Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko B. Supriyanto
Penulis adalah Direktur Biro Riset Infobank
MASIH adakah bank yang akan ditutup lagi? Itu pertanyaan yang wajar setelah kasus pencabutan izin Bank IFI dan pengambilalihan Bank Century hanya dalam lima bulan. Penutupan Bank Global hampir empat tahun lalu juga masih menyisakan trauma. Pada saat itu, Bank Indonesia dan lembaga rating memberikan label sangat sehat untuk Global. Faktanya, Bank Global menyembunyikan bom waktu, dan akhirnya meledak.
Data Bank Indonesia memang menunjukkan kondisi perbankan masih aman. Kuda-kuda perbankan yang tecermin dalam capital adequacy ratio (CAR) masih relatif kuat, sekitar 16 persen, jauh di atas ketentuan Bank Indonesia yang 8 persen, juga Basel II yang 12 persen. Kredit seret (nonperforming loan) juga hanya 4,3 persen. Masih di bawah target indikatif BI sebesar 5 persen. Kondisi likuiditas pun mulai membaik, dana pihak ketiga juga terus tumbuh. Hampir tidak ada soal yang mengkhawatirkan.
Namun, tetap harus ada yang diwaspadai. Catatan Biro Riset Infobank menunjukkan, kendati situasi perbankan secara indikatif aman, ada ancaman serius terhadap perbankan Indonesia. Pertama, pelemahan ekonomi akibat penurunan permintaan, baik barang maupun jasa. Kedua, penurunan daya beli masyarakat, baik karena kenaikan harga maupun penurunan pendapatan.
Ketiga, masih belum normalnya nadi likuiditas di bank-bank. Hal itu bisa dilihat dari tetap dilayaninya nasabah yang meminta suku bunga tinggi. Keempat, praktek-praktek pemilik bank atau pengurus bank yang tidak bisa dideteksi oleh Bank Indonesia—entah karena saking canggihnya bankir nakal menyembunyikan borok atau karena BI memang selalu terlambat. Buktinya, setiap bank ditutup atau diambil alih, baik sebelum krisis pada 1997/1998 maupun sesudahnya, selalu ada patgulipat (moral hazard).
Persoalan yang terakhir itulah yang paling berbahaya. Selama 20 tahun ini, kematian bank pada umumnya terjadi karena kejahatan yang dilakukan pemilik bank atau direksi. Dan tidak ada bank yang mati akibat persaingan normal karena setiap bank mempunyai segmen tertentu. Modus penggarongan bank bermacam-macam: kredit fiktif, kredit ke grup sendiri, atau pemberian kredit yang tidak transparan. Belakangan muncul praktek baru yang juga sangat membahayakan bank, yakni transaksi derivatif.
Akibatnya, bank-bank tersebut kesulitan likuiditas, mengalami negative spread, dan kemampuan mencetak laba juga turun. Semua masalah itu berujung pada penurunan rasio kecukupan modal. Jika pemilik tidak mampu menyuntikkan modal atau tidak ada investor yang berminat masuk, pilihan bagi bank itu hanya satu: likuidasi.
Sepanjang tidak ada krisis, dan aliran likuiditas masih normal, tidak mudah membongkar praktek-praktek buruk perbankan ini. Kejahatan itu sering kali baru terungkap jika bank tersebut menghadapi masalah atau bahkan ketika mereka sudah ditutup. Keberadaan direktur kepatuhan atau komisaris independen dalam manajemen perbankan pada kenyataannya tidak banyak membantu.
Enam bulan ini adalah waktu yang krusial. Sampai laporan keuangan perbankan per Juni keluar, kondisi perbankan kemungkinan masih lumayan bagus. Kekhawatiran akan ada bank yang menyusul Bank IFI bisa dikesampingkan. Tapi, setelah itu cerita tentang perbankan akan berbeda sama sekali. Dampak krisis global kemungkinan besar mulai dirasakan perbankan. Ekonomi akan jauh menyusut.
Mundurnya perekonomian sudah pasti akan membuat potensi terjadinya kredit macet membesar. Indikasinya sudah mulai terlihat, antara lain peningkatan cadangan untuk meng-cover kredit bermasalah, dan naiknya rasio kredit seret. Jika saat ini kredit bermasalah sektor konsumsi yang meningkat, nantinya sektor usaha produktif juga bakal naik. Krisis global juga mengakibatkan dana menjadi langka dan makin mahal. Likuiditas masih akan jadi kendala.
Kondisi perbankan akan makin berbahaya jika terjadi moral hazard oleh pemilik atau manajemen bank. Pengalaman kita dalam 20 tahun terakhir menunjukkan, tiga hal itulah yang membuat perbankan mengalami krisis. Dan krisis perbankan merupakan pintu masuk bagi krisis ekonomi yang lebih besar. Karena itu, salah satu tumpuan terbesar untuk menghindari terjadinya moral hazard adalah keberanian dan kecermatan Bank Indonesia dalam mengawasi perbankan.
Salah satu yang bisa dijadikan indikasi bank bermasalah adalah penggelembungan aset yang terlalu cepat. Pada hakikatnya, perbankan bukanlah sprinter, mereka lebih tepat disamakan dengan pelari maraton, yang harus selalu memasukkan faktor kehati-hatian dan daya tahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo