Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Harga-menghargai lingkungan

Korban pencemaran lingkungan akibat buangan limbah adalah masyarakat. pencemaran ini menjadi beban. pemerintah dapat menerapkan sistem insentif pada industri.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harga-Menghargai Lingkungan A. ZEN UMAR PURBA* PERNYATAAN Ketua IGGI J.P. Pronk, bahwa Indonesia telah menangani isu lingkungan secara serius, tampaknya malah menambah semangat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup kita. Sewaktu membuka Seminar Nasional Pengaturan tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut di Bandung, 29 Juli lalu, Menteri Emil Salim mengimbau aparat penegak hukum agar mengubah orientasi dasar penuntutan. Rupanya, ia sangat tidak bahagia dengan mentoknya beberapa kasus di pengadilan. Dalam wawancara TVRI 30 Juli, Emil Salim bicara mengenai biaya pengelolaan lingkungan yang seharusnya ditanggung oleh industri. Memang, biaya itu kedengarannya mahal, disebutnya contoh Rp 8 milyar. Tapi apa arti jumlah itu dibanding dengan total investasi yang mungkin Rp 800 milyar. Pada intinya, Menteri Emil Salim bicara soal memasukkan (internalize) biaya penggunaan sumber daya alam sebagai komponen biaya produksi. Lingkungan hidup yang baik dan sehat, lingkungan ideal seperti digambarkan UU tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup 1982 (lazim disebut UULH) memang ada harganya. Limbah cair dari industri, misalnya, yang mengalir ke sungai, mesti dimurnikan dengan instrumen khusus. Asap yang mengebul dari cerobong pabrik harus dipasangi alat agar daya cemarnya tidak melampaui ambang batas. Susahnya, secara tradisional orang merasa tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk mendapatkan udara dan air yang bersih (walaupun di kota orang sudah rela membayar rekening air PAM). Selain itu, dampak pencemaran lingkungan baru terasa setelah jangka waktu yang panjang. Akibat sistem yang umumnya berlaku sekarang, korban pencemaran lingkungan akibat buangan limbah adalah masyarakat pada umumnya. Pencemaran ini menjadi beban masyarakat (social costs) pada umumnya. Dengan internalisasi biaya yang selama ini ditanggung oleh masyarakat, pencemar ikut membayar sesuai dengan polluters pay principle. Tapi industri tentu tidak mau rugi. Komponen biaya "tambahan" ini pada akhirnya akan bermuara pada kenaikan harga produk yang dihasilkan. Toh kaum environmentalists menilai ini masih mending. Sebab, hanya anggota masyarakat tertentu, yaitu pembeli produk yang akan memikul harga lingkungan itu. Tapi para pembeli itu, walaupun hanya segelintir dibanding keseluruhan anggota masyarakat, dalam hal tertentu punya suara yang vokal atas kenaikan harga. Ada jalan tengah dan di sini peranan Pemerintah diperlukan. Industri bisa diberi insentif atau disinsentif, yang wujudnya dapat berbagai rupa: perpajakan, pungutan (charges), biaya perizinan, denda, dan sebagainya, yang semuanya masuk dalam kelompok economic approach. Dalam wawancara TVRI tersebut Emil menyinggung soal insentif. Hal yang sama juga ada dibicarakan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum, dan Pembangunan, bekerja sama dengan Pertamina di atas. Ini menarik, karena selama ini sistem itu seperti terlupakan, atau memang belum berani memilih cara ini. Pendekatan pengelolaan lingkungan sampai kini ditekankan pada regulatory approach saja. Pokoknya, kalau satu pabrik mencemari, ia harus dihukum. Padahal, kepada tiap-tiap industri dapat ditawarkan pilihan dengan pemberian insentif, jika dalam proses produksinya ia bisa efisien dan "rapi" sehingga kadar cemar limbah produksinya amat minim. Sistem regulatory memang kurang memperhatikan kapasitas tiap-tiap industri. Konsep economic approach sebetulnya telah diamanatkan oleh UULH, yang antara lain menyatakan: "Pemerintah menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan . . ." (pasal 8). Dorongan tersebut dapat dilakukan dalam bidang perpajakan sebagai insentif, dan sebaliknya disinsentif untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran. UULH juga menyebut soal penghargaan. Bentuk penghargaan telah mulai dijalankan. Namun, insentif dan disinsentif belum terdengar realisasinya. Ini soal pilihan. Dan pilihan hanya dapat ditentukan apabila telah ada kesepakatan tentang peringkat atau kadar kepentingan dalam wujud kongkret. Peringkat atau kadar kepentingan itu berada di antara kepentingan-kepentingan nasional yang lain. Misalnya sampai batas mana kadar kepentingan ekologis dapat diperjuangkan sehingga ia masuk dalam struktur pembiayaan pembangunan ekonomi saat sekarang. Kalau Menteri Emil sudah mulai mencanangkan tentang insentif, dapatkah industri berharap realisasinya dalam waktu dekat? Umpamanya, jika untuk kegiatan tertentu atau sektor industri yang bernilai strategis saat ini PPN impor atas barang modal dinyatakan ditanggung Pemerintah, dapatkah hal serupa secara mutatis mutandis atau secara parsial ditetapkan atas pemasukan barang-barang untuk pengelolaan lingkungan? Juga dapatkah peralatan pengelolaan lingkungan ini dibebaskan bea masuk (import duties), seandainya fabrikan yang memerlukannya tidak dalam kapasitas perusahaan yang mendapatkan fasilitas PT PMA-PMDN? Sepakatkah Pemerintah untuk secara nyata menghargai industri yang benar-benar efisien dalam mengelola lingkungan dengan cara insentif seperti ini? * Penulis adalah anggota Tim Perancang UULH 1982 dan Peraturan Pemerintah tentang Amdal 1986. Kini konsultan hukum pada "Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus