Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kontrak Direvisi atau Utang Disesuaikan?

Arbitrase internasional memperkarakan PLN dan ada yang menuntut Rp 3,2 triliun. Apakah jurus hukum yang diandalkan PLN cukup ampuh?

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONTROVERSI listrik swasta yang mengguncang PLN kini mencuat sebagai perkara hukum. Setelah Karaha Bodas, pemilik proyek listrik swasta di Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat, menggugat PLN di arbitrase perdagangan internasional di Jenewa, Swiss, terakhir California Energy Company Inc. dari Amerika Serikat menuntut badan usaha milik negara itu di arbitrase di Jakarta.

Karaha Bodas, yang telah mengeluarkan biaya awal proyek senilai US$ 100 juta atau Rp 0,8 triliun (dengan kurs Rp 8.000 per dolar) memang tak sampai menuntut ganti rugi. Perusahaan patungan antara Caitnes dan Florida Power--keduanya dari Amerika Serikat--serta Japan’s Tomen plus mitra lokal PT Sumarah Daya Sakti itu hanya meminta agar PLN memberikan kepastian atas nasib proyek listrik swasta mereka yang ditangguhkan sejak 10 Januari silam.

Tak demikian halnya dengan California Energy. Melalui sebuah arbitrase (perwasitan) internasional di Jakarta, pemegang tiga proyek listrik swasta di Dieng (Jawa Tengah), Patuha (Jawa Barat), dan Bedugul (Bali) itu menuntut ganti rugi US$ 400 juta atau Rp 3,2 triliun dari PLN dan pemerintah Indonesia. Pada proyek Dieng yang sudah selesai, California bermitra dengan PT Himpurna Enersindo Abadi. Sedangkan pada proyek Patuha dan Bedugul ia bermitra masing-masing dengan PT Mahaka Energy dan PT Pandanwangi Sekartaji.

Untuk perkara di Swiss, dengar pendapat para pihak akan berlangsung pada 19 November nanti. Adapun untuk perkara di Jakarta dengar pendapat pertama sudah dilakukan pada Agustus lalu dan tak lama lagi akan dilanjutkan dengan yang kedua. Diperkirakan persidangannya baru dilakukan Desember nanti.

Pada perkara di Jakarta, California Energy diwakili pengacara dari Amerika, Latham Watkins, yang didampingi pengacara Constant M. Ponggawa. Mereka menunjuk A.A. de Fina dari Australia selaku arbiter (wasit). Sedangkan PLN diwakili pengacara Adnan Buyung Nasution, dengan wasit Setiawan, seorang mantan hakim. Sebagai wasit ketua, ditunjuk Jan Poulson--pengacara dari Prancis. Pemerintah Indonesia bakal menunjuk wasit Prof. Dr. Priyatna Abdulrrasjid, pengacara dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Namun, proses arbitrase di Jakarta baru membahas masalah acara, belum materi perkara. Diduga, dengar pendapat dan persidangannya bakal alot. Sebab, PLN dan pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai jurus hukum.

Salah satu dalil hukum PLN, kontrak listrik swasta itu--sebanyak 26 proyek listrik swasta yang diteken semasa Presiden Soeharto--batal lantaran dibuat dengan paksaan. Argumentasi ini berkali-kali pernah dikemukakan oleh mantan Direktur Utama PLN, Djiteng Marsudi. Dengan batalnya kontrak, PLN tak lagi terikat kontrak alias bisa mengesampingkan kerugian pihak listrik swasta.

Selain itu, kontrak listrik swasta yang berunsur kolusi dan nepotisme itu pun dilakukan tanpa melalui tender. Padahal, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabiliteitswet), jual-beli komoditi seperti listrik mesti melalui lelang atau tender di hadapan umum.

Satu lagi dalil untuk menyatakan bahwa kontrak tadi telah melanggar hukum, yakni Keputusan Presiden Nomor 37 Tanggal 9 Juli 1992. Menurut Pasal 4 ayat (1) Keppres itu, harga jual listrik harus dinyatakan dengan mata uang rupiah. Padahal 26 kontrak listrik swasta itu menggunakan mata uang dolar.

Tak cuma itu jurus hukumnya. Pada perkara kedua di Jakarta, pemerintah Indonesia juga tak hendak dijadikan pihak. Alasannya supporting letter pemerintah pada kontrak-kontrak listrik swasta tadi hanya semacam jaminan moril, bukan jaminan finansial. Artinya, pemerintah hanya mengingatkan PLN bila perusahaan negara itu tak mengindahkan kontrak listrik swasta. Jadi, bukannya jaminan finansial yang akan ditanggung pemerintah bila PLN lalai atau tak bisa melaksanakan kontrak--dalam hal ini membayar kepada pihak swasta.

Kalaupun tameng jaminan moril itu gagal, pemerintah punya satu dalil lain, yakni dengan menggunakan Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan pasal ini, penjamin baru bisa dituntut bila pihak debitur--dalam hal ini PLN--benar-benar tak mampu membayar. Artinya, setelah PLN dikalahkan pada perkara antara California Energy dan PLN, barulah perkara antara Kalifornia dan pemerintah diproses.

Apa pun dalilnya, pihak penggugat tetap berprinsip sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Menurut pasal itu, kontrak atau perjanjian yang berlaku sebagai undang-undang harus ditepati dan tak bisa ditafsirkan, apalagi dibatalkan secara sepihak. Jadi, "Perjanjian yang sudah disepakati, ya, harus dijalankan," ucap pengacara Constant M. Ponggawa.

Lebih dari itu, berdasarkan asas hukum perdata, utang bagaimanapun juga mesti dilunasi. "Dengan tetap mengupayakan penyelesaian win-win solution for both, PLN diharapkan mau membayar California," sambung Ponggawa.

Entah bagaimana tanggapan PLN dan pemerintah atas prinsip mendasar itu. Pengacara PLN Adnan Buyung Nasution enggan menjelaskan. "Arbitrase itu sifatnya rahasia. Jadi, Abang tak bisa memberikan komentar," ujar pendiri Lembaga Bantuan Hukum itu.

Direktur Utama PLN, Adhi Satriya, juga bersikap senada. Ia hanya berkata, "Yang saya sesalkan, kenapa mereka langsung membawa persoalan ke arbitrase. Kenapa tak dirundingkan dulu dengan PLN?"

Menurut Adhi Satriya, sesuai dengan program restrukturisasi listrik yang dicanangkan Presiden B.J. Habibie pada 11 September lalu, PLN akan menegosiasikan kembali kontrak listrik swasta. Sebabnya tak lain karena krisis moneter yang berkepanjangan, yang sangat berat bagi PLN, yang kini sudah merugi Rp 12 triliun untuk membeli listrik swasta. Sekarang beberapa pengusaha listrik swasta sudah menawarkan renegosiasi kontrak. Artinya, mereka cukup mengerti tentang kesulitan PLN.

Adhi Satriya memang tak menjelaskan soal kemungkinan PLN menyesuaikan kurs atau dengan kata lain "menggergaji utang" alias ngemplang. Katanya, PLN tetap akan membayar listrik swasta. "Namun kami hanya mampu dengan kurs Rp 2.400 per dolar. Cara membayar selisihnya, ya, nanti dirundingkan lagi," tutur Adhi.

Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer, dan Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus