BAGAI binatang buruan, massa mcngejar Mulyanto. Ingar dan garang, dengan batu, kayu, serta cangkul di tangan, mereka memburu dia yang lari ke arah barat. Kaki lelaki 54 tahun itu terjerat tanaman kacang yang menjalar di pematang. Ia terjerembab. Plaaak. Ayunan cangkul menghantam tempurung kepala Mulanto. Di siang terik Rabu lalu itu, Kepala Desa Clangkring, Plumpang, Tuban, Jawa Timur, hidupnya berakhir. Sehari sebelum kejadian, sekitar 25 orang sedang mencari ikan di kolam desa yang hampir kering itu. Penduduk boleh memancingnya kalau membayar Rp 300. Sebulan yang lewat, ikan tambra dan taes -- yang bibitnya disumbang Yayasan Dana Gotong Royong, lalu ditabur di kolam 2 hektar itu -- sudah dipanen. Penduduk menyangka mereka boleh mengambil lele atau kutuk yang tersisa di situ. Ternyata, kepala desa melarang mereka. Di balai desa, besoknya, belasan orang memenuhi panggilan untuk mendengar maklumat hukuman: pencari ikan harus membayar denda untuk desa -- berupa bahan bangunan. Hadirin bergumam, tak setuju. Mulyanto menantang, "Siapa yang tak setuju pada hukuman ini?" Serempak hadirin, yang menonjolkan Karso di tengah mereka, menjawab, "Karso, Pak!" Mulyanto mcngumpat dan mengangkat kursi panjang hendak memukul Karso. Karso berkelit. Ia lari, dan yang lain ikut kabur. Dua jam kemudian massa telah berkelompok. Mereka mencari kepala desa itu. Dan jumpa di sawahnya ketika dia sedang mengurus tanaman semangka. Warsio, penduduk di situ, bertanya mengapa Karso diperlakukan semacam itu. Warsio pula yang pertama melayangkan pukulannya, diiringi sorak sorai massa. Pak Petinggi -- begitu warga menyebut Mulyanto -- merasa terancam, lalu lari. Terjadilah peristiwa seperti sudah disebut di awal kisah. Tapi penduduk menyebut nahas itu bagai nggrapyak luak alias memburu musang. "Ini direncanakan," ujar Sugeng. Guru SD itu menantu Mulyanto. Ketika jenazah Mulyanto dimakamkan, hampir tak ada yang datang, kecuali keluarga dan para pamong. Keberhasilan Mulyanto membangun desa sejak 1966 dianggap tak berarti. Mereka lebih terkesan pada amarah dan mudahnya ia main gampar. "Anak saya pernah dibenturkan kepalanya oleh Pak Petinggi, gara-gara mencabut pohon turi," ujar Sadi, seorang penduduk. Warsio, Karso, Karno, Lasmono, Darman, dan dua yang lain kini ditahan. Usai menggebuk Pak Petinggi mereka menyerah ke polisi. Kepada Wahyu Muryadi dari TEMO, Kapolwil Bojonegoro, Kolonel Soeprapto, menyebut, "Ini penganiayaan. Bukan pembunuhan." Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini