MINGGU ini juga Gubernur Bali, Prof. Ida Bagus Mantra,
merencanakan melantik Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA).
Tinggal "kita cari hari baik" kata. gubernur. Surat Keputusan
mengenai hal itu sendiri, No. 18/Kesra II/C/119/1979, sebenarnya
telah diterbitkan sejak 21 Maret lalu. Yaitu menunjuk I Gst Putu
Raka SH sebagai ketua majelis dan Tjok Raka Dherana SH sebagai
wakilnya. Sedangkan biaya kerjanya dibebankan kepada anggaran
belanja daerah.
Tugas MPLA, menurut Gde Putra, di samping membina lembaga adat,
juga memberikan pertimbangan mengenai berbagai kasus pelanggaran
adat. "Bahkan," ujar Gde Putra, "majelis ini bisa menuntut
seseorang yang melanggar ketentuan agama." Semacam pengadilan
agama? Tidak tepat benar.
Pengadilan agama yang khusus menangani berbagai kasus yang
menyangkut agama Hindu (Hindu Dharma), yang disebut Kerta, dulu
pernah adadi zaman penjajahan Belanda. Peranannya
berangsur-angsur pudar dan lenyap sama sekali di zaman Jepang.
Belakangan, menurut Gde Putra, "masalah yang menyangkut delik
agama dipersoalkan dan ditangani Pengadilan Negeri."
Dukun Malen
Yang jadi ganjalan, kata Ka Kanwil Dep. Agama Bali ini, hakim
dan juga hukum yang berlaku di pengadilan umum sering tidak
sesuai dengan ketentuan agama yang disebut awig-awig. Misalnya
dalam perkara pencurian prasasti suci dari sebuah pura. Bagi
seorang hakim di pengadilan perkara begitu biasa dianggap
perkara remeh. Prasasti atau Pretima, terbuat dari kayu biasa,
berapa sih harganya? Pengadilan, kata Gde Putra, akan
menjatuhkan hukuman"berdasarkan nilai kayu yang dicuri itu --
hanya dipandang kulit luarnya saja."
Juga dalam perkara keluarga dan warisan. Katakanlah dalam
perkara begini: Dua orang anak sama-sama berhak mewarisi harta
kekayaan termasuk kewajiban memelihara pura kecil keluarga
(Merajan) dan menyelenggarakan pembakaran mayat (Ngaben) ayah
mereka. Sengketa soal warisan terjadi karena salah seorang ahli
waris beragama lain. Pcngadilan, menurut hukum sipil biasa,
tentu akan membagi harta warisan menjadi dua bagian sama banyak.
Penyelesaian demikian tidak membereskan persengketaan -- dan
yang demikian ini, menurut Gde Putra, seringkali tcrjadi. Ahli
waris yang beragama Hindu tentu tidak puas. Sebab dengan bagian
warisan yang sama dengan ahli waris yang beragama lain, dia
masih berkewajiban merajan dan ngaben. Padahal menurut ketentuan
agama, penerima harta warisan ialah mereka yang mewarisi pula
kedua kewajiban tersebut.
Memang tidak semua putusan pengadilan yang menyangkut "delik
agama" tidak klop dengan kemauan adat. Tiga tahun lalu di
pengadilan muncul kasus "Dukun Malen". Begini. Nang Malen
ketahuan telah mengawini dua orang wanita sekaligus: isteri
pertama adalah ibu kandung dari isteri kedua.
Menurut ajaran Hindu perbuatan Nang Malen tersebut merupakan
dosa besar. Malah disebutkan Pulau Bali dinyatakan tercemar oleh
perbuatan dukun, yang dianggap berzina dengan ibu mertua
sekaligus berzina pula dengan anak tirinya. Pelanggaran
demikian harus dibayar dengan upacara luar biasa.
Pengadilan Negeri Denpasar, yang menangani perkara Dukun Malen,
dibuka dengan pengawalan ketat terhadap serbuan penonton. Untung
hakim cukup arif. Putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan
Malen, diambil hakim berdasarkan keterangan saksi ahli hukum
adat. Namun justru sejak itulah muncul fikiran-fikiran tentang
perlunya Lembaga Kerta, pengadilan agama Hindu, dihidupkan
kembali. Sebab, seperti kata Gde Putra dari Kanwil Dep. Agama,
"masyarakat Hindu pernah mempunyai tatacara pengadilan yang
baik."
Tapi tak lama. Persoalan jadi adem setelah Gubernur Ida Bagus
Mantra membentuk MPLA. Majelis ini, yang berdiri mulai di
tingkat propinsi sampai kecamatan, diharapkan menangani semua
persoalan dan sengketa yang menyangkut agama. Tapi menurut Ketua
Pengadilan Tinggi Nusatenggara, Djariaman Damanik SH, bagaimana
pun majelis harus bekerja membatasi diri. MPLA harus tetap
berfungsi sebagai juru damai suatu persengketaan. "Bukan
tugasnya mengadili," kata Damanik.
Pendapat Direktur Jenderal Bimas Hindu & Budha Gde Pudja SH, MA
juga demikian. "Tidak perlu ada peradilan khusus bagi umat
Hindu," katanya. Kenyataan bahwa tenaga ahli di bidang agama di
pengadilan umum kurang, "itu soal kedua -- sempurnakan saja..."
Untuk setiap kasus yang menyangkut ketentuan agama, terutama
bila hakimnya kurang menguasai persoalan, katanya ada baiknya
mengundang saksi ahli MPLA tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini