Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Malas perlu alasan jitu

Perangai manusia untuk mengumpulkan kekayaan dan berupaya mengejarnya memang khas. mereka mengha- biskan waktu untuk bekerja. di kalangan hewan, ga- ya hidup malas bukan tanpa berkeruncingan.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manusia mengumpulkan kekayaan, dan mengejarnya. Di kalangan hewan, gaya hidup malas bukan tanpa berkeruncingan. BAJING merupakan contoh makhluk kurang elok. Maka, manusia yang punya perilaku rakus, misalnya, lazim dijuluki bajingan. Pandangan tradisional ini mengalami koreksi berat karena para ahli di Amerika Serikat kini menyuguhkan hasil penelitian yang membuka sudut pandang baru di sekitar tabiat aneka satwa, termasuk si bajing, seperti disiarkan harian The New York Times, akhir Juli lalu. Dari penelitian terbukti, bajing hanya mengumpulkan makanan. Manusia berkejaran dengan tuntutan, angan-angan, dan aneka keinginan. Lihat, misalnya, ada kebutuhan bayar rekening ini dan itu tiap bulan. Atau, untuk mengisi pot cadangan pada hari pensiun. Bahkan, ada yang merasa koleksi piringan hitam sudah kuno, jadi ia harus ikut mode: mengganti dengan piringan sistem laser, dan seterusnya. "Di kalangan primata lain, jika hari itu makannya terpenuhi, ia tidak perlu lagi gusrak-gusrak, tapi cukup bersantai saja," kata Dr. Frans de Waal dari Universitas Emory di Atlanta. "Jadi, memang khas perangai manusialah untuk mengumpulkan kekayaan, dan berupaya mengejarnya, lagi dan lagi," ujar ahli primatologi ini. Masih pada manusia, bisa jadi ada harinya gairah bekerja merosot. Namun, di balik itu orang lalu memaksa diri melakukan kegiatan lantaran pertimbangan tanggung jawab sosial. Di kalangan manusia umumnya mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja meski tingkat kerajinannya beragam, sesuai dengan latar kebudayaan masing-masing. Sementara itu, sikap santai -- ini kalau boleh disebut begitu -- di kalangan satwa merupakan fokus baru peneliti di AS dewasa ini, yakni ahli biologi, ilmu hewan (zoologist), dan primata. "Dahulu ahli biologi memfokuskan penelitian pada gerakan satwa mencari makan, atau perilaku mereka kawin. Kini, dikhawatirkan justru mengapa satwa-satwa bermalasan," kata Dr. Joan Herbers. Ahli ilmu hewan di Universitas Vermont ini menulis, "Malas itu nyaris universal." Itu suatu studi perbandingan sifat malas di tengah satwa. Menurut dia, dengan mempelajari kapan dan mengapa sejenis satwa berleha-leha, para ilmuwan diharap dapat memahami secara jitu kunci aneka misteri ekologi. Dari penelitian, terungkap pula bahwa semut atau lebah yang selama ini dianggap sebagai pekerja keras yang tak kenal lelah. Itu adalah kesan yang ditimbulkan secara kolektif. Namun, begitu diamati secara individual, seekor demi seekor disigi, tampak jenis kesibukannya yang hanya sekadar membunuh waktu, yakni selonjoran, atau bergolek-golek, sambil tidur-tidur ayam. Atau, seenaknya dalam lingkaran tidak berketentuan. "Kesimpulannya, mereka memang tidak banyak bekerja," ujar Dr. Herbers. Ini mungkin mengejutkan karena selama ini semut secara luas dianggap makhluk teladan paling rajin dan kompak sehingga ada yang menjadikannya maskot dalam lambang produktivitas. Namun, kesimpulan Herbers disangsikan ahli lain, Dr. Paul Sherman dari Universitas Cornell di Ithaca. "Kalau melihat hewan yang sepintas bermalas-malas, janganlah buru-buru mencap mereka membuang waktu saja," ujar ahli biologi ini. Jangankan pada yang sekadar rebahan sambil lelap ayam, bahkan pada satwa yang tampak tidur nyenyak pun tak dapat diberi vonis sedang bermalasan. Sherman membuktikannya terhadap sekawanan tikus tanah yang kerjanya seakan tidur melulu. Iseng-iseng, dimasukkannya seekor ular ke lubang itu. Di luar dugaannya, bos tikus (yang berperawakan paling bongsor) dengan sigap bangkit menerjang si ular. "Tidur bagi mereka suatu cara memelihara kewaspadaan," katanya. Paham kewaspadaan ini pula yang dianut semut, ataupun lebah, ketika tampak bermalasan. Mereka boleh jadi menghemat energi untuk tugas besar. Misalnya, untuk menemukan sumber pangan baru yang berlimpah, mereka memerlukan kerja lembur untuk panen. Menurut studi mutakhir, adalah suatu rekayasa alam di kalangan serangga yang tak memungkinkan memboroskan energinya terhadap kegiatan yang tidak kritis. "Persis seperti batere," kata Dr. Peter Nonacs, yang mempelajari masyarakat semut bersama Dr. Edward Wilson di Universitas Harvard. "Semut mempunyai energi pas bandrol, yang bisa digunakan, cepat, atau lamban. Makin keras mereka bekerja, kian cepat mereka mati," katanya. Dari pengetahuan ini, Nonacs menaruh simpati ketika menemukan semut sedang berleha-leha. Semut, atau lebah, dalam sehari aktif bekerja sekitar dua jam. Lebih kurang mirip jatah sibuknya singa yang dua atau tiga jam sehari. Sisanya, singa berbaring 12 jam penuh tanpa beringsut seinci pun untuk menghemat tenaga. Perawakan tubuhnya yang bergelambir membutuhkan 35 kg daging untuk sekali santap. Sebagai pemburu, mungkin ia memperolehnya jika kesigapannya terjaga. Begitu pula monyet. Untuk sukses di belantara yang tak ramah, 3/4 harinya dihabiskan dengan bermalas-malas. Itu belum ditotal dengan jatah tidur pada waktu malam yang mencapai 12 jam penuh, seperti dibuktikan De Wall dan rekannya Dr. Karen Stryer dalam suatu penelitian di Brasil. Mereka ingin menyaksikan cara monyet mengawali harinya, lalu menunggu sejak pagi di satu tempat strategis. Matahari makin tinggi, tetapi yang diintip belum muncul. "Tunggu punya tunggu, sampai pukul 11 siang, eh, monyet-monyet itu masih mendengkur. Pada jam itu rasanya kantuk saya juga kumat," cerita De Wall. Toh dibandingkan dengan tabiat malas pada manusia, temuan para ahli biologi evolusioner tadi menunjukkan bahwa di kalangan hewan "gaya hidup" bermalas-malas bukanlah perilaku yang tak berkeruncingan, melainkan tingkah itu alasannya memang jitu. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus