Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dekan FISIP Universitas Riau divonis bebas dalam kasus kekerasan seksual.
Satgas Universitas merekomendasikan sanksi sedang kepada Dekan Fisip Universitas Riau.
Kementerian Pendidikan masih mengkaji sanksi tersebut.
SISCA—bukan nama sebenarnya—tengah berada dalam pengawasan tim psikiater secara berkala. Kondisi psikologisnya terus menurun setelah mendengar kabar ihwal vonis bebas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Riau nonaktif, Syafri Harto, pada Ahad, 20 Maret lalu. Syarif didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap Sisca.
Kondisi kejiwaan Sisca mulai memburuk setelah tim psikiater mendeteksi kecenderungan self harm atau dorongan untuk menyakiti diri sendiri. Perilaku ini membuat mahasiswa tingkat akhir itu harus mengkonsumsi obat penenang hingga kini.
Namun persoalan lain muncul. “Setiap kali melihat obat, dia ingin meminum semuanya,” ujar Koordinator Divisi Advokasi Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) Universitas Riau, Agil Fadlan, pada Kamis, 16 Juni lalu. Komahi memfasilitasi advokasi dan pendampingan terhadap Sisca sejak kasus pelecehan seksual ini mencuat pada akhir November 2021.
Menurut Agil, Sisca sempat dirujuk untuk menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Pekanbaru. Tapi ia menolak. Ia merasa tak nyaman dan ingin berada terus dalam lingkungan keluarga.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Makin Marak
Layanan psikologis terhadap Sisca turut difasilitasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan akan berakhir bulan ini. “Layanan bisa kami perpanjang jika memang membutuhkan,” tutur Komisioner LPSK Livia Istiana. Selama proses hukum masih bergulir, LPSK menjamin pemenuhan hak prosedural para korban.
Kejaksaan tengah mengajukan permohonan kasasi vonis Syarif Harto ke Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis bebas Syarif pada Sabtu, 30 April lalu. Majelis hakim menilai tuduhan jaksa minim alat bukti.
Asisten Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau Raharjo Budi Kismanto menjelaskan, permohonan kasasi diajukan karena hakim mengabaikan sejumlah fakta sidang. Di antaranya penilaian tujuh saksi ahli hukum dan psikolog.
Hakim juga tak menggunakan hasil tes alat uji kebohongan terhadap Syarif. Penolakan hakim akan unsur kekerasan dianggap bermasalah karena hanya mengukur pembuktian secara fisik dan mengabaikan efek psikologis. “Ada banyak yurisprudensi untuk mengakui mekanisme pembuktian ini agar terdakwa bisa dihukum,” ucapnya.
Jaksa juga menyinggung penerapan putusan Mahkamah Konstitusi No.65/PUU-VIII/2010 yang mengakui azas saksi testimoni de auditu. Azas ini menyatakan, jika suatu kejadian hanya dialami satu orang, lalu orang tersebut menceritakan kepada orang lain, keterangan orang yang diceritakan itu bisa dianggap sebagai keterangan saksi.
Syaratnya, informasi tersebut segera ia sampaikan kepada orang lain. “Jadi seseorang yang menerima pengakuan bisa menjadi saksi meskipun tidak mengalami, melihat, dan mendengar secara langsung,” kata Raharjo.
Kuasa Hukum Syafri Harto, Doddy Fernando, mengaku siap meladeni perlawanan kejaksaan di tingkat kasasi. Memori kontrakasasi yang tercatat dalam Sistem Informasi Pemeriksaan Perkara PN Pekanbaru pada Kamis, 14 April lalu, mengungkap sejumlah pembelaan Syafri atas gugatan jaksa.
Di antaranya pengakuan Sisca yang membantah adanya unsur kekerasan atau ancaman pencabulan saat persidangan. “Unsur ini penting. Bila unsur itu tidak terpenuhi, pasal itu tidak bisa dipakai untuk menjerat terdakwa,” tutur Doddy.
Doddy menilai kasus ini minim pembuktian karena tak didukung keterangan saksi fakta, dan hanya bersandar keterangan saksi korban. Untuk barang bukti, tak terlihat kerusakan pada kancing kaus polo berwarna merah milik korban untuk menunjukkan ada-tidaknya unsur kekerasan.
Doddy merasa optimistis memenangi perkara ini di tingkat kasasi. Apalagi jika melihat argumentasi yang menyebutkan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. “Alur berpikir itu sesat. Jika benar adanya, semua dosen laki-laki adalah ancaman,” ujarnya.
Putusan terhadap Syafri juga memantik perhatian luas. Sejumlah akademikus dan perwakilan organisasi masyarakat sipil melayangkan dokumen eksaminasi putusan dan catatan amicus curiae (sahabat peradilan) kepada panitera Mahkamah Agung, Rabu, 15 Juni lalu. “Kami melihat sejumlah kejanggalan dalam penerapan teknis yudisial dalam putusan itu,” tutur Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Asfinawati ketika menyerahkan dokumen setebal 56 halaman itu.
Eksaminasi dibuat sejumlah akademikus dan aktivis hukum. Di antaranya dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Iva Kusuma dan Lidwina Inge Nurtjahyo. Menurut Asfinawati, putusan itu mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. “Hakim mengabaikan mekanisme pembuktian dalam kasus kekerasan seksual. Keterangan saksi korban yang didukung penjelasan saksi ahli mestinya dianggap cukup,” katanya.
Sejalan dengan proses hukum tersebut, Satuan Tugas Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Riau sudah merampungkan hasil pemeriksaan. Dokumen pemeriksaan itu telah disampaikan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Pembentukan Satgas ini sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. “Itu sebabnya kasus ini penting diselesaikan oleh pihak Kementerian sebagai bukti Permendikbud Nomor 30 bisa disebut efektif mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual,” ucap Agil Fadlan.
Kepala Hubungan Masyarakat Universitas Riau Rioni Imron menolak menjelaskan hasil temuan dan rekomendasi itu. “Tugas kami sebatas memberi rekomendasi. Keputusan penjatuhan sanksi ada pada Kementerian,” ujarnya.
Seseorang yang mengetahui perkara kekerasan seksual yang dialami Sisca mengatakan Satgas menemukan sejumlah kasus lain yang menyeret Syafri Harto. Informasi itu diperoleh dari laporan sejumlah penyintas yang sudah menjadi alumnus.
Ada pula dugaan kekerasan seksual yang diduga melibatkan dosen lain di Universitas Riau. Kasus hukum terhadap kedua dosen belum bergulir. “Tapi, khusus Syafri Harto, rekomendasi sanksinya sedang menuju berat,” ujar sumber tersebut.
Namun Kementerian Pendidikan tak kunjung mengeluarkan sanksi kepada Syafri sesuai dengan rekomendasi Satgas Universitas Riau. Peraturan Mendikbud tentang Kekerasan Seksual mengamanatkan Menteri Pendidikan atau Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi menindaklanjuti hasil rekomendasi Satgas. Berlarutnya proses penjatuhan sanksi ini disebut berkaitan dengan vonis bebas dan proses kasasi Syafri.
Juru bicara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Yayat Hendrayana, mengatakan tim inspektorat Kementerian Pendidikan telah menguji laporan Satgas Universitas Riau dan menentukan bobot sanksi. Ia juga mengklaim Kementerian masih mengkaji sanksi kepada Syafri.
Dalam sanksi kategori "sedang" menuju "berat", hukuman terhadap seorang dosen yang diduga melakukan kekerasna seksual bisa berupa larangan berhenti mengajar, tapi tetap berstatus pegawai negeri. “Sanksi ini bersifat administratif dan tidak terkait dengan proses pidana,” kata Yayat.
WINAHYU DWI UTAMI (PEKANBARU)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo