MAKLUMLAH tanah, biar di dusun pun urusannya bisa bersuhu tinggi
juga. Misalnya yang baru terjadi di Desa Kelebuh, Kecamatan
Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Tanggal 19 Juli tahun lalu, suatu persetujuan jual beli tanah
seluas dua hektar antara Amak Menah dan Haji Yusup sudah
ditutup, dengan mengambil tempat di kantor kecamatan tersebut
dan salah seorang saksinya adalah camat sendiri. Disetujui bahwa
tanah seluas itu akan dibayar oleh Haji Yusup dengan padi
sebanyak 14 ton. Siapa yang membayar bea administrasi, yang 1«%
dari harga tidak dicantumkan dalam perjanjian, tapi menurut
Yusup sudah disepakati bahwa Amaklah yang akan membayar. Ada
pula klausul lain di luar perjanjian, tapi hanya disepakati
bersama secara lisan, bahwa Amak setuju bila pembayaran
diberikan kepada beberapa orang familinya yang terdekat, dalam
bentuk padi pasti. Menurut Yusup kepada Pembantu TEMPO di
Mataram ia telah melaksanakan kewajibannya dengan memberikan
padi kepada Amak Tiram sebanyak 2% ton, Amak Bah 1,925 ton, Amak
Menah 1,4 ton, Inak Ruminah 3 ton, Dim 5 kwintal, Amak Ira juga
5 kwintal dan Amak Sadirah 12 kwintal. Sisanya, katanya akan
dilunasi selesai panen mendatang ini. Jadi sampai sini tak ada
yang mencong dalam pelaksanaan kesepakatan itu.
Tapi, tanpa diketahui fihak pembeli, Amak Menah telah
menggadaikan tanah tersebut pada Sinarmin dan Amak Sadira.
Alasannya adalah karena Haji Yusup belum melunasi pembayaran.
Peristiwa ini memaksa Pengadilan Negeri Praya memberikan
perhatiannya. Amak Menah, yang dalam usia 60 tahun itu ada dalam
keadaan lumpuh, dimintai keterangan via Kepala Desa Kelebuh,
Haji Husen. Dan petinggi desa inipun pergi menemui Menah di
rumahnya yang 7 km dari kota Praya atau 37 km dari Mataram. Di
pengadilan, ternyata surat-surat yang dimiliki petani tua itu
cukup lengkap, kecuali satu: belum ada izin dari instansi
agraria. Karena itu pengadilan kemudian merasa perlu
mengeluarkan semacam perlindungan hukum sambil menantikan hasil
pemeriksaan lebih lanjut. Dengan surat ketetapan per 23 Oktober
1975, Ketua Pengadilan Negeri Praya, R. Riyanto SH ditentukan
bahwa sebidang sawah seluas satu hektar, persil no. 42 dan
sebidang tanah ladang dengan luas yang sama dan bernomor persil
437, untuk sementara berada dalam kewenangan Amak Menah, sambil
menanti keputusan lebih lanjut.
Potong Kompas
Ini tentu bukan berita bagus buat Yusup. Tapi ia tak pendek
akal. Dihubunginya Lalu Aripin, seorang yang dikenal biasa
mengurus perkara, pokrollah. Yusup menjanjikan upah lelah Rp 50
ribu pada Lalu bila ia bisa memenangkan urusan ini. Persekot Rp
10 ribupun telah pula dikeluarkan dari kocek Yusup. Tapi
sementara itu Sinarmin dan Amak Sedira, sudah mulai mengerjakan
tanah tersebut dengan menyuruh 7 orang menggarapnya. Lalu
Aripin, yang rupanya penasaran untuk segera mengantongi yang Rp
40 ribu, juga jadi penasaran untuk mengambil jalan potong
kompas, dengan menghubungi 2 orang jaksa dari Kejaksaan Negeri
Praya, masing-masing Munawar dan Mas'udin. Maka pada 18
Nopember, Jaksa Mas'udin memanggil Menah, Yusup serta salah
seorang keluarga dekat Menah, di kantor Kejaksaan, Mas'udin
mempersiapkan sebuah berita acara perdamaian katanya atas
Perintah Kepala Kejaksaan Negeri setempat dengan bubuhan
kata-kata" Untuk Keadilan di sudut kiri di atas selembar kertas
bermeterai Rp 25. Di situ dinyatakan, Nuralim alias Amak Menah
telah menyerahkan tanah sawah dan kebun pada Yusup. Pembikinan
berita acara tersebut disaksikan juga oleh Kepala Desa Kelebuh
dan Keliang Desa Pengeot, Haji Mahyudin. Ada pula tandatangan si
jaksa serta stempel Kejaksaan Negeri Praya.
Jamak-jamak
Namun entah mengapa, tiga hari setelah pembikinan berita acara
itu, Amak Menah dkk masuk lagi ke tanah-tanah tersebut: ia
dianggap telah melanggar perdamaian. Karena itu esoknya, Jaksa
Munawar dan Mas'udin datang ke Kelebuh dan menahan ke tujuh
orang yang menggarap tanah tersebut. Menah sendiri, tidak
diapa-apakan. Ramai juga pengalaman mereka itu selama dititipkan
di Lembaga Pemasyarakatan setempat untuk masa hampir satu bulan.
Jaksa Munawar, menurut keterangan Kepala Desa Husen kepada
TEMPO, pada hari itu meminjam mesin tik desa dan sempat mengetik
surat pengantar yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri
Praya dan menyuruh Kepala Desa untuk menandatanganinya. Agaknya
ini merupakan pembenaran bahwa penahanan ketujuh orang itu
adalah atas dasar surat sang Kepala Desa. Kenapa mau
ditandatangani? "Saya mau saja, sebab berdasarkan kepercayaan
saya kepada aparat negara", kata Kepala Desa kepada TEMPO.
"Saya berfikir jamak-jamak saja (maksudnya polos-polos saja)
waktu itu. Tidak mengira, bukan begitu cara yang harus
ditempuh", tambah Haji Husen. Di dalam surat yang ditandatangani
Haji Husen itu juga disebutkan bahwa ketujuh orang tersebut
telah membuat onar di desanya dan meminta alat negara untuk
turun tangan. Ini sebenarnya bertentangan dengan perasaan Haji
Husen sendiri, sebab desa yang dituainya itu termasuk desa yang
aman tenteram di Lombok Tengah. Karena itu selama ketujuh orang
itu mendekam dalam tahanan, ia telah dua kali menyurati
Kejaksaan Negeri, minta pembebasan mereka.
Bergelemak-peak
Akan Yusup, ia menyampaikan perasaan sedihnya atas semua yang
terjadi. Ia katanya tidak pernah memberi kuasa pada Lalu Aripin
untuk mengurus perkara sampai ke Kejaksaan, dan mengakibatkan
penangkapan orang-orang desa tersebut. Yang dimintanya hanya
mengurus ke Pengadilan Negeri saja. Lalu Aripin sendiri, dengan
adanya berita acara perdamaian di atas, merasa tugasnya
memenangkan Haji Yusup sudah selesai. Karena itu iapun
melayangkan sepucuk surat kepada Kepala Desa Kelebuh supaya
mengingatkan Haji Yusup akan janjinya untuk memberikan uang yang
Rp 50 ribu. Perjanjian itu rupanya dibuat di hadapan Kepala Desa
sendiri. Lalu juga mengingatkan bila Yusup tidak mau membayar
jumlah tersebut, jangan harap Yusup akan bisa memperoleh tanah
sengketa itu dan bahkan bukan mustahil ia akan memenangkan Amak
Menah pula. Maklum pokrol. "Tugasnya belum selesai", komentar
Yusup tentang peringatan Aripin ini. "Kan sampai sekarang tanah
itu belum sepenuhnya saya miliki, walaupun padi dan uang telah
banyak sya keluarkan", katanya merasa terpojok juga.
Yang jadi persoalan di Praya kini adalah kenapa sampai dua
petugas penuntut umum itu sampai ikut-ikut membikin berita acara
perdamaian tersebut, yang memang bukan masuk lingkup wewenang
mereka. Padahal Pengadilan Negeri telah pula menjatuhkan
putusan sela seperti tersebut di atas. Semua kejadian ini,
begitu dugaan orang, tentulah berkat peranan Lalu Aripin yang
rupanya punya hubungan amat intim dengan kedua jaksa tersebut.
Memang sukar menebak, sebab pada kebanyakan kesempatan, profesi
pokrol, lebih-lebih di daerah, tak lebih dari penghubung, atau
kasarnya, calo dengan pihak tertentu untuk membereskan perkara.
Taufik SH, Kepala Bidang Pengawasan pada Kejaksaan Tinggi NTB di
Mataram ata pertanyaan TEMPO tidak bersedia memberikan
keterangan secara dinas. Secara pribadi ia mengatakan belum
mengetahui persoalan itu karena laporan belum masuk ke
kantornya. Bisa dibayangkan pejabat yang agak tinggi ini tidak
bakal membenarkan tindakan Mas'udin cs. kecuali bila ada unsur
pidana dalam urusan yang sudah bergelemak peak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini