DENGAN tenang Charlie Brooks Jr melahap steak dengan kentang
goreng yang dihidangkan. Perlahan-lahan pula ia mengunyah buah
peach kesenangannya. Beberapa menit kemudian, barangkali sebelum
seluruh makanan itu dicerna halus dalam perutnya, Brooks menemui
ajalnya di ujung suntikan maut para petugas penjara Hunstville,
Texas, Amerika Serikat. Selasa pagi pekan lalu itu, Brooks
tercatat sebagai manusia pertama yang menjalani hukuman mati
dengan suntikan.
Pagi sehari sebelumnya, Brooks, 40 tahun, dipindahkan dari
penjara Ellis - sejauh 27 km--ke Hunstville. Berpakaian kemeja
putih dan celana putih Brooks terhukum mati karena membunuh. Ia
rupanya tidak banyak tingkah dan pasrah. Hanya di saat-saat
terakhir, selain makanan kesukaannya, ia meminta didampingi
kekasihnya, seorang perawat, Vanessa Sapp, 27 tahun. "Aku cinta
padamu," ucapan terakhir Brooks kepada Vanessa sebelum
membaringkan tubuhnya di tempat penyuntikan maut.
Di pembaringan Brooks masih sempat mengucapkan dua kalimah
syahadat. "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.
Dalam kebenaran kitab kembali kepada-Nya," ucap Brooks sambil
menggulung lengan bajunya untuk memudahkan penyuntikan. Di
penjara memang Brooks sudah menyatakan bertobat dan masuk Islam,
berkat bimbingan dua mubaligh Islam yang rajin mengunungi dia.
Suntikan pertama ke lengan Brook berupa obat tidur Sodium
Tbiopental yang biasa digunakan dokter nnlli pembiusan.
Suntikan yang dimaksudkan agar tidak merasakan sakit ini
diberikan dalam dosis tinggi. Brooks segera tidak sadarkan diri.
Suntikan kedua menyusul, yaitu pavulon, untuk mengendorkan semua
otot-otot lelaki negro itu juga dalam dosis tinggi. Proses itu
diakhiri dengan suntikan potassium chloride yang berfungsi
menghentikan jantung (lihat box). Tujuh menit kemudian, dua
orang dokter yang memeriksanya menyaukan Brooks telah tiada. "Ia
meninggal dengan tenang," ujar petugas penjara, Darrel White,
salah seorang saksi penyuntikan maut itu.
Brooks dijatuhi hukuman mati karena tuduhan pembunuhan terhadap
David Gregory, 14 Desember 1976. Ia kelihatan bersama-sama
dengan Gregory sebelum orang itu menemui ajalnya. Tetapi selain
Brooks, juga ada lainnya, Louders, yang semula juga dijatuhi
hukuman mati. Tetapi dalam peradilan banding, hukuman untuk
Louders diubah menjadi 40 tahun. Sementara permohonan
banding'Brooks tidak dikabulkan. Mahkamah Agung tetap memutuskan
hukuman mati untuk Brooks.
Para pembela Brooks, merasa putusan untuk kliennya itu tidak
adil. Sebab selama 6 tahun sejak kematian Gregory, tidak bisa
dibuktikan di pengadilan, siapa di antara Brooks dan Louders
yang benar-benar menembak Gregory hingga korban meninggal.
Pelaksanaan hukuman mati terhadap Brooks itu merupakan yang
pertama kalinya pula dilakukan di Texas semenjak 1964. Brooks
pulalah orang negro pertama dari 6 terpidana mati yang menjalani
hukuman mati di Amerika Serikat, sejak pelaksanaan hukuman mati
dihidupkan kembali tahun 1976.
Seperti juga di negara-negara lain, pertentangan pendapat yang
pro dan kontra hukuman mati - terutama untuk pidana pembunuhan
berencana -juga melanda Amerika Serikat. Sikap masyarakat
Amerika sendiri ternyata berkembang ke arah tidak setuju hukuman
mati. Berbagai lembaga poll (pengumpulan pendapat umum)
melakukan pengumpulan pendapat berkali-kali. Pada tahun 1966,
didapat angka terendah untuk orang yang ingin hukuman mati
dipertahankan (38%), dibanding tahun 1953 (68%). Salah satu
alasan pihak yang menolak, termasuk beberapa hakim agung negara
federal, adalah kejamnya pelaksanaan hukuman mati itu.
Sebab itu, pelaksanaan hukuman mati sejak tahun 1966
ditangguhkan untuk diuji dengan konstitusi Amerika Serikat.
Selama 10 tahun, menurut Gregory Churchil, Dosen Perbandingan
Hukum Amerika di FHUI, banyak terpidana mati yang antre menunggu
keputusan Mahkamah Agung. Akhirnya Mahkamah Agung membenarkan
pelaksanaan hukuman mati karena dianggap tidak bertentangan
dengan konstitusi Amerika. Mahkamah Agung tidak melihat hukuman
mati itu sebagai kejam, kata Churchil, karena hukuman semacam
itu sudah ada sejak dulu kala dan juga dibenarkan agama.
"Satu-satunya syarat Mahkamah Agung adalah asal hukuman itu
dilaksanakan dengan adil," ujar Churchil.
Sebab sebelum ada penundaan pelaksanaan hukuman mati itu, terasa
ada diskriminasi. Sebab kebanyakan orang yang menemui ajalnya di
kursi listrik, atau di kamar gas, adalah golongan ekonomi lemah.
Kebetulan golongan tak mampu ini mayoritas orang-orang Negro.
Terkesan seakan-akan pelaksanaan hukuman mati itu hanya untuk
orang Negro.
Selain pro dan kontra hukuman mati, menurut Churchil,
negara-negara bagian di Amerika Serikat juga berdebat tentang
cara pelaksanaan hukuman mati y ang dianggap wajar. Ada negara
bagian memakai kursi listrik ada pula yang memakai kamar gas,
tapi juga ada yang menggantung terpidana mati. "Masing-masing
negara bagian dengan alasan masing-masing. Yang penting dicari
cara kematian yang bisa lebih cepat dihitung enam menit." ujar
Churchil. Dulu kebanyakan negara bagian memilih cara dengan
kursi listrik.
Perkembangan baru terjadi pula. Empat negara bagian di Amerika
Serikat sekarang ini menetapkan cara suntikan untuk melaksanakan
hukuman mati, yaitu Texas, Oklahoma, New Mexico da Idaho.
Charlie Brooks rupanya mendapat giliran pertama.
Di belahan dunia lain cara penghukuman mati juga masih menjadi
persoalan. Ada yang melakukan dengan tali gantungan seperti
Singapura, dipancung seperti di Arab audi dan Pakistan, atau
dengan regu tembak seperti di Indonesia. Mungkin suatu ketika
semua orang sepakat cara suntikan yang terlaik, karena lebih
cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini