Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lembaga kerta, hidup kembali?

Karena pengadilan umum sering tidak sesuai dengan ketentuan agama hindu, maka masyarakat bali ingin menghidupkan kembali lembaga kerta. gubernur bali melantik mpla untuk menangani masalah ini. (hk)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Lembaga kerta, hidup kembali?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MINGGU ini juga Gubernur Bali, Prof. Ida Bagus Mantra, merencanakan melantik Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA). Tinggal "kita cari hari baik" kata. gubernur. Surat Keputusan mengenai hal itu sendiri, No. 18/Kesra II/C/119/1979, sebenarnya telah diterbitkan sejak 21 Maret lalu. Yaitu menunjuk I Gst Putu Raka SH sebagai ketua majelis dan Tjok Raka Dherana SH sebagai wakilnya. Sedangkan biaya kerjanya dibebankan kepada anggaran belanja daerah. Tugas MPLA, menurut Gde Putra, di samping membina lembaga adat, juga memberikan pertimbangan mengenai berbagai kasus pelanggaran adat. "Bahkan," ujar Gde Putra, "majelis ini bisa menuntut seseorang yang melanggar ketentuan agama." Semacam pengadilan agama? Tidak tepat benar. Pengadilan agama yang khusus menangani berbagai kasus yang menyangkut agama Hindu (Hindu Dharma), yang disebut Kerta, dulu pernah adadi zaman penjajahan Belanda. Peranannya berangsur-angsur pudar dan lenyap sama sekali di zaman Jepang. Belakangan, menurut Gde Putra, "masalah yang menyangkut delik agama dipersoalkan dan ditangani Pengadilan Negeri." Dukun Malen Yang jadi ganjalan, kata Ka Kanwil Dep. Agama Bali ini, hakim dan juga hukum yang berlaku di pengadilan umum sering tidak sesuai dengan ketentuan agama yang disebut awig-awig. Misalnya dalam perkara pencurian prasasti suci dari sebuah pura. Bagi seorang hakim di pengadilan perkara begitu biasa dianggap perkara remeh. Prasasti atau Pretima, terbuat dari kayu biasa, berapa sih harganya? Pengadilan, kata Gde Putra, akan menjatuhkan hukuman"berdasarkan nilai kayu yang dicuri itu -- hanya dipandang kulit luarnya saja." Juga dalam perkara keluarga dan warisan. Katakanlah dalam perkara begini: Dua orang anak sama-sama berhak mewarisi harta kekayaan termasuk kewajiban memelihara pura kecil keluarga (Merajan) dan menyelenggarakan pembakaran mayat (Ngaben) ayah mereka. Sengketa soal warisan terjadi karena salah seorang ahli waris beragama lain. Pcngadilan, menurut hukum sipil biasa, tentu akan membagi harta warisan menjadi dua bagian sama banyak. Penyelesaian demikian tidak membereskan persengketaan -- dan yang demikian ini, menurut Gde Putra, seringkali tcrjadi. Ahli waris yang beragama Hindu tentu tidak puas. Sebab dengan bagian warisan yang sama dengan ahli waris yang beragama lain, dia masih berkewajiban merajan dan ngaben. Padahal menurut ketentuan agama, penerima harta warisan ialah mereka yang mewarisi pula kedua kewajiban tersebut. Memang tidak semua putusan pengadilan yang menyangkut "delik agama" tidak klop dengan kemauan adat. Tiga tahun lalu di pengadilan muncul kasus "Dukun Malen". Begini. Nang Malen ketahuan telah mengawini dua orang wanita sekaligus: isteri pertama adalah ibu kandung dari isteri kedua. Menurut ajaran Hindu perbuatan Nang Malen tersebut merupakan dosa besar. Malah disebutkan Pulau Bali dinyatakan tercemar oleh perbuatan dukun, yang dianggap berzina dengan ibu mertua sekaligus berzina pula dengan anak tirinya. Pelanggaran demikian harus dibayar dengan upacara luar biasa. Pengadilan Negeri Denpasar, yang menangani perkara Dukun Malen, dibuka dengan pengawalan ketat terhadap serbuan penonton. Untung hakim cukup arif. Putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan Malen, diambil hakim berdasarkan keterangan saksi ahli hukum adat. Namun justru sejak itulah muncul fikiran-fikiran tentang perlunya Lembaga Kerta, pengadilan agama Hindu, dihidupkan kembali. Sebab, seperti kata Gde Putra dari Kanwil Dep. Agama, "masyarakat Hindu pernah mempunyai tatacara pengadilan yang baik." Tapi tak lama. Persoalan jadi adem setelah Gubernur Ida Bagus Mantra membentuk MPLA. Majelis ini, yang berdiri mulai di tingkat propinsi sampai kecamatan, diharapkan menangani semua persoalan dan sengketa yang menyangkut agama. Tapi menurut Ketua Pengadilan Tinggi Nusatenggara, Djariaman Damanik SH, bagaimana pun majelis harus bekerja membatasi diri. MPLA harus tetap berfungsi sebagai juru damai suatu persengketaan. "Bukan tugasnya mengadili," kata Damanik. Pendapat Direktur Jenderal Bimas Hindu & Budha Gde Pudja SH, MA juga demikian. "Tidak perlu ada peradilan khusus bagi umat Hindu," katanya. Kenyataan bahwa tenaga ahli di bidang agama di pengadilan umum kurang, "itu soal kedua -- sempurnakan saja..." Untuk setiap kasus yang menyangkut ketentuan agama, terutama bila hakimnya kurang menguasai persoalan, katanya ada baiknya mengundang saksi ahli MPLA tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus