CINTA "gelap" antara majikan dan pembantu hampir selalu berakhir buruk, khususnya bagi si pembantu. Buktinya, Sabtu dua pekan lalu, bekas pembantu rumah tangga, Suryati -- yang mengaku istri kedua almarhum H. Basuki, pengusaha dan petani kaya di Bandung, Jawa Barat -- divonis 6 bulan penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, yang diketuai Zaid Sungkar, menyatakan Suryati terbukti memalsukan surat nikahnya dengan Basuki untuk menuntut harta warisan almarhum. Vonis itu tentu saja mengejutkan karena, jauh sebelumnya, surat nikah tersebut sudah disahkan Pengadilan Agama Cimahi, Jawa Barat. Keputusan pidana itu juga sekaligus merontokkan upaya Suryati, yang sudah dikaruniai empat anak -- tiga yang hidup -- dari Basuki untuk mewarisi berbagai harta peninggalan almarhum berupa tanah dan bangunan di Bandung dan sekitarnya, senilai Rp 10 milyar. Itulah puncak sengketa warisan Basuki, yang tak kunjung reda sejak hartawan itu meninggal pada 24 April 1986, dalam usia 85 tahun. Almarhum, yang tak punya anak kandung dari istri pertamanya, Suhaya, mengangkat seorang anak, A. Hidayat. Namun, setelah ia meninggal ternyata bekas pembantunya, Suryati, 44 tahun, mengaku pernah dinikahi almarhum. Suryati mengaku dinikahi Basuki pada 15 Mei 1970 di rumah Madhari di Desa Jayagiri, Lembang, Bandung. Pernikahan itu, katanya, disaksikan petugas KUA Lembang dan diketahui adik kandung Basuki, Supiah. Memang, baik Hidayat yang dipungut keluarga Basuki sejak usia sembilan bulan -- maupun Suhaya tak mengetahui perkawinan itu. Sebaliknya, Hidayat menganggap perkawinan itu tak pernah ada. Bahkan ia menuding Suryati telah memalsu surat nikah. Status Suryati, misalnya, dalam surat itu disebut perawan. Padahal, menurut Hidayat, sewaktu menjadi pembantu ia sudah janda. Surat nikah itu juga menggunakan ejaan baru -- padahal ejaan baru digunakan pada 1972. Pada pertengahan September 1986, kedua pihak sempat berdamai. Hidayat, yang tinggal di Jakarta, bersedia menyerahkan uang Rp 50 juta kepada Suryati. Sebaliknya, Suryati -- yang sudah menikah lagi dengan pensiunan polisi di Bandung -- dan anak-anaknya sepakat melepaskan tuntutan terhadap segala harta peninggalan almarhum. Belakangan, Suryati, yang cuma berpendidikan kelas III SD, merasa isi perjanjian itu berat sebelah. Sebab itu, setelah diizinkan pengadilan, ia segera menjual dua bidang tanah dan bangunan warisan Basuki. Dari tindakan sepihak itu Suryati memperoleh persekot Rp 13,5 juta. Tindakan Suryati itu rupanya diketahui Hidayat. Ia pun mendahului Suryati, menjual tanah tersebut ke pembeli lain, seharga Rp 700 juta, setelah mendapat penetapan ahli waris dari pengadilan. Selain itu, Hidayat juga melaporkan Suryati ke polisi, dengan tuduhan pemalsuan. Ternyata, majelis hakim sependapat dengan dakwaan itu. "Dari bukti-bukti dan keterangan saksi, tak pernah ada perkawinan antara Haji Basuki dan Suryati pada 15 Mei 1970," kata Hakim Zaid Sungkar. Menurut salah seorang saksi Adjat Sudrajat, Kepala Tata Usaha KUA Lembang, surat nikah Suryati tak pernah tercatat di KUA setempat. Sedangkan cacat surat nikah itu, kata majelis, di antaranya soal hari perkawinan. Disebut Selasa, padahal mestinya Jumat. Lalu cap jempol Basuki, ternyata, dua jempol dan dibubuhkan pada 1986 -- ketika Basuki sedang dirawat di rumah sakit. Atas vonis itu, keruan saja pengacara Suryati, Boaz O. Pangaribuan, menyatakan naik banding. "Keputusan itu menyesatkan. Seharusnya, kebenaran materiil ada tidaknya perkawinan itu yang dicari hakim. Kalau soal surat nikah, itu kan masalah cacat administratif saja," katanya. Menurut Boaz, perkawinan Suryati-Basuki itu terjadi sebelum Undang-Undang Perkawinan, 1974. Ketika itu, sambungnya, perkawinan -- apalagi di daerah -- praktis tak segera didaftarkan ke KUA. Sebab itu pula, Suryati kini balik menggugat Hidayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini