Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Lepas Karena Terbelit Prosedur

Karena tak mendapat izin perpanjangan penahanan dari kejaksaan, polisi akhirnya membebaskan dua jaksa tersangka penggelapan barang bukti ekstasi. Bakal menyulitkan pemeriksaan.

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIDAMPINGI lima pengacara, dua jaksa itu datang ke Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya. Hari itu, Kamis pekan lalu, Esther Tanak dan Dara Veranita, dua jaksa itu, untuk kedua kalinya melakukan wajib lapor. Masuk ke ruang penyidik sekitar pukul sembilan pagi, mereka baru keluar menjelang petang. ”Mereka juga diperiksa sebagai tersangka,” kata Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Arman Depari kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Sejak dilepaskan dari tahanan pada Sabtu dua pekan lalu, kedua jaksa itu memang dikenai wajib lapor sepekan dua kali, Senin dan Kamis. Sebelumnya, sejak 23 Maret lalu, mereka mendekam di tahanan Polda Metro setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus penggelapan barang bukti ekstasi 343 butir. Sehari-hari Esther bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara sedangkan Dara di Kejaksaan Negeri Kuningan, Jawa Barat.

Polisi membekuk dua jaksa itu setelah, pada awal Maret, mencokok Jenanto yang tengah menjajakan ekstasi. Jenanto mengaku pil itu diperoleh dari Irfan, anggota Kepolisian Sektor Pademangan, Jakarta Utara. Kepada polisi yang membekuknya, Irfan lantas mengungkapkan bahwa pil haram itu dari Esther dan Dara. Kepada polisi, jaksa tersebut mengaku ”melipat” barang bukti tersebut lantaran berhasrat memiliki BlackBerry, perangkat komunikasi yang kini tengah ngetren.

Polisi sebenarnya tak ingin melepaskan dua jaksa itu. Setelah ditahan selama 20 hari, lantaran penyidikan belum rampung, polisi ingin memperpanjang masa tahanan dua jaksa itu 40 hari lagi. Di sinilah muncul masalah. Menurut Arman, pihaknya terpaksa melepaskan Esther dan Dara lantaran tak mendapat izin perpanjangan penahanan tahap kedua ini dari kejaksaan tinggi. Pada Sabtu, 11 April lalu, dua jaksa itu pun dibebaskan.

Bebasnya ”duo jaksa” itu tak urung memancing protes para aktivis antinarkoba. Selain berdemo di Polda, ratusan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Antinarkotika (Granat) dan Gerakan Rakyat Anti Madat (Geram) Selasa pekan lalu mendatangi Gedung Kejaksaan Agung. Mereka menuding kejaksaan melindungi Esther dan Dara.

Tidak diperpanjangnya masa penahanan itu memang bakal menyulitkan polisi menyidik kasus ini lantaran, kata Arman, mereka tidak bisa setiap saat dihadirkan.

l l l

ARMAN menampik jika disebut polisi lambat mengajukan permintaan perpanjangan masa penahanan Esther dan Dara. Menurut Arman, permintaan izin perpanjangan sudah diajukan sepuluh hari sebelum masa penahanan dua jaksa itu berakhir pada Sabtu 11 April lalu.

Dari dokumen yang diperoleh Tempo, surat permohonan perpanjangan tersebut ditandatangani Kepala Satuan (Kasat) I Narkotika Polda Metro Jaya, Yupri R.M. Isinya: penyidik meminta penahanan Esther dan Dara diperpanjang 40 hari.

Nah, surat itu lantas dibalas Kejaksaan Tinggi Jakarta pada Rabu, 8 April—tiga hari sebelum masa penahanan 20 hari berakhir. Tapi isinya bukan memberikan ”lampu hijau” untuk izin perpanjangan penahanan, melainkan kejaksaan tinggi justru meminta polisi melampirkan surat izin penahanan dari Jaksa Agung.

Dalam surat yang ditandatangani Kepala Seksi Prapenuntutan Asisten Tindak Pidana Umum Baharudin, kejaksaan menyebut dasar permintaan mereka: Pasal 8 Undang-Undang Kejaksaan. Pasal itu menyatakan, jika dalam melaksanakan tugas jaksa diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa itu hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.

Kepala Unit Direktorat Narkotika Polda Metro, Christian Siagian, menyatakan bahwa permintaan izin Jaksa Agung sebenarnya sudah jauh-jauh hari diajukan pihaknya, yakni ketika Esther dan Dara ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, hingga penahanan tahap pertama berakhir, izin itu tak kunjung turun.

Yang dimaksud Christian itu adalah surat yang dikirim Arman Depari pada 23 Maret lalu. Dari kopi surat itu yang diterima Tempo, di situ disebutkan maksud surat tersebut—yang tercantum dalam ”perihalnya”—yakni pemberitahuan dan izin pemeriksaan, penangkapan, dan penahanan Esther dan Dara. Tanpa itu, kata Arman, izin perpanjangan penahanan tidak dikeluarkan.

Christian mempunyai pandangan sendiri perihal izin Jaksa Agung ini. Menurut dia, dalam kasus Esther-Dara ini, izin Jaksa Agung tak bersifat wajib. Pasal 8 Undang-Undang Kejaksaan, ujarnya, hanya berlaku bagi jaksa yang sedang menjalankan tugas. ”Undang-Undang Kejaksaan tidak menyebutkan menjual narkoba itu tugas jaksa,” kata Christian.

Jaksa Agung Hendarman Supandji mengakui pihaknya sudah menerima surat dari Polda Metro Jaya. Menurut Hendarman, surat itu hanya pemberitahuan bahwa Jaksa Esther dan Dara sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh penyidik, tidak meminta izin perpanjangan penahanan. ”Kalau minta izin, pasti saya keluarkan izinnya,” kata Hendarman.

Sumber Tempo, seorang pejabat penting kejaksaan, mengatakan bahwa sebenarnya konsep surat izin penyidikan terhadap Esther dan Dara sebagai tersangka sudah disiapkan Jaksa Agung Muda Pembinaan, Darmono, pada 3 April lalu. Surat itu, ujarnya, tinggal ditandatangani Hendarman. Darmono, katanya, membuat surat itu karena menerima disposisi dari Hendarman.

”Jaksa Agung lalu memanggil beberapa jaksa agung muda, meminta pendapat perlu atau tidak surat itu diteken,” kata sumber tersebut. Mereka yang hadir, antara lain, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga, Jaksa Agung Muda Pengawasan Hamzah Tadja, serta Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Edwin Pamimpin Situmorang. Yang terakhir ini juga menjabat Ketua Persatuan Jaksa Indonesia.

Pertemuan itu, kata sumber tersebut, menyepakati surat polisi tidak perlu dijawab karena sifatnya ”pemberitahuan”. Darmono, kata sumber itu, dalam pertemuan tersebut juga dinilai koleganya salah menafsirkan disposisi Jaksa Agung, yang isinya meminta kasus itu dipelajari dan pemberian sanksi administratif bagi kedua jaksa. ”Tapi dia membuat konsep surat itu, padahal itu bukan wewenangnya.”

Dihubungi pada Kamis pekan lalu, Darmono mengaku dirinya hanya meneruskan disposisi Jaksa Agung. Ia sendiri heran, konsep surat yang ia buat itu bocor ke publik. Darmono menolak dirinya dikatakan melakukan sesuatu di luar wewenangnya dalam kasus Esther dan Dara. ”Itu bukan soal kewenangan, disposisinya memang seperti itu,” katanya.

Sumber Tempo lain, juga seorang pejabat Kejaksaan Agung, menyatakan bahwa polisi sebenarnya memang tak perlu meminta izin Jaksa Agung dalam kasus seperti ini. Sebab, ujar jaksa itu, Esther dan Dara jelas melakukan tindak pidana di luar tugas mereka sebagai jaksa. Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, setuju dengan pendapat ini. ”Tugas jaksa itu kan melakukan penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan pengadilan,” kata Rudy.

Menurut sumber itu, terhadap permintaan kejaksaan tinggi, polisi sebenarnya cukup menjawab permintaan kejaksaan tinggi itu dengan melampirkan surat dari Jaksa Agung pada 6 Maret 2009 ketika Esther dan Dara diperiksa sebagai saksi. Sumber itu lantas menunjukkan surat Jaksa Agung kepada Kepala Polri yang ditembuskan, antara lain, ke Kepala Polda Metro Jaya, yang isinya memberikan izin pemeriksaan Esther dan Dara. ”Surat itu sudah memenuhi permintaan jaksa tinggi.”

Namun, tentang hal ini, rupanya Arman berbeda pendapat. ”Kami tak mau ambil risiko,” ujarnya. Penyidik tetap menganggap izin penahanan Esther dan Dara sebagai tersangka belum dikeluarkan. ”Izin sebelumnya itu hanya sebagai saksi,” ujar Arman. ”Kalau kami tahan, nanti kami yang salah.”

Di mata kriminolog yang juga pengamat kepolisian, Adrianus Meliala, kisruh kasus ini semata lantaran pihak kejaksaan merasa dilangkahi kepolisian. Dalam bahasa Adrianus, polisi tidak kulo nuwun dalam memeriksa dua jaksa itu. ”Seandainya bukan jaksa, mungkin tidak serumit ini,” ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan mengakui kasus ini ”meledak” semata karena terjadinya miskoordinasi antara kepolisian dan kejaksaan tinggi, yang kelak bakal bertindak sebagai penuntut umum. Jasman meminta kedua pihak duduk bersama. ”Jangan karena urusan administrasi, pokok perkaranya dilupakan,” ujarnya.

Anton Aprianto, Riki Ferdianto, Mustafa Silalahi, Ninin Damayanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus