Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENJARA Rowobelang itu kini sudah mengubah Agus Condro Prayitno. Wajahnya tampak lebih segar, otot-otot tubuhnya juga lebih kencang. "Pegang, sekarang kembali keras," katanya menyodorkan tangannya kepada Tempo, yang menjenguknya pada Jumat tiga pekan lalu. Sebulan sebelumnya, tubuh pria 50 tahun itu bisa dibilang loyo. "Saya juga sekarang lupa kalau punya diabetes," katanya terkekeh.
Sejak 3 Agustus lalu, Agus memang sudah hijrah dari rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta, ke penjara Rowobelang, Batang, Jawa Tengah, kota asalnya. Berbeda dengan saat di Polda Metro Jaya, di Rowobelang ia menempati kamar cukup luas, berukuran sekitar 4 x 4 meter, yang dihuninya sendiri. Kamar yang terletak di Blok E itu juga memiliki fasilitas kamar mandi sendiri. Begitu menempati kamar tersebut, anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 dari Partai PDI Perjuangan itu langsung mengubah cat kamarnya sesuai dengan seleranya, warna hijau muda dan pink. "Kamar ini seperti hadiah untuk saya," katanya lagi.
Kepindahan Agus ke Rowobelang tentu saja disambut gembira keluarga dan teman-temannya. Setidaknya istrinya, Elia Nuraini, yang kini tak terlalu repot bila hendak menjenguk sang suami. Jarak Rowobelang ke rumah Agus di Desa Kedungrejo sekitar 2,5 kilometer. Dengan biaya tak lebih dari Rp 10 ribu, ibu tiga anak ini bisa setiap saat membesuk Agus. Ini berbeda dengan saat Agus mendekam di penjara Polda Metro. Sekali menengok sang suami, Elia mesti menyiapkan ongkos sekitar Rp 3 juta untuk transpor dan keperluan Agus di tahanan. "Itu belum termasuk biaya menginap saya di Jakarta," kata Elia.
Sejumlah teman Agus di LSM Oemah Tani menyambut kedatangan Agus di Rowobelang dengan unik. Mereka berjejer, menerima dan mengantarkan Agus ke dalam penjara dengan iringan musik rebana. Begitu Agus menjadi penghuni Rowobelang, teman-temannya silih berganti menjenguk. Acara besuk ini tak pelak berubah menjadi arena diskusi berbagai macam hal.
Divonis 15 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 16 Juni silam, mestinya Agus dipindahkan dari tahanan Polda ke penjara Cipinang atau Salemba. Tapi, sebagai peniup peluit untuk kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom, ia merasa tak aman jika masuk ke sana. Di penjara tersebut mendekam para anggota dan bekas anggota Dewan yang divonis pengadilan berkat "nyanyian" Agus, termasuk teman-temannya dari Fraksi PDI Perjuangan. "Ini soal keselamatan saya," katanya.
Memang, berkat "peluit" Agus itulah skandal suap pemilihan pejabat tinggi Bank Indonesia terbuka. Saat itu, pada Agustus 2008, Agus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi telah menerima 10 lembar cek pelawat senilai Rp 500 juta seusai pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada 2004. Sejak itu, KPK pun menelisik kasus ini. Saat itu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan ada 480 cek—setiap cek senilai Rp 50 juta—mengalir ke sekitar 30 anggota Dewan.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sependapat dengan Agus. Sebelumnya, setelah perkara rasuah ini merebak, pada September 2010, Agus meminta perlindungan LPSK. Menurut Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, tak gampang menetapkan Agus sebagai justice collaborator—pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum. LPSK berkali-kali menggelar rapat untuk membahas keinginan Agus itu. LPSK juga berkoordinasi dengan KPK. "Walau alot, akhirnya KPK sependapat dengan kami, Agus masuk kategori justice collaborator," kata Abdul Haris kepada Tempo. Menurut Abdul Haris, Agus orang pertama di Indonesia yang memperoleh predikat ini.
Lembaga Perlindungan Saksi tak hanya memantau kondisi Agus di tahanan atau sidang-sidangnya, tapi juga berkirim surat kepada hakim yang mengÂadili Agus. Lembaga ini mengingatkan posisi Agus sebagai peniup peluit. "Dasarnya Pasal 10 UU Perlindungan Saksi," kata Komisioner LPSK Bidang Perlindungan Teguh Soedarsono.
Pasal itu, ujar Teguh, menyatakan, bagi saksi yang juga sebagai tersangka, kendati bersalah, kesaksiannya bisa dipertimbangkan untuk meringankan hukumannya. "Terbukti hukuman Agus memang lebih rendah ketimbang semua terdakwa kasus ini," kata Teguh. Kendati tak berbeda jauh, hukuman Agus satu bulan lebih ringan daripada hukuman rekan-rekannya, yang divonis 16 bulan hingga hampir 3 tahun penjara. LPSK pula yang kemudian membantu Agus agar bisa dipindahkan ke penjara di kota kelahirannya, Batang.
Kasus Agus juga mendorong LPSK memperjuangkan diberikannya keistimewaan lebih konkret untuk para peniup peluit. Hasilnya, pada 19 Juli lalu, ditandatangani kesepakatan antara Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Ketua KPK Busyro Muqoddas, Jaksa Agung Basrief Arief, dan Abdul Harris Semendawai untuk memberi keistimewaan bagi whistle blower. Harifin, misalnya, berjanji mengeluarkan surat edaran agar para hakim dalam menjatuhkan vonis memperhatikan "jasa" seorang peniup peluit.
Di Rowobelang, Agus kini meleÂwati hari-harinya dengan hati lebih tenteram. Satu yang membuatnya sukacita adalah jika istri datang bersama anak bungsunya, Caca, yang duduk di kelas lima SD. Di penjara ini ia juga bisa menikmati makanan kegemarannya, ikan asin dan sambal, yang dimasak beÂramai-ramai oleh temannya sesama tahanan.
Dua pekan lalu, kegembiraan Agus bertambah karena hukumannya dikurangi satu bulan. Ini remisi untuk menyambut HUT RI ke-66. Dengan pengurangan ini, berarti pada Oktober mendatang dia sudah menjalani dua pertiga masa tahanannya. Menurut Agus, pada bulan itu ia akan mengajukan permintaan pembebasan bersyarat, yang memang menjadi haknya. "Ya, kami akan membantu dia mendapatkan pembebasan itu," kata Teguh.
Sandy Indra Pratama (Jakarta), Edi Faisol (Batang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo