Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USIANYA 73 tahun. Rambut di kepalanya telah memutih semua. Namun Nicolas Lamardan selalu bersemangat jika membicarakan tuntutan atas uang pesangon kepada bekas perusahaannya, PT Pan Gas Nusantara. Jika dihitung dari segi waktu, sudah 13 tahun pria Maluku ini seorang diri mengurus tuntutannya.
Sebagai ketua serikat buruh PT Pan, kakek tiga cucu ini mewakili 142 temannya sesama buruh ketika menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 1998. Pengadilan tingkat pertama hingga kasasi memenangkan gugatan mereka: PT Pan Gas diwajibkan membayar gaji terakhir dan pesangon.
Eksekusi pun dilakukan. Tapi dua kali juru sita mendatangi Bank BRI, yang menyimpan uang hasil penjualan aset PT Pan, tiga kali pula ia gagal mengambil uang Rp 8 miliar. "Teman-teman saya ada yang sakit, stres, bahkan meninggal karena kasus ini tak jelas ujungnya," kata Lamardan, dua pekan lalu.
Dengan kesabaran yang seperti tak pernah habis, bekas tentara berpangkat kopral yang pernah bertempur melawan Inggris di Kalimantan Selatan pada 1967 ini bolak-balik mengadukan kasusnya ke banyak lembaga: Departemen Tenaga Kerja, Mahkamah Agung, Lembaga Ombudsman Nasional, DPR, dan awal bulan lalu untuk kedua kalinya ke Komisi Yudisial.
Semua lembaga itu menyatakan hal sama: Lamardan dan teman-temannya berhak atas uang pesangon dan tak ada alasan simpanan di BRI itu tak bisa dieksekusi.
Syahdan, pada 1992, PT Pan Gas akan diakuisisi oleh PT Pan Air Liquide dari Prancis karena utangnya yang mencapai Rp 54 miliar ke BRI macet. Pan Gas adalah perusahaan pemasok oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida ke rumah-rumah sakit. Ada 243 karyawan di perusahaan yang berkantor di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, ini.
Pada masa jayanya, Pan Gas memproduksi sekitar 17 juta meter kubik gas dan cairan yang dikemas dalam tabung. Modalnya pada 1992 mencapai US$ 14,3 juta. Karena kesulitan keuangan, Soebiakto Arifin, pemiliknya, berniat menjual perusahaannya. Pan Liquide sudah setuju membeli semua saham. Dalam perjanjian akuisisi, semua karyawan akan tetap bekerja meski pemilik saham berpindah.
Namun, tanpa alasan jelas, Pan Liquide tiba-tiba membatalkan rencana akuisisi itu. Karena terlilit utang, Pan Gas tak lagi bisa menggaji karyawan. Mereka jadi telantar. Lamardan dan teman-temannya pun menggugat perusahaannya. Dari 243, hanya 142 yang setuju menempuh jalur hukum dan memberi kuasa kepada Lamardan. "Status kami tak jelas, dipecat atau tetap bekerja," katanya.
Ketika gugatan itu masih disidangkan di pengadilan, tanpa setahu karyawan, pemilik Pan Gas bernegosiasi dengan PT Tirto Bumi Adya Tunggal, perusahaan lokal yang juga pemasok gas ke rumah sakit. Kali ini negosiasi berjalan mulus. Pada 30 Desember 1999 seluruh aset pun terjual senilai Rp 8 miliar.
Penjualan itu melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara karena BRI menyerahkan urusan kredit macet itu ke sana. Nah, oleh Kantor Lelang uang hasil penjualan itu ditransfer ke BRI sebagai angsuran utang PT Pan Gas.
Karyawan PT Pan Gas pun kian bingung. Sudah gaji macet, urusan pesangon malah kian kabur, akibat status yang tak jelas itu. Bagi Lamardan dan kawan-kawannya, status mereka jadi penting. Jika dipecat, katanya, Pan Gas harus menyelesaikan kewajibannya kepada buruh. Jika tetap bekerja, siapa majikan mereka kini.
Sebab, PT Tirto hanya mau mempekerjakan mereka sementara. "Itu pun kami yang meminta ada kesepakatan ikut bekerja," kata Lamardan. Tak semua karyawan bekerja kembali di PT Tirto. Hanya 70 orang yang diizinkan menjadi karyawan sementara. Lamardan sendiri bekerja dua tahun, hingga 2001, sebelum pensiun dan berkonsentrasi mengurus gugatannya.
Beruntung ia bisa menyekolahkan anak lelakinya hingga kuliah, meski cuma sampai semester enam. Elia Lamardan kini bekerja sebagai kepala cabang Lembaga Pendidikan Indonesia Amerika di Jakarta Utara. Anak pertamanya yang perempuan kemudian menikah. Dari dua anaknya itulah Lamardan mendapat sokongan biaya hidup dan untuk ongkos bolak-balik mengurus perkaranya ke pengadilan.
Modal Lamardan kuat. Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 2001 memutuskan bahwa mereka buruh Pan Gas, maka berhak meminta pesangon. Dinas Tenaga Kerja juga merekomendasi gugatan itu masuk ranah perdata, bukan urusan ketenagakerjaan. Masalahnya, Pan Gas sebagai perusahaan sudah tak ada lagi karena sudah dijual. "Jadi siapa yang harus memberi pesangon?" katanya.
Lamardan dan teman-temannya pun mengajukan gugatan baru menuntut pesangon kepada PT Pan Gas. Ada enam pihak yang mereka gugat, termasuk BRI. Tiga tahun bersidang, mereka selalu menang.
Hakim kasasi pada 2003 berpatokan pada Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Tenaga Kerja yang menyebut pesangon merupakan kewajiban pertama yang harus didahulukan sebelum utang lain jika perusahaan dilikuidasi.
Karena itu dalam amar putusannya hakim jelas menyatakan uang Rp 8 miliar itu harus dibayarkan sebagai pesangon. Dalam gugatannya, Lamardan menghitung kewajiban Pan Gas membayar upah sejak Maret 1992 sebesar Rp 9,6 miliar. "Jadi sebetulnya Rp 8 miliar itu juga kurang," katanya.
Pengadilan pun menunjuk juru sita untuk melaksanakan putusan itu. Pada 26 September 2006 juru sita mendatangi BRI. Hasilnya nihil karena pengambilan uang itu ditolak BRI. "Uang itu merupakan cicilan utang PT Pan Gas, bukan uang titipan untuk pesangon," kata Muhammad Ali, sekretaris perusahaan BRI, kepada Tempo.
Lamardan mengajukan lagi permintaan eksekusi kedua. Ketua Mahkamah Agung meresponsnya dan meminta pengadilan menyita uang itu. Juru sita kembali datang ke BRI pada 2007. Tapi lagi-lagi gagal. BRI tetap menganggap uang itu bukan lagi milik Pan Gas karena sudah dibayarkan sebagai angsuran. Kali itu ada alasan tambahan bahwa hasil penjualan aset sebenarnya tak sampai Rp 8 miliar.
Alhasil, Lamardan dan ratusan karyawan Pan Gas kian bingung. Tak ada lagi yang bisa menjelaskan status uang di BRI itu karena Soebiakto Arifin juga meninggal ketika proses sita sedang berjalan. "Saya tak tahu lagi harus mengadu ke mana," katanya.
BRI, yang menolak eksekusi itu, mengajukan perlawanan ke pengadilan untuk mendapat kejelasan soal status uang itu. Hingga hari ini statusnya masih di tingkat kasasi. Menurut Muhammad Ali, penolakan itu karena pengalihan aset dan transfer uang hasil penjualan terjadi sebelum gugatan karyawan Pan Gas diputus hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Lamardan menolak alasan ini. Meski putusannya belakangan, katanya, itu tak memupus kewajiban PT Pan Gas. "Penjualan itu terjadi ketika kami sedang menggugat," katanya. "Mestinya aset itu ditetapkan sedang dalam sengketa, sehingga ada perjanjian tentang kewajiban perusahaan kepada buruh."
Meski belum ada celah lagi untuk memperoleh pesangon, Lamardan tetap optimistis kasusnya mendapat titik temu. "Sudah 18 tahun saya mengurus kasus ini, tak ada alasan mundur," katanya.
Di sisa umur dan kekuatan tubuh tuanya, ia bertekad terus mengawal kasus ini. "Ini soal keadilan dan penegakan hukum."
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo