NAMANYA Sudarto, 11 tahun, anak tunanetra. Di kelas 3 B SDN
Kebon kacang 01, Jakarta Pusat, ia terpandai, dikagum semua
temannya yang berpanca indera lengkap. "Angka matematika saya
sering 9 atau 10," katanya polos.
Dan Sudarto tidak sendirian. Di Jawa Barat ada sekitar.96 siswa
tunanetra yang bersekolah di SDN biasa. Ternyata mereka tidak
mengecewakan. Juga sejumlah siswa tunanetra di SDN lainnya di
Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta (sejak dua tahun belakangan
ini. Bahkan di antara mereka yang di Jawa Barat, 12 berhasil
lulus dan diterima di SMP.
Itulah proyek perintis sekolah terpadu, yang sekaligus mendidik
anak normal dan anak tunanetra. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) memulai proyek ini
empat tahun yang lalu, supaya anak tunanetra tidak dikucilkan
pendidikannya.
Idenya datang dati Helen Keller International Incorporated.
Badan sosial berpusat di AS ini terutama menyantuni para
tunanetra. Badan ini pula yang menanggung sebagian biaya proyek
perintisan SD terpadu itu.
Tentu saja SD terpadu membutuhkan fasilitas hhusus. Selain mesin
ketik huruf Braille, riglets (alat untuk menulis huruf Braille),
dan buku-buku pelajaran dan bacaan dalam huruf Braille, juga
diperlukan seorang pembimbing bagi siswa tunanetra. Guru
Pembimbing Khusus (GPK) demikian sebutannya, adalah lulusan
Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa.
Guru SD terpadu, di samping menulis di papan tulis, diharuskan
lebih banyak menjelaskan pelajaran dengan ceramah. Toh beberapa
pelajaran seperti olahraga dan menggambar tetap sulit diikuti
slswa tunanetra.
Namun kedua pelajaran itu tidak ditinggalkan sama sekali. Asma,
teman sekelas Sudarto, di SDN Kebonkacang itu misalnya. Selalu
ia ikut bersenam satu-satunya pelajaran olahraga yang dirasa
"aman" diikutinya. Sang guru memberi petunjuk dengan meraba
anggota tubuh Asma yang harus digerakkan. Asma memang takut
berlari-lari, "takut menabrak," katanya.
Bahkan di SDN Lengkong Kecil 1, Bandung, siswa tunanetra berani
ikut bersepakbola. Di situ fasilitas memang agak memadai,
termasuk bola yang bekelintingan bagi si buta.
Kekurangan dalam satu hal menumbuhkan kelebihan dalam hal lain.
Karena siswa tunanetra hanya bisa mendengarkan bila guru
menjelaskan pelajaran, konsentrasinya penuh. Baru setelah
selesai pelajaran, di waktu istirahat, siswa tunanetra menuju
ruang khusus, tempat ia mencatat pelajaran yang baru diterimanya
dalam huruf Braille.
Mereka tidak hanya mendengarkan tapi juga berpikir. Kadangkala,
waktu guru menerangkan, seorang siswa tunanetra unjuk jari,
menanyakan hal yang kurang jelas, tutur Nurdin P. Amama, Kepala
SDN Kebonkacang 01 itu.
Ada alasannya mengapa Jawa Barat dipilih sebagai proyek
perintisan SD terpadu. Di Bandung, misalnya, Panti Asuhan
Tunanetra Wyata Guna memiliki percetakan huruf Braille. Di kota
itu ada juga perpustakaan Braille. Hingga pengiriman buku
pelajaran dan bacaan dalam huruf Braille untuk SD terpadu itu
mudah dilaksanakan.
Tapi percetakan Braille di Bandung, satu-satunya di Indonesia,
masih pula terbatas kemampuannya. Sembilan SD terpadu di Jakarta
ternyau kekurangan buku bacaan. "Buku pelajarannya memang
lengkap," kata Pak Nurdin dari SDN Kebonkacang itu.
Umumnya siswa tunanetra di Jakarta, Yogya dan Surabaya masih
kurang berpengalaman membaca, meskipun terbukti mereka bisa
berprestasi baik dalam kelas. Tentu ini karena kurang bahan
bacaan. SD terpadu ini belum jelas apakah akan dilanjutkan dan
dikembangkan. Memang sudah 12 lulusan SD terpadu di Jawa Barat
diterima di antara lain SMPN III, Bandung. "Itu bukti bahwa
pendidikan terpadu bisa dilanjutkan, bahkan sampai tingkat
perguruan tinggi," kata Kadarsah, Ketua Unit Pelaksana Teknis SD
Terpadu Jawa Barat. Malah sarjana yang tunanetra di Indonesia
sudah ada. Minimal ada tiga lulusan IKIP Bandung, satu lulusan
Unpad, satu lulusan IKIP Satyawacana (Salatiga) dan satu lulusan
Undip (TEMPO 24November 1979).
Dan SD terpadu jelas menumbuhkan kepercayaan diri pada si buta.
Contoh: Asma lagi yang berkata: "Saya senang bisa sekolah
bersama teman-teman yang normal." Dia pun lantas merasa tidak
tercecer. Anak ketiga dari enam bersaudara ini, Asma di rumah
sering membantu ibunya, tukang cuci.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi, slswa tunanetra memang
memerlukan pembantu khusus. Misalnya untuk membacakan buku teks,
surat kabar dan majalah. Juga diperlukan toleransi sekolah.
Menurut Bambang Burhan, Wakil Kepala SMAN III di Semarang, di
sekolahnya pernah dididik dua tunanetra: Tjahjaningsih lulus
1967, dan Otje Soedioto lulus 1972. Di situ untuk pelajaran
tertentu guru harus menjelaskan berkali-kali dengan alat-alat
peraga pula.
Tapi bidang studi mereka, betapapun cerdasnya, terbatas.
Tjahjaningsih kini menjadi guru musik. Dan Otje Soedioto,
sarjana hukum lulusan Undip, kini bekerja di suatu surat kabar
Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini