Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah sherry dan nyoman

Pernikahan sherry chandra (islam) & nyoman murtha tisna (hindu), oktober '75, berlangsung menurut adat & agama hindu tanpa mencatatkan di catatan sipil. yang menyebabkan sulitnya mengurus perceraian. (hk)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Kisah sherry dan nyoman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PERNIKAHAN Sherry Chandra dengan ir. Nyoman Murtha Tisna, Oktober 1975, berlangsung menurut adat dan agama Hindu. Mereka tidak mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Jakarta. Baru sebulan pasangan ini berjalan, keributan tak dapat dihindarkan. Perjanjian sebelum menikah, bahwa Sherry akan tetap pada agamanya, Islam, ternyata tak berkenan di hati suaminya. Hal itu memaksa Sherry pulang kembali ke rumah orangtuanya tanpa diantar Nyoman. Juga tanpa menanggalkan barang perhiasan yang dikenakannya. Itulah pangkal perkara yang membawa Sherry ke pengadilan. Oleh suaminya ia dituduh telah mencuri dan menggelapkan perhiasan kalung 15 gram (waktu itu seharga Rp 36 ribu), giwang (Rp 10 ribu), cincin (masing-masing Rp 11.800 dan Rp 9 ribu) serta uang Rp 40 ribu. Tapi M. Assegaf dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, melalui keterangan saksi ahli agama Hindu dari Ditjen Hindu & Budha, berhasil membuktikan bahwa Sherry -- walaupun tanpa bukti akte perkawinan dari Kantor Catatan Sipil -- adalah isteri sah si pengadu, Nyoman. Dengan demikian, karena tak mungkin ada "pencurian" di antara suami-isteri, Hakim David Olie dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (1977) membebaskan Sherry. Tanpa Bukti Namun demikian urusan Sherry dengan Nyoman belum selesai. Perkara perceraian masih harus diurus. Ke mana? Itu soalnya. LBH belum menemukan jalan yang baik. Sebab, menurut Assegaf SH maupun I Wayan Sudhirta SH dari LBH, perkara perceraian mereka tak mudah diajukan ke pengadilan. "Bukti bahwa mereka menikah pun, berupa akte perkawinan, tak ada. Bagaimana bisa menuntut perceraian?" kata Assegaf. Dengan lahirnya Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) pembela umum I Wayan Sudhirta menaruh harapan. Pernikahan secara adat dan agama, diharapkan bisa juga diceraikan melalui jalan yang sama. Tapi menurut Direktur Jenderal Bimas Hindu & Budha Dep. Agama, Gde Pudja, sesungguhnya agama Hindu tak mengenal lembaga perceraian. Kasus Nyoman dan Sherry itu memang unik. Sebelum menikah, "mereka merengek-rengek minta saya mengesahkan, kemudian datang lagi merengek minta supaya perkawinannya dianggap tidak sah." Bagaimana kira-kira MPLA akan menangani perkara tersebut? "Majelis 'kan belum bekerja -- kita tunggu saja nanti . . . " kata Pudja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus