SATU-SATUNYA wewenang kejaksaan untuk menyidik, yaitu dalam hal tindak pidana khusus seperti subversi dan korupsi, kini digugat banyak pihak. Gugatan itu, pekan-pekan ini bergema begitu pemerintah mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) Kejaksaan -- untuk menggantikan Undang Undang No. 15/1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan -- ke DPR. Ternyata, RUU itu tak hanya dibahas secara kritis oleh para wakil rakyat di DPR, tapi juga oleh praktisi hukum di luar gedung parlemen. Sebagian "penggugat" menganggap RUU itu bertentangan dengan hukum acara (KUHAP). Rancangan yang sangat disorot itu antara lain pasal 29 RUU, yang berbunyi: Selain melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, Kejaksaan juga melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan wewenang lainnya berdasarkan undang-undang tertentu. Materi ini merupakan pengukuhan wewenang kejaksaan untuk menyidik berbagai tindak pidana khusus (subversi, korupsi, ekonomi) -- sementara wewenang penyidikan tindak pidana umum sepenuhnya ada pada Polri -- yang diatur pasal peralihan hukum acara (pasal 284 KUHAP). Berkat pasal itulah kejaksaan sampai kini masih berwenang menyidik langsung kasus-kasus korupsi, Bank Duta, atau kasus subversi Dharsono -- tanpa melalui Polri. Namun, begitulah, tak seperti berbagai RUU yang biasanya dibahas "mulus" saja, RUU Kejaksaan langsung mendapat sambutan "panas" dari keempat fraksi di DPR. Para anggota DPR selain mempertanyakan sekaligus meminta Pemerintah agar meninjau pasal 29 RUU itu. "Bukankah KUHAP sudah secara tegas mengatur: Polri menyidik, jaksa menuntut, dan hakim memutuskan perkara," kata juru bicara F-PP, Muhammad Yusuf Husin. Rekannya, juru bicara F-ABRI, H. Boges Sudjadi G.R., malah menganggap munculnya pasal 29 itu hanya sekadar melanggengkan pasal 284 KUHAP, yang seharusnya bersifat sementara. Padahal, wewenang Polri sebagai penyidik tunggal, seperti diamanatkan KUHAP, akan semakin nyata bila RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, yang baru, lahir -- rencananya awal tahun depan. Berbagai tindak pidana khusus tadi akan disatukan ke dalam KUHP baru itu. Yang lebih "keras" adalah "serangan" anggota Dewan terhadap pasal 32 (1) b RUU Kejaksaan yang berbunyi: Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara tertentu yang ditetapkan oleh Presiden. Ketentuan ini, menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang mewakili pemerintah dalam mengajukan RUU itu ke DPR, pada 16 November lalu, dimaksudkan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bakal timbul dalam perkembangan hukum di Indonesia. Wewenang Jaksa Agung itu, katanya, akan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan sifat perkara dan pelakunya. Nah, adanya pelaku, yang bisa disidik Jaksa Agung dengan wewenang khusus ini, bagi para wakil rakyat tak sesuai dengan jiwa persamaan di depan hukum (equality before the law) seperti diamanatkan pasal 27 UUD '45. Maka, Yusuf Husin juga menyarankan agar pasal 32 (1) b itu digugurkan saja. Di luar gedung DPR, bekas anggota DPR yang kini terjun ke dunia pengacara, V.B. Da Costa, sependapat agar pasal 29 RUU itu ditiadakan. Sebab, katanya, pasal 284 KUHAP itu hanya pengecualian yang bersifat sementara. Pasal itu dulunya muncul dari hasil kompromi "ketegangan" antara Kejaksaan dan Polri. "Jadi, bisa saja pasal 284 itu ditarik," ujar Da Costa yang ikut "membidani" lahirnya KUHAP, hampir sepuluh tahun lalu. Da Costa juga tak habis pikir dengan munculnya pasal 32 (1) b. RUU, yang memunculkan istilah perkara dan pelaku tertentu. "Kenapa harus ada kekhususan lagi? Itu kan menimbulkan ketidakpastian hukum," ujarnya. Hal senada juga diutarakan Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), Albert Hasibuan. Anggota F-KP DPR ini menganggap ketentuan yang memuat campur tangan Presiden itu tak perlu ada. Lagi pula, "Apa Presiden nantinya bisa dituntut balik?" tanyanya. Namun, Albert menganggap wewenang kejaksaan menyidik tindak pidana khusus dan Polri untuk pidana umum tetap harus dipertahankan. Artinya, pasal 29 RUU itu tak perlu dihapus. "Itulah yang berlaku selama ini, dan nyatanya berdampak positif buat pencari keadilan," kata Albert. Ketua II Persatuan Jaksa (Persaja), Soehadibroto, mencoba meredam badai kritik itu. Menurut Soehadibroto, ketentuan RUU Kejaksaan sama sekali tak bertentangan dengan KUHAP. Dengan adanya RUU itu, katanya, tugas Polri dan jaksa justru menjadi saling mengisi dan melengkapi. "Hal itu amat positif untuk tercapainya cita-cita Integrated Criminal Justice System dan asas peradilan sederhana, cepat, dan murah dalam KUHAP," katanya. Ia memang sependapat bahwa pasal 284 KUHAP itu bersifat sementara. Namun, sambungnya, pengertian sementara itu dimaksudkan sampai dicabutnya berbagai ketentuan hukum acara pada undang-undang khusus itu. "Jadi, selama berbagai undang-undang tindak pidana khusus itu masih ada, pasal 29 RUU juga masih eksis," kata Soehadibroto. Ia juga menambahkan bahwa instansi kejaksaan sudah berpengalaman melaksanakan pasal 29 RUU itu. Koordinator Staf Ahli Jaksa Agung itu membantah bila dikatakan bahwa pasal 32 (1) b dianggap sebagai campur tangan Presiden dalam soal penyidikan perkara. Ketentuan ini, katanya, tak berbeda dengan izin Presiden jika seorang anggota DPR akan ditangkap atau diperiksa kejaksaan. "Itu bukan hak istimewa. Tata cara penyidikan, penuntutan, dan pengadilannya tetap seperti praktek KUHAP selama ini," katanya. Happy S., Rustam F. Mandayun, G. Sugrahety D.K. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini