Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kalla Mau ke Mana

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERCERAI dengan Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya tak lagi bisa dihindari Muhammad Jusuf Kalla. Sampai menjelang Rapat Pimpinan Partai Golkar akhir pekan lalu, Kalla gagal mendapat konfirmasi dari bosnya tentang kelangsungan nasib duetnya dengan SBY dalam pemilu presiden 9 Juli nanti. Yang beredar santer justru kabar bahwa SBY cenderung memilih calon wakil presiden lain, yang mungkin bukan berasal dari Partai Golkar.

Kalaupun akhirnya Demokrat dan Golkar tak bisa bersatu, begitu pula SBY dan JK, itu malah jadi berkah bagi Republik. Pemilu presiden akan tetap berlangsung sesuai jadwal, bebas dari ancaman boikot sebagian petinggi partai politik. Mungkin publik akan memilih tiga nama presiden dan wakil presiden yang pernah memimpin negeri, dengan varian yang unik dan pertama kali terjadi. JK, sang wakil presiden, terpaksa bertarung head to head dengan presiden incumbent yang menjadi pasangannya ketika berlaga melawan mantan presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004. Mega kita tahu adalah bekas atasan SBY dan JK.

Kalla memang harus putar otak mencari wakil yang pas. Barangkali ia sekarang kepentok ke sana-kemari, seakan tersesat dalam sebuah labirin. Ia harus sadar bahwa optimisme yang menjadi modalnya selama ini ternyata tak membawa hasil maksimal. Golkar, sebagai pemenang Pemilihan Umum 2004, kehilangan banyak suara dalam pemilu 9 April lalu. Sedangkan Partai Demokrat suaranya melejit naik sampai tiga kali lipat.

Tentu ada yang salah dengan Golkar. Para petinggi partai yang dikenal sarat pengalaman itu harus mencari tahu mengapa suara Beringin tergerus begitu dahsyat. Boleh jadi ini akibat Kalla kurang waktu untuk mengurus partai. Mungkin juga pengurus dan anggota Golkar kurang gigih. Mereka terlampau nyaman dengan citra sebagai partai penguasa selama ini. Golkar selalu tampil sebagai bumper kebijakan pemerintah untuk meredam suara kritis ”parlemen”.

Menghadapi pemilu presiden, Kalla harus tangkas menggunakan mandat dari rapat pimpinan partai untuk menjalankan strategi ”penyelamatan partai”. Dia bisa maju sebagai calon presiden, wakilnya diambil dari tokoh yang diusung PDI Perjuangan, mitra koalisi potensialnya. Itu pun kalau Megawati bisa dibujuk untuk berperan hanya sebagai ”ratu di balik layar”. Sang calon pendamping yang kabarnya bisa disetujui PDI Perjuangan adalah jenderal pensiunan dari suku Jawa yang namanya berakhiran huruf ”o”. Bekas Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto menjadi pilihan menarik. Selain dikenal bersih, dia juga figur yang ”tak bermasalah” di masa lalu.

Kalau skenario ini jalan, soal tetek-bengek pendelegasian wewenang dan penjatahan menteri bisa diatur belakangan. Kuncinya, JK harus meyakinkan Mega bahwa ia bukan merupakan ”ancaman”. Kalau berhasil, pertarungan pemilu 8 Juli bakal seru. SBY, yang kini di atas angin, bakal mendapat perlawanan sengit.

Seandainya Megawati berkukuh hendak maju lagi sebagai calon presiden, Kalla akan dipaksa berpikir sangat keras. Tanpa PDI Perjuangan, Golkar perlu sekitar sepuluh persen suara tambahan untuk meraih tiket pencalonan presiden. Opsi cadangan pun perlu disiapkan: Kalla maju sendiri sebagai presiden dengan mencari dukungan dari kanan-kiri.

Perjuangan pasti sangat berat. Kalla dan juga Golkar harus rela mengambil figur calon wakil presiden yang datang dari kumpulan partai kecil. Untuk memenangkan kursi presiden, dalam skenario maju sendiri ini, jelas sangat berat. Elektabilitas Kalla sebagai calon presiden rendah, bahkan lebih rendah ketimbang Megawati, apalagi dibandingkan SBY.

Andai akhirnya Kalla dan Golkar kalah, tak ada pilihan bagi partai Beringin selain menjadi partai oposisi. Realitas ini harus diterima semua petinggi Golkar, yang selama ini biasa hidup sebagai partai penguasa. Para kader perlu konsisten dengan garis partai untuk berada di luar pemerintahan—meskipun kelak tawaran duduk di kabinet datang menggoda. Pelajaran yang bisa dipetik, menjadi bumper kebijakan pemerintah ternyata bisa merugikan partai. Kita tahu, selama ini apresiasi publik terhadap program yang sukses tercurah pada SBY dan bukan JK atau Golkar—walaupun sang orang kedua menyumbang cukup banyak atas sukses itu.

Perjalanan akan sangat berat bagi Golkar. Sepanjang sejarah, partai yang didirikan Orde Baru itu tak pernah beroposisi. Tapi, dengan kekayaan pengalaman dan stok tokoh yang cukup, Beringin bisa memulai tradisi sebagai oposisi yang tangguh, efektif, dan disegani. Kekuatan ini diperlukan sebagai penyeimbang di Senayan. Mekanisme check and balance yang berjalan baik merupakan prasyarat utama terbangunnya sistem kedaulatan rakyat yang sehat.

Kalau Golkar gagal dalam perannya sebagai partai oposisi, tak ada lagi yang bisa ”dijual” di masa depan. ”Mantan” pemenang pemilu itu mesti bersiap-siap menjadi partai yang tak diperhitungkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus