercepat pembangunan bangsanya, agak kurang berhasil di bidang ini. Betul, ia berhasil menumbuhkan Shenzen yang berbatasan dengan Hong Kong sebagai special economic zone untuk basis ekspor. Tapi itu sebenarnya tak lebih dari export processing zone, yang memanfaatkan buruh murah Cina untuk memproduksi barang-barang Hong Kong, Amerika, atau Jepang. Selain terbukanya lapangan kerja, Shenzen sebetulnya tak berarti banyak bagi RRC. Ekonomi Cina yang 70% rodanya diputar oleh badan usaha milik negara (ada 54.000 BUMN di RRC) dan 30% milik badan usaha kolektif itu memang tidak mudah dikelola. Badan usaha kolektif pada dasarnya hanya merupakan subkontraktor dari badan usaha milik negara. Sektor swasta yang sangat kecil hanya tumbuh pada sektor-sektor jasa yang sepele -- karena pemerintah enggan melakukan -- seperti binatu dan pengecer sayur-mayur. Deng memang mengimbau tampilnya manajer profesional di setiap badan usaha. "Namanya saja mereka profesional, tapi sebenarnya jauh dari itu," kata seorang mahasiswa Cina yang sedang belajar di Universitas Hawaii. "Dan jangan lupa, sebenarnya ia tak bisa berbuat banyak. Di samping tiap manajer profesional selalu ada seorang sekretaris Partai yang sering memveto keputusan manajer. Karena itu, manajer profesional pun kebanyakan orang yang berkolaborasi dengan Partai juga." Jadi, yang sebenarnya tengah terjadi setelah reformasi adalah struggle untuk memenangkan power. Adanya seorang manajer profesional merupakan ancaman bagi sekretaris Partai, yang biasanya korup. Tak adanya pembagian otoritas yang jelas antara manajer profesional dan sekretaris Partai ikut membuat situasi ini makin runyam. Keputusan rasional lalu dikalahkan dengan keputusan politis dalam menghadapi masalah manajemen. Yang juga lebih banyak terjadi -- karena kekurangan manajer yang punya tingkat profesionalisme tinggi -- adalah tetap berkuasanya sekretaris Partai. "Karena itu," kata mahasiswa RRC di Universitas Hawaii tadi, "tak banyak orang RRC yang belajar manajemen di Amerika Serikat. Kebanyakan mahasiswa RRC belajar teknik di Amerika Seriltat, karena menganggap belajar manajemen akan sia-sia belaka. Bila kembali, toh ilmu itu tak bisa dipraktekkan, karena adanya pemusatan kekuatan politik di tingkat atas yang membuat manajemen tak akan berkutik. Dalam manajemen RRC tak ada uraian jabatan dan tak ada departementalisasi." Duduk slebor di pinggir jalan sambil makan buah leci, kami memandangi orang-orang yang mengendarai sepeda menuju tempat kerja. Ribuan sepeda mengarus di jalan utama itu. Tiba-tiba Tracey bertanya, "Kau perhatikan tidak? Coba lihat! Dari tadi tak satu orang pun kulihat pengendara sepeda menyalip pengendara yang lain." Lalu saya pun mengamati. "Tertib, ya?" komentar saya. Tracey tak sependapat dengan itu. "Itu bukan ketertiban atau kedisiplinan. Mereka memang tak punya alasan untuk bergegas. Tak ada ambisi lebih dari itu." Boleh jadi, Tracey benar. Di sebuah pabrik ban sepeda dekat Guangzhou, kami menyaksikan irama santai itu di mana-mana. Lebih dari 25% karyawannya kami dapati sedang minum teh, padahal tidak sedang waktu rehat. Irama produksi yang biasanya memberi kesan ketergesaan sama sekali tak ada di situ. Di pabrik yang tak seberapa besar itu, bekerja 3.000 orang pegawai. Buat apa tergesa-gesa? Dengan bekerja santai pun mereka dijamin pulang mengantungi 200 Rmb (sekitar Rp 80.000) setiap bulan. PHK tak ada dalam kamus mereka. Sekali diterima bekerja di satu perusahaan, di sanalah ia akan selalu berada, kecuali ia melakukan tindak kriminal dan dijebloskan ke penjara. Sekalipun gerakan reformasi memberi pedoman bahwa manajer boleh memecat pegawai yang tidak baik, dan pegawai harus siap untuk pindah pekerjaan, nyatanya Partai Komunis Cina menghalangi praktek seperti itu. Gaji itu sendiri tampaknya sangat kecil. Tetapi, negara (partai) menyediakan rumah yang hanya disewa satu renminbi sebulan. Air dan listrik pun hanya satu renminbi sebulan. Artinya, hampir seluruh gaji dipakai untuk pangan, dan sedikit sisa untuk sandang. Daging pun diberi subsidi. Memang ada juga badan usaha milik negara yang tampil profesional dalam performanya karena berhasil "mengucilkan" peran sekretaris Partai. Sebuah pabrik farmasi di Baiyunshan, misalnya. Wah, ruang rapatnya saja sudah seperti ruang rapat kapitalis. Dengan permadani, meja mengkilat dari kayu mahogani, dan kursi-kursi empuk yang beroda dan bisa berputar. Perusahaan farmasi kedua terbesar di RRC ini tiga tahun sebelumnya nyaris bangkrut dan akan diubah menjadi percetakan. Lalu seorang dokter diangkat menjadi general manager perusahaan yang obat pileknya terkenal paling ampuh itu. Hal yang pertama dilakukannya adalah menyingkirkan sekretaris Partai ke departemen personalia, dan kemudian ia mengambil full charge terhadap operasi pabrik. Ia melakukan kegiatan pemasaran seperti layaknya para kapitalis: memasang iklan dan melakukan detailing. Gebrakannya langsung berhasil. Sejuta pak obat pilek laku seketika. Keberhasilannya itu membuat orang-orang partai segan mengutik-utiknya. Dokter itu sendiri berpenampilan slebor. Ia menghadiri rapat dengan rambut tak disisir, celana corduroy, dan baju kaus bikinan Amerika. Menurut seorang pegawainya, dokter ini antikomunis. Dalam keadaan "sekacau" itu toh industri RRC bertumbuh. Pada 1985, output industri naik 18%, dan pertumbuhan ekonomi pada tahun yang sama mencapai 12,3%. Pada 1986, pertumbuhan ekonomi menurun sedikit menjadi 9,2%, dan output industri hanya naik 11%. Tapi sumbangan BUMN terhadap pertumbuhan itu tidak banyak. Bahkan banyak BUMN yang menyatakan rugi. Tingkat pendapatan masyarakat kota naik 8,4% pada 1986. Tapi, apa yang terjadi dengan 80% (800 juta manusia) penduduk RRC yang tinggal di pedesaan? Tingkat pendapatan mereka hanya naik 2,2%, sekalipun di beberapa daerah subur seorang petani bisa punya pendapatan lebih besar daripada seorang profesor di kota. Situasi sesungguhnya tentang kesejahteraan masyarakat pedesaan RRC hingga kini masih merupakan tanda tanya besar. BUMN pun dianggap tidak efisien dalam menanamkan modal. Pada 1986 mereka menanamkan 60 milyar Rmb (18 milyar Rmb melebihi anggaran) pada proyek-proyek besar. Lebih dari 10 milyar Rmb ditanamkan untuk membangun hotel, restoran, dan proyek-proyek nonproduktif lainnya. Pemerintah pun kedodoran mengelola 100.000 proyek yang pada saat ini sedang dibangun. Di mana-mana tampak bangunan yang tak selesai. Bukan saja proyek-proyek itu macet karena kesulitan biaya, tetapi juga kekurangan tenaga manajerial untuk merampungkannya. Proyek yang berhasil tentu saja adalah proyek-proyek patungan. Garden Hotel, misalnya, merupakan patungan dengan pemodal Hong Kong, dan dijalankan dengan manajemen Hong Kong. Padahal, iklim investasi sebenarnya tak menguntungkan. Pertama, karena controlled currency, pengusaha tak bisa membawa uang tunai ke luar RRC. Struktur manajemen yang menuntut adanya unsur partai pun merupakan soal yang tak mudah diakomodasikan oleh perusahaan multinasional. Orang Cina terkenal paling sulit mengambil keputusan, karena harus menembus berbagai lapisan, dan ini tak cocok dengan irama bisnis yang serba cepat. Tracey Webb mencatat bahwa dalam hubungan bisnis di RRC terlalu banyak ketidakpastian: tak ada legal contract dan tak ada sistem perakunan yang bisa dipakai untuk menyusun laporan yang baik. "Tetapi," kata seorang pengusaha Amerika yang sudah kebanyakan minum bir murah di lobby Garden Hotel, "yang paling payah di sini adalah konsep kualitas." Saya dan Tracey tertawa mendengarnya. Baru saja kami pergi ke Friendship Store dan merencanakan membeli syal sutera untuk oleh-oleh. Begitu murahnya sehingga kami masing-masing memutuskan membeli selusin. Ternyata, tak satu pun yang dapat kami beli. Seluruh stok di toko itu sudah kami bongkar, tetapi tiap-tiap syal ada cacatnya. Ada yang jahitannya lepas, ada yang kotor, ada yang lukisannya luntur. Pabrik sepatu Nike kabarnya pernah menolak 75% sepatu yang dikirim pabriknya di RRC. Tetapi pabrik sudah telanjur dibangun. Alhasil, mereka putuskan untuk hanya memproduksi sepatu yang berwarna gelap di RRC. Soalnya, kalau putih pasti kotornya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus