Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soeharto, punya tabungan senilai Rp 22 miliar di sejumlah bank lokal, beberapa rumah di Jalan Cendana, di Jalan Agus Salim dan Rawamangun, Jakarta. Rekening di luar negeri? "Sesen pun saya tak punya," kata Seoharto.
Peternakan sapi Tri-S di Tapos, Bogor, yang sering ia pamerkan kepada tamu-tamu negara, ternyata tidak diakui sebagai miliknya. Begitu juga kawasan Taman Mini Indonesia Indah, termasuk kompleks perumahan mewah yang semula khusus dibangun untuk keluarga Soeharto. "Itu semua bukan punya saya, tapi milik negara."
Tapi bagaimana dengan penguasaan atas "beberapa ribu hektare tanah" hampir di seluruh penjuru tanah air? Maaf, soal ini belum pernah ada jawaban yang meyakinkan.
Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), berbisnis dengan bendera Citra Lamtoro Gung Persada (CLP). Lingkup usahanya amat luas, dari pembangunan dan pengelolaan jalan tol, stasiun televisi, telekomunikasi, proyek infrastruktur, pulp dan kertas, pertanian, turisme, sampai perbankan.
Selain melalui CLP, Tutut juga punya penyertaan modal atas nama pribadi, misalnya di Bank Central Asia (BCA). Sejak masih berumur 21 tahun hingga sebelum krisis moneter, Tutut menguasai 17,5 persen saham bank swasta terbesar Indonesia itu. Tapi sejak Mei, pemerintah Indonesia mengambil oper BCA dari tangan Salim dan keluarga Soeharto.
Di antara pelbagai bisnis itu, taruhan terbesar Tutut ada di Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Perusahaan yang sudah go public ini membangun dan memegang konsesi jalan tol Cawang-Tanjungpriok-Pluit selama 30 tahun lebih. Selain itu, CMNP juga memiliki 19 persen saham di perusahaan pengelola tol Metro Manila, Filipina.
Gara-gara krisis, kekayaan Tutut merosot drastis. Harta Tutut di CMNP sebelum krisis mencapai US$ 235 juta, tapi kini cuma sekitar US$ 300 ribu. Dalam buku Asia's Wealth Club (1997), sebelum krisis kekayaan Tutut sekitar US$ 2 miliar.
Sigit Harjojudanto, berkibar melalui Arseto dan Grup Hanurata. Bidang usahanya luas, mencakup pertanian, bank, pertambangan, transportasi, telekomunikasi, industri plastik, minyak, dan infrastruktur. Melalui penyertaan modalnya di Nusamba, secara tak langsung Sigit juga menggenggam saham di Astra Internasional dan PT Freeport Indonesia.
Selain itu semua, seperti halnya Tutut, Sigit juga menguasai 17,5 persen saham di BCA. Kabarnya, bagian saham ini diperoleh sebagai "jatah", bukan melalui penyertaan modal. Mei tahun ini, Sigit berhenti sebagai Komisaris Bimantara Citra. Diperkirakan, kekayaan (sebelum krisis) Sigit mancapai US$ 450 juta.
Bambang Trihatmodjo, mendirikan Bimantara pada 1981. Bidang usahanya meliputi perbankan, petrokimia, otomotif, stasiun televisi, satelit telekomunikasi, perkapalan, perdagangan komoditi, energi, dan proyek infrastruktur. Di luar negeri, Bambang punya andil modal yang cukup besar dalam perusahaan tanker Osprey Maritime (Singapura) dan perusahaan tambang Bakhircyck (Inggris) serta First Dynasty (Kanada).
Sebelum krisis, kekayaan Bambang diperkirakan mencapai US$ 3 miliar. Tapi setelah krisis nilainya merosot begitu drastis. Nilai saham Bambang Tri di Bimantara, misalnya, sebelum krisis mencapai US$ 750 juta, kini cuma US$ 25 juta.
Siti Hediati Hariyadi (Titiek). Kapal induk yang membawahi perusahaan milik Titiek bernaung di bawah bendera Maharani Paramita. Bisnisnya termasuk lumayan beragam, dari properti, telekomunikasi, keuangan, sampai kehutanan. Titiek juga berpartner dengan Hashim Djojohadikusumo, adik suamianya, dalam bisnis pembangkit listrik dan supermarket. Di pasar modal, Titiek berkibar dalam Bhakti Investama (perusahaan sekuritas) dan Maharani Intifinance (lembaga pembiayaan).
Tak banyak yang mampu menaksir isi kantong Titiek. Tapi sejumlah analis luar negeri memperkirakaan, sebelum krisis, "lemari duit" Titiek berisi US$ 200 juta.
Hutomo Mandala Putra (Tommy). Pendiri sekaligus pemimpin Grup Humpuss. Ladang bisnisnya dari otomotif, penerbangan, transportasi, industri pertanian, jalan tol, konstruksi, minyak, gas, komoditi, industri pengolahan, media, petrokimia, sampai kayu. Di bursa Jakarta, Tommy mencatatkan satu perusahaannya, PT Humpuss Intermoda Transportasi.
Sebagaimana Bambang Tri, bisnis Tommy kegencet berat gara-gara Soeharto jatuh. Bukan cuma proyek Timor sebagai mobil nasional yang dibabat Dana Moneter Internasional (IMF), tapi juga sumber duit Tommy di Pertamina. Kontrak-kontrak impor minyak atau sewa tanker, yang semula amat menguntungkan Tommy, kini digulung habis oleh semangat reformasi. Sebelum krisis, diperkirakan kekayaan Tommy mencapai US$ 600 juta.
Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek). Tak banyak yang tahu sepak terjang bisnis anak bungsu Soeharto ini. Sarjana statistik Institut Pertanian Bogor ini banyak dikenal sebagai pengelola Taman Buah Unggul Mekarsari. Padahal, rentang bisnisnya jauh lebih besar. Mamiek menguasai saham Manggala Krida Yudha, yang berencana membangun Kota Pantai Jakarta dengan melakukan reklamasi besar-besaran di lepas pantai Jakarta.
Disebut-sebut, Mamiek juga memiliki andil modal dalam Dwipangga Sakti. Setelah sempat memakelari perdagangan batu bara dari Bukitasam, Dwipangga juga ketiban rezeki ketika ditunjuk sebagai importir gula di luar Bulog. Dwipangga juga pernah mengajukan proyek pertambangan batu bara di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, yang penuh dengan anggrek hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo