Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lesu Darah Sebelum Berkembang

Kejaksaan mengkaji ulang perkara korupsi sembilan kepala daerah. Sejumlah alasan yang dikemukakan dinilai akal-akalan belaka.

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURAT letih tampak di wajah Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek. Kamis dua pekan lalu, saat memberi sambutan dalam acara "Kalimantan Timur Berzakat" di aula kantornya, pria 63 tahun ini beberapa kali menghela napas. Sesekali suara baritonnya tercekat. Sepekan terakhir, kegiatan Awang memang superpadat. Selain menggelar safari Ramadan, ia sibuk mondar-mandir meninjau kesiapan angkutan Lebaran di wilayahnya.

Di tengah seabrek aktivitasnya itu, Awang tengah sumringah. Ia mendapat kabar perkara dugaan korupsinya tengah dikaji ulang Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Basrief Arief bahkan memberi isyarat kasusnya akan dihentikan jika hasil penelaahan tidak mendapat bukti keterlibatan Awang. Kendati tahu hal itu, Awang enggan memberi tanggapan. "Kita tunggu saja," katanya kepada Tempo.

Ditetapkan tersangka sejak 6 Juli 2010, Awang dituduh menyalahgunakan penempatan dana penjualan lima persen saham Pemerintah Kabupaten Kutai Timur di PT Kaltim Prima Coal. Pada Juni 2008, Awang, yang saat itu menjabat Bupati Kutai Timur, dinilai tidak menyetor duit US$ 63 juta (Rp 576 miliar) itu ke kas daerah. Duit justru mengalir ke perusahaan daerah, PT Kutai Timur Energi.

Kejaksaan mengantongi bukti Awang berperan memutuskan penempatan itu tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Timur. Dua pekan setelah penetapan tersangka, korps adyaksa mengajukan izin pemeriksaan Awang ke Presiden.

Setelah setahun izin tak kunjung turun, Juli lalu, dalam rapat dengan Komisi Hukum DPR, Basrief menyatakan perkara Awang akan dikaji ulang. Alasannya, ada putusan pelaku lain yang bertentangan, yakni putusan Pengadilan Negeri Sangata, Kalimantan Timur, untuk dua direktur PT Kutai Timur. Direktur Utama Anung divonis lima tahun, sedangkan Direktur Umum Apidian divonis bebas. "Karena Apidian saat itu belum bekerja di PT Kutai Timur," demikian petikan bunyi putusan itu.

Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Faried Haryanto, dua putusan itu tidak menyebut keterlibatan Awang. Putusan Anung, misalnya. Menurut Faried, hakim hanya menyebut korupsi yang terbukti hanya penjualan saham saat bupati dijabat Mahyudin. Sedangkan Awang, kata dia, perannya pada penempatan dana.

Langkah meninjau perkara itu, ujar Basrief, ditempuh kejaksaan setelah mengklarifikasi izin Presiden yang belum turun ke Sekretariat Kabinet. Menurut Basrief, tak hanya perkara Awang, tapi ada delapan perkara kepala daerah lain yang kini diminta dikaji ulang. Lima perkara izinnya sudah dimasukkan ke Sekretariat Kabinet, sedangkan tiga lainnya belum dimasukkan ke Sekretariat Kabinet—untuk selanjutnya diteruskan ke Presiden. Akhir Juli lalu, Basrief memanggil sejumlah kepala kejaksaan tinggi untuk membahas soal itu.

Pengacara Awang, Hamzah Dahlan, menilai kejaksaan sepantasnya menghentikan perkara Awang karena sejak awal kliennya tidak bersalah. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebut ada kerugian negara dalam pengalihan saham, kata dia, menya­lahi prosedur.

Dengan alasan serupa, kejaksaan juga mengkaji perkara Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin. Ia dituduh menyalahgunakan keuangan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan 2002-2003 untuk pembebasan lahan bekas pabrik PT Martapura ke PT Golden Martapura. Negara diduga tekor Rp 6,4 miliar. Kala itu Rudy Bupati Banjar. Tiga pelaku lain perkara itu, ujar Basrief, sudah divonis bebas di tingkat peninjauan kembali. Mereka adalah panitia pembebasan lahan Khairul Saleh, bekas Kepala Pertanahan Banjar Iskandar Djamaluddin, dan Direktur PT Golden Martapura Gunawan Santoso.

Guru besar hukum pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adjie menilai langkah kejaksaan mengkaji ulang dua perkara itu tergesa-gesa. Untuk Awang, misalnya. Putusan dua pelaku itu, kata dia, belum berkekuatan hukum tetap. Kejaksaan diminta berani membawa perkara Awang ke pengadilan karena tuduhannya berbeda dengan keduanya. Kendati sudah berkekuatan hukum tetap, Indriyanto menilai putusan pelaku lain tidak bisa menjadi dasar kajian ulang karena tuduhannya berlainan. "Ini untuk kepastian hukum."

l l l

RAPAT koordinasi dengan sejumlah pejabat pelaksana proyek gencar dilakukan Bambang Bintoro, sebulan terakhir. Bupati Batang, Jawa Tengah, ini tengah menggenjot serapan anggaran yang pada Agustus lalu baru terealisasi separuhnya. Di luar rutinitas itu, Bupati Batang dua periode ini tengah getol bersafari politik dengan istrinya, Susi Iriani, yang akan maju dalam pemilihan Bupati Batang pada Desember nanti.

Selain menyandang predikat bupati, sejak Mei 2008 Bambang juga mendapat status tersangka dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Dia dituduh menyalahgunakan anggaran tali asih DPRD Batang 2002-2004, yang membuat duit negara jebol Rp 796 juta. Izin pemeriksaannya pada 20 Juni 2008 tak kunjung turun. Setelah koordinasi dengan Sekretariat Kabinet, kata Basrief, perkara Bambang harus dikaji ulang karena kerugian negaranya belum jelas. Bambang sendiri tak mau banyak komentar perihal rencana kejaksaan yang akan mengkaji ulang perkaranya itu. "Kasus saya selalu muncul menjelang pemilihan kepala daerah," katanya pendek.

Selain Bambang, ada tiga kepala daerah yang perkara korupsinya juga dikaji ulang dengan dalih serupa. Mereka adalah Bupati Ogan Komering Ulu Selatan, Muhtadin Sera’i; Bupati Bulungan, Budiman Arifin; dan Wakil Bupati Purwakarta, Dudung B. Supardi. Untuk mereka, ujar Basrief, kejaksaan masih menanti hasil audit kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Daerah.

Sumber Tempo di BPKP mengatakan, alasan itu sesungguhnya hanya dicari-cari kejaksaan. Sampai pekan lalu, kata dia, kejaksaan belum meminta audit empat perkara itu ke BPKP. Menurut sumber itu, kalaupun ke BPKP daerah, permintaannya tentu tercatat di pusat. Audit empat kepala daerah itu, setahu dia, sudah dilakukan BPK. "Kerugian negaranya juga jelas."

Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Eddy Mulyadi Soepardi tidak membantah hal itu. "Setahu saya belum ada." Anggota BPK Rizal Djalil, yang menangani audit daerah, memilih bungkam. Kepala Biro Hubungan Masyarakat BPK Bachtiar Arief idem ditto. "Saya perlu cek dulu," kata dia. "Tapi, kalaupun ada, audit BPK hanya bukti awal."

l l l

IZIN Presiden untuk memeriksa kepala daerah yang terbelit perkara kerap menjadi batu sandungan bagi Kejaksaan Agung. Menurut catatan Tempo, sepanjang 2005 sampai awal 2011, ada 54 izin yang belum direspons Presiden. Ada yang berstatus saksi atau tersangka. Bahkan ada izin yang belum turun padahal perkaranya sudah dihentikan. Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah, kejaksaan mesti mendapat izin Presiden untuk memeriksa mereka.

Perkara izin ini pernah mencuat pada April lalu. Saat itu Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan ada 61 izin pemeriksaan kepala daerah yang sudah diajukan ke Presiden tapi belum kunjung turun. Sekretaris Kabinet Dipo Alam, yang menangani soal ini, mengklaim izin pemeriksaan selalu direspons cepat.

Tak mau terus disalahkan, kepada sejumlah media, Dipo lalu melansir pernyataan resminya. Menurut dia, izin Presiden tidak relevan lagi jika belum turun lebih dari 60 hari. Kejaksaan, kata dia, bisa langsung melanjutkan penanganan perkara. Dasar hukumnya: Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung 2009.

Kejaksaan dan Sekretariat Kabinet akhirnya duduk bersama untuk mensinkronkan data itu. Menurut Basrief, kejaksaan sepakat melakukan kajian ulang perkara secara mendalam sebelum izin sampai ke meja Presiden. Ini, misalnya, dilakukan untuk perkara Wali Kota Medan Rahudman Harahap, Bupati Kolaka Buhari Matta, dan Bupati Kepulauan Mentawai Edison Seleleobaja. Izin pemeriksaan ketiganya bahkan belum dimasukkan ke Sekretariat Kabinet.

Menurut Dipo, sebelum ke meja Presiden, pihaknya melakukan gelar perkara untuk menilai kelaikan perkara. Tim yang terdiri atas lima orang dibentuk untuk tugas itu. Seorang jaksa mengatakan di tahap inilah izin kerap tersendat. Perkara sembilan kepala daerah, kata dia, dikaji ulang lebih karena tersandera izin pemeriksaan. "Bukan karena alasan lain," kata jaksa itu.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho mendesak kejaksaan menuntaskan sembilan perkara itu dan tidak tergantung izin Presiden. Ia menilai kejaksaan hanya bermain aman karena korupsi kepala daerah kerap bersentuhan dengan kekuasaan. "Jadi, jangan sampai layu sebelum berkembang."

Anton Aprianto, Tri Suharman, Edi Faisol (Batang), Firman Hidayat (Samarinda), S.G. Wibisono (Balikpapan)


Terancam Tidak Berlanjut

PERKARA korupsi sembilan kepala daerah terancam dipetieskan kejaksaan. Senjata yang bisa jadi akan dipakai kejaksaan: belum jelasnya kerugian negara dan adanya putusan bebas pelaku lain yang terlibat. Di luar itu, izin pemeriksaan ke Presiden belum juga diajukan.

Dalih Kerugian Negara Belum Jelas

1. MUHTADIN SERA’I
Jabatan:
Bupati Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan
Perkara:
Dugaan korupsi penyalahgunaan dana pembangunan pasar tradisional Muaradua Ogan Komering Ulu 2003-2004. Saat itu ia menjadi kontraktor proyek.
Kerugian negara:
Rp 7 miliar
Penetapan tersangka:
19 September 2005 oleh Kejaksaan Negeri Baturaja, Sumatera Selatan
Izin pemeriksaan:
Belum turun, diajukan pada 27 Oktober 2005
Asal partai:
Diusung beberapa partai. Salah satunya Partai Golkar

2. BAMBANG BINTORO
Jabatan:
Bupati Batang, Jawa Tengah
Perkara:
Dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran tali asih purnabakti DPRD Batang 1999-2004.
Kerugian negara:
Rp 796 juta
Penetapan tersangka:
Mei 2008 oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah
Izin pemeriksaan:
Belum turun, 20 Juni 2008
Asal partai:
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

3. BUDIMAN ARIFIN
Jabatan:
Bupati Bulungan, Kalimantan Timur
Perkara:
Dugaan korupsi pembangunan tanah untuk ruang terbuka di Kabupaten Nunukan pada 2004. Saat itu ia menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Nunukan
Kerugian negara:
Rp 7 miliar
Penetapan tersangka:
Agustus 2010 oleh Kejaksaan Negeri Nunukan
Izin pemeriksaan:
Belum turun, diajukan pada 28 Agustus 2008
Asal partai:
Partai Demokrat

4. DUDUNG B. SUPARDI
Jabatan:
Wakil Bupati Purwakarta, Jawa Barat
Perkara:
Dugaan korupsi pembayaran fiktif biaya makan minum harian jamuan 2006 di Kabupaten Purwakarta. Saat itu ia menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Purwakarta.
Kerugian negara:
Rp 12,5 miliar
Penetapan tersangka:
Juni 2011 oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
Izin pemeriksaan:
Belum turun, diajukan pada 4 Februari 2009Asal partai: Diusung Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera.

Adanya Putusan Bebas Pelaku Lain

1. AWANG FAROEK ISHAK
Jabatan:
Gubernur Kalimantan Timur
Perkara:
Dugaan korupsi penempatan hasil penjualan 5 persen saham pemerintah Kabupaten Kutai Timur pada Juni 2008. Saat itu Awang Bupati Kutai Timur.
Kerugian negara:
Rp 576 miliar
Penetapan tersangka:
6 Juli 2010 oleh Kejaksaan Agung
Izin pemeriksaan:
Belum turun, diajukan pada 20 Juli 2010
Asal partai:
Golongan Karya.

2. RUDY ARIFFIN
Jabatan:
Gubernur Kalimantan Selatan
Perkara:
Dugaan korupsi pembayaran santunan pembebasan lahan bekas Pabrik Kertas Martapura 2002 dan 2003. Saat itu ia menjabat Bupati Banjar.
Kerugian negara:
Rp 6,4 miliar
Penetapan tersangka:
16 September 2010 oleh Kejaksaan Agung
Izin pemeriksaan:
Belum turun, diajukan pada 29 Maret 2006
Asal partai:
Partai Persatuan Pembangunan

Izin Pemeriksaan Belum Diajukan

1. RAHUDMAN HARAHAP
Jabatan:
Wali Kota Medan
Perkara:
Dugaan korupsi tunjangan aparat desa Kabupaten Tapanuli Selatan 2005. Saat itu ia Sekretaris Daerah Tapanuli Selatan.
Kerugian negara:
Rp 7 miliar

Penetapan tersangka:
25 Oktober 2010 oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
Asal partai:
Partai Demokrat

2. EDISON SELELEOBAJA
Jabatan:
Bupati Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
Perkara:
Dugaan korupsi penggunaan dana provisi sumber daya hutan 2003-2004
Kerugian negara:
Rp 1,5 miliar

Penetapan tersangka:
Juni 2011 oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat
Asal partai:
Diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera

3. BUHARI MATTA
Jabatan:
Bupati Kolaka, Sulawesi Tenggara
Perkara:
Dugaan korupsi pemberian izin kuasa pertambangan PT Kolaka Mining di kawasan konservasi Pulau Lemo, Kolaka, pada 2007
Kerugian negara:
Suap Rp 7 miliar

Penetapan tersangka:
Juli 2011 oleh Kejaksaan Agung
Asal partai:
Partai Persatuan Pembangunan

Sumber: Wawancara, Kejaksaan Agung, BPK, BPKP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus