Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Si Buta Dari SD Terpadu

Proyek perintis SD terpadu, mendidik penggabungan anak normal dan anak tunanetra, dimulai 4 tahun yang lalu oleh bp3k. Ide dari Helen Keller Internasional inc (AS). (pdk)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Sudarto, 11 tahun, anak tunanetra. Di kelas 3 B SDN Kebon kacang 01, Jakarta Pusat, ia terpandai, dikagum semua temannya yang berpanca indera lengkap. "Angka matematika saya sering 9 atau 10," katanya polos. Dan Sudarto tidak sendirian. Di Jawa Barat ada sekitar.96 siswa tunanetra yang bersekolah di SDN biasa. Ternyata mereka tidak mengecewakan. Juga sejumlah siswa tunanetra di SDN lainnya di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta (sejak dua tahun belakangan ini. Bahkan di antara mereka yang di Jawa Barat, 12 berhasil lulus dan diterima di SMP. Itulah proyek perintis sekolah terpadu, yang sekaligus mendidik anak normal dan anak tunanetra. Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) memulai proyek ini empat tahun yang lalu, supaya anak tunanetra tidak dikucilkan pendidikannya. Idenya datang dati Helen Keller International Incorporated. Badan sosial berpusat di AS ini terutama menyantuni para tunanetra. Badan ini pula yang menanggung sebagian biaya proyek perintisan SD terpadu itu. Tentu saja SD terpadu membutuhkan fasilitas hhusus. Selain mesin ketik huruf Braille, riglets (alat untuk menulis huruf Braille), dan buku-buku pelajaran dan bacaan dalam huruf Braille, juga diperlukan seorang pembimbing bagi siswa tunanetra. Guru Pembimbing Khusus (GPK) demikian sebutannya, adalah lulusan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa. Guru SD terpadu, di samping menulis di papan tulis, diharuskan lebih banyak menjelaskan pelajaran dengan ceramah. Toh beberapa pelajaran seperti olahraga dan menggambar tetap sulit diikuti slswa tunanetra. Namun kedua pelajaran itu tidak ditinggalkan sama sekali. Asma, teman sekelas Sudarto, di SDN Kebonkacang itu misalnya. Selalu ia ikut bersenam satu-satunya pelajaran olahraga yang dirasa "aman" diikutinya. Sang guru memberi petunjuk dengan meraba anggota tubuh Asma yang harus digerakkan. Asma memang takut berlari-lari, "takut menabrak," katanya. Bahkan di SDN Lengkong Kecil 1, Bandung, siswa tunanetra berani ikut bersepakbola. Di situ fasilitas memang agak memadai, termasuk bola yang bekelintingan bagi si buta. Kekurangan dalam satu hal menumbuhkan kelebihan dalam hal lain. Karena siswa tunanetra hanya bisa mendengarkan bila guru menjelaskan pelajaran, konsentrasinya penuh. Baru setelah selesai pelajaran, di waktu istirahat, siswa tunanetra menuju ruang khusus, tempat ia mencatat pelajaran yang baru diterimanya dalam huruf Braille. Mereka tidak hanya mendengarkan tapi juga berpikir. Kadangkala, waktu guru menerangkan, seorang siswa tunanetra unjuk jari, menanyakan hal yang kurang jelas, tutur Nurdin P. Amama, Kepala SDN Kebonkacang 01 itu. Ada alasannya mengapa Jawa Barat dipilih sebagai proyek perintisan SD terpadu. Di Bandung, misalnya, Panti Asuhan Tunanetra Wyata Guna memiliki percetakan huruf Braille. Di kota itu ada juga perpustakaan Braille. Hingga pengiriman buku pelajaran dan bacaan dalam huruf Braille untuk SD terpadu itu mudah dilaksanakan. Tapi percetakan Braille di Bandung, satu-satunya di Indonesia, masih pula terbatas kemampuannya. Sembilan SD terpadu di Jakarta ternyau kekurangan buku bacaan. "Buku pelajarannya memang lengkap," kata Pak Nurdin dari SDN Kebonkacang itu. Umumnya siswa tunanetra di Jakarta, Yogya dan Surabaya masih kurang berpengalaman membaca, meskipun terbukti mereka bisa berprestasi baik dalam kelas. Tentu ini karena kurang bahan bacaan. SD terpadu ini belum jelas apakah akan dilanjutkan dan dikembangkan. Memang sudah 12 lulusan SD terpadu di Jawa Barat diterima di antara lain SMPN III, Bandung. "Itu bukti bahwa pendidikan terpadu bisa dilanjutkan, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi," kata Kadarsah, Ketua Unit Pelaksana Teknis SD Terpadu Jawa Barat. Malah sarjana yang tunanetra di Indonesia sudah ada. Minimal ada tiga lulusan IKIP Bandung, satu lulusan Unpad, satu lulusan IKIP Satyawacana (Salatiga) dan satu lulusan Undip (TEMPO 24November 1979). Dan SD terpadu jelas menumbuhkan kepercayaan diri pada si buta. Contoh: Asma lagi yang berkata: "Saya senang bisa sekolah bersama teman-teman yang normal." Dia pun lantas merasa tidak tercecer. Anak ketiga dari enam bersaudara ini, Asma di rumah sering membantu ibunya, tukang cuci. Untuk pendidikan yang lebih tinggi, slswa tunanetra memang memerlukan pembantu khusus. Misalnya untuk membacakan buku teks, surat kabar dan majalah. Juga diperlukan toleransi sekolah. Menurut Bambang Burhan, Wakil Kepala SMAN III di Semarang, di sekolahnya pernah dididik dua tunanetra: Tjahjaningsih lulus 1967, dan Otje Soedioto lulus 1972. Di situ untuk pelajaran tertentu guru harus menjelaskan berkali-kali dengan alat-alat peraga pula. Tapi bidang studi mereka, betapapun cerdasnya, terbatas. Tjahjaningsih kini menjadi guru musik. Dan Otje Soedioto, sarjana hukum lulusan Undip, kini bekerja di suatu surat kabar Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus