SAPAR dan Jumirah diarak keliling kampung bagai pengantin. Bedanya, Sapar hanya bercelana dalam, sedangkan Jumirah - ibu dua anak - mengenakan kutang dan rok dalam. Sembari menabuh kenong, dua orang Hansip yang mengawal berteriak-teriak, "Saudara-Saudara . . . mari kita saksikan bersama. Inilah pasangan kumpul kebo yang tak tahu malu!" Kedua Hansip itu, Sudargo, 25, dan Multani, 26, dua pekan lalu masing-masing divonis 6 bulan penjara dalam masa percobaan 1 tahun di Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah. Kedua anggota Hansip dari Desa Legoksari itu dipersalahkan: merampas kemerdekaan Sapar dan Jumirah. Jumirah, 35, yang berwajah hitam manis, tergolong cukup berada di desa berhawa dingin yang terletak di kaki Gunung Sumbing itu. Sejak beberapa waktu lalu, suaminya pergi tanpa pesan. Di saat lowong itu muncullah Sapar, 30, pemuda desa itu juga. Setelah beberapa kali diintip diketahui bahwa Sapar sering menginap di rumah Jumirah. Jebakan disiapkan. Suatu pagi, Maret 1985 lalu, saat kabut masih menyelimuti desa Hansip Sudargo dan Multani memimpin penyergapan ke rumah Jumirah. Mula-mula Sapar diteriaki supaya keluar. Tetapi tak ada jawaban. Rumah segera digeledah. Kamar demi kamar, sampai langit-langit diperiksa, tapi Sapar tak ditemukan. Massa dengan kecewa keluar rumah. Nah di saat itulah terdengar seperti ada suara mendengus-dengus dari sebuah kamar. Kembali orang-orang masuk ke dalam dan Sapar ditemukan tengah sembunyi di bawah dipan. Tanpa ampun, ia, yang hanya bercelana dalam, diseret keluar. Jumirah diperintahkan menanggalkan bajunya. Hanya dengan mengenakan kutang dan rok dalam, tangannya diikatkan ke tangan Sapar, dan arak-arakan pun dimulai. Sudargo dan Multani - keduanya masih bujangan - dengan bersemangat sekali menabuh kenong atau gong kecil. Sepanjang jalan, penonton kian banyak, terutama pemuda dan anak-anak. Iring-iringan itu menuju rumah Suhono, seorang pamong desa yang masih berfamili dengan Sapar. Kebetulan tuan rumah tak ada. Tapi kedua "pesakitan" tetap saja mendapat cercaan dan cemoohan. Malah, perlakuan yang diterima mereka kian menjadi-jadi, sampai Jumirah menangis tersedu-sedu. Entah siapa yang memulai, ketika itu terdengar aba-aba agar Sapar dan Jumirah dipaksa bersanggama di halaman. Karena menolak, mereka dibentak-bentak dan dikata-katai. "Saya sampai tidak tega melihat. Kasihan dan malu sendiri," tutur seorang penduduk, Nyonya Jarkoni, ibu empat anak. Gagal dipaksa di halaman, keduanya dibawa masuk rumah dan disuruh mempraktekkan yang biasa mereka perbuat di atas sebuah balai-balai. Perintah beberapa kali dilontarkan. Namun, keduanya tentu tak mungkin bisa melakukan. Akibatnya, mereka diseret lagi keluar, dan kembali diarak diiringi tetabuhan. Tempat yang dituju selanjutnya adalah kandang kambing di rumah Jumirah. Di sana, mereka dipaksa lagi. Karena sangat ketakutan, Sapar lalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Hanya, katanya belakangan, "Saya tidak melakukan sungguh-sungguh. Mana mungkin ditonton orang sebanyak itu ? Saya hanya pura-pura saja melakukan apa yang mereka maui." Selain banyak yang mendukung, tak sedikit yang menyesalkan tindakan Sudargo dan Multani. "Tindakan keduanya sudah keterlaluan dan sangat tidak mendidik," tutur seorang tokoh pemuda desa itu. Ia, dan beberapa rekannya, menyesali putusan hakim yang dianggap terlalu ringan. Padahal, menurut hukum pidana (KUHP), ancaman hukuman maksimal terhadap perampas kemerdekaan orang adalah 8 tahun. Tetapi, kata Jaksa Sayuto, ia bisa mengerti alasan kedua Hansip itu bertindak di luar batas. "Sapar dan Jumirah sudah beberapa kali di peringatkan. Malahan keduanya sudah membuat pernyataan tertulis untuk tidak berbuat lagi. Kenyataannya, dilanggar," kata Sayuto. Sebab itu, ia - yang menuntut hukuman 7 bulan dalam masa percobaan 1 tahun - tidak berniat naik banding. Sama halnya dengan kedua terdakwa. Sur Laporan Aries Margono (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini