PERNIKAHAN Sherry Chandra dengan ir. Nyoman Murtha Tisna,
Oktober 1975, berlangsung menurut adat dan agama Hindu. Mereka
tidak mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Jakarta.
Baru sebulan pasangan ini berjalan, keributan tak dapat
dihindarkan. Perjanjian sebelum menikah, bahwa Sherry akan tetap
pada agamanya, Islam, ternyata tak berkenan di hati suaminya.
Hal itu memaksa Sherry pulang kembali ke rumah orangtuanya tanpa
diantar Nyoman. Juga tanpa menanggalkan barang perhiasan yang
dikenakannya.
Itulah pangkal perkara yang membawa Sherry ke pengadilan. Oleh
suaminya ia dituduh telah mencuri dan menggelapkan perhiasan
kalung 15 gram (waktu itu seharga Rp 36 ribu), giwang (Rp 10
ribu), cincin (masing-masing Rp 11.800 dan Rp 9 ribu) serta uang
Rp 40 ribu. Tapi M. Assegaf dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta, melalui keterangan saksi ahli agama Hindu dari Ditjen
Hindu & Budha, berhasil membuktikan bahwa Sherry -- walaupun
tanpa bukti akte perkawinan dari Kantor Catatan Sipil -- adalah
isteri sah si pengadu, Nyoman.
Dengan demikian, karena tak mungkin ada "pencurian" di antara
suami-isteri, Hakim David Olie dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat (1977) membebaskan Sherry.
Tanpa Bukti
Namun demikian urusan Sherry dengan Nyoman belum selesai.
Perkara perceraian masih harus diurus. Ke mana? Itu soalnya.
LBH belum menemukan jalan yang baik. Sebab, menurut Assegaf SH
maupun I Wayan Sudhirta SH dari LBH, perkara perceraian mereka
tak mudah diajukan ke pengadilan. "Bukti bahwa mereka menikah
pun, berupa akte perkawinan, tak ada. Bagaimana bisa menuntut
perceraian?" kata Assegaf.
Dengan lahirnya Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) pembela umum
I Wayan Sudhirta menaruh harapan. Pernikahan secara adat dan
agama, diharapkan bisa juga diceraikan melalui jalan yang sama.
Tapi menurut Direktur Jenderal Bimas Hindu & Budha Dep. Agama,
Gde Pudja, sesungguhnya agama Hindu tak mengenal lembaga
perceraian.
Kasus Nyoman dan Sherry itu memang unik. Sebelum menikah,
"mereka merengek-rengek minta saya mengesahkan, kemudian datang
lagi merengek minta supaya perkawinannya dianggap tidak sah."
Bagaimana kira-kira MPLA akan menangani perkara tersebut?
"Majelis 'kan belum bekerja -- kita tunggu saja nanti . . . "
kata Pudja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini