Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selasa, 8 Januari lalu, Sudaryono benar-benar gelisah. Berkali-kali, sejak pagi, dia menelepon jaksa dan pengacara yang menghadiri sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh. Tapi, hingga tengah hari, jawaban mereka selalu sama: sidang belum dibuka. "Saya seperti menanti hasil ujian kelulusan," kata Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup itu kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Dijadwalkan digelar pada 4 Desember lalu, sidang putusan gugatan Kementerian Lingkungan atas PT Kallista Alam itu telah dua kali ditunda. Menjelang magrib, Sudaryono kembali menghubungi tim di Meulaboh. Kali ini jawabannya lebih "maju". "Sidang sudah empat jam dimulai, tapi belum selesai."
Kabar yang dinanti-nanti datang dua jam menjelang tengah malam. Seorang aktivis lingkungan yang menghadiri sidang mengirim pesan pendek, "Selamat, KLH menang." Tak mau menunggu sampai pagi, Sudaryono meminta anggota stafnya menelepon seorang jaksa. "Ternyata hampir semua gugatan kami dikabulkan," ujar Sudaryono.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Meulaboh membuat putusan mengejutkan: menyatakan PT Kallista Alam melanggar hukum. "Dosa" mereka membakar lahan gambut di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Hakim menghukum perusahaan perkebunan sawit itu membayar ganti rugi Rp 114 miliar. Perusahaan yang berkantor pusat di Medan itu juga dihukum membayar biaya pemulihan lingkungan Rp 251 miliar.
Ini gugatan perdata pertama yang dimenangi Kementerian Lingkungan dalam kasus pembakaran hutan. Di meja kerja Sudaryono masih ada tumpukan berkas dugaan perusakan hutan oleh tujuh perusahaan lain di Riau yang siap diajukan ke pengadilan. "Kemenangan di Meulaboh semoga menjadi inspirasi untuk tempat lain," kata Sudaryono.
Gugatan atas PT Kallista bermula dari laporan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), awal 2012. Mereka melaporkan pembakaran ribuan hektare lahan gambut di Kawasan Ekosistem Leuser, Rawa Tripa.
Atas dasar laporan itu, UKP4 lantas menyurati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kepolisian Republik Indonesia pada 11 April 2012. Dua pekan kemudian digelar rapat khusus yang dihadiri perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Reserse Kriminal Polri, dan Kejaksaan Agung. Rapat itu merekomendasikan agar pembakar lahan gambut diseret ke pengadilan, baik lewat jalur pidana maupun perdata.
Tim gabungan dibentuk dengan melibatkan penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan, penyidik Markas Besar Polri, dan Kejaksaan Agung. Untuk menguji laporan sekaligus mencari data awal, tim gabungan sampai tiga kali terbang ke Rawa Tripa, Mei dan Juni 2012. Bersama tim gabungan, Kementerian Lingkungan mengutus dua ahli kebakaran hutan dan kerusakan lahan dari Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis.
Sewaktu kembali ke Jakarta, Basuki dan kawan-kawan tak hanya membawa pulang catatan. Mereka memboyong sampel tanah, serpihan pohon yang terbakar, arang, dan abu untuk diperiksa di laboratorium. "Kami berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin," ucap Cicilia Sulastri, Asisten Deputi Bidang Penyelesaian Sengketa Kementerian Lingkungan Hidup. Pada 8 November 2012, Kementerian Lingkungan memasukkan gugatan perdata atas PT Kallista ke Pengadilan Negeri Meulaboh.
Bersamaan dengan itu, penyidik gabungan juga mengirimkan berkas perkara pidana kasus yang sama ke Kejaksaan Agung. Tersangkanya PT Kallista Alam, sebagai korporasi dan individu penanggung jawab pembukaan lahan di Rawa Tripa. Direktur Utama PT Kallista Subianto Rusdi menjadi tersangka mewakili korporasi. Dua tersangka lain: Setiono (general manager) dan Kamidin Yoesoef (estate manager).
Kamis pekan lalu, Tempo mencoba menemui para tersangka di kantor pusat PT Kallista di kompleks Taman Setiabudi Indah II, Kota Medan. Tapi ketiga tersangka sudah lama tak masuk kerja. Sejak Subianto Rusdi menjadi tersangka, PT Kallista dikendalikan anaknya, Palacheta. Palacheta tak bersedia diwawancarai.
Mengawali berkas gugatannya, Kementerian Lingkungan mengungkap kejanggalan izin perkebunan sawit yang diperoleh PT Kallista di Rawa Tripa. Izin baru itu diterbitkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf atas lahan 1.605 hektare di Kawasan Ekosistem Leuser. Izin diteken Gubernur pada 25 Agustus 2011. Padahal, sejak 1998, kawasan itu dinyatakan sebagai wilayah konservasi.
Izin itu juga terbit setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011. Lewat instruksi tanggal 20 Mei 2011 yang kemudian dikenal sebagai "Inpres Moratorium" itu, Presiden meminta pemberian izin pembukaan lahan hutan gambut dihentikan untuk sementara. Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto waktu itu juga memastikan bahwa kawasan gambut Rawa Tripa telah dimasukkan ke peta moratorium.
Kementerian Lingkungan menuduh PT Kallista melakukan perbuatan melawan hukum dengan membakar lahan di Rawa Tripa. Mengacu pada titik hot spot yang direkam satelit milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Kementerian Lingkungan menduga pembakaran berlangsung secara berulang selama tiga tahun, sejak 2009 hingga 2012. Pembakaran dilakukan di atas lahan gambut seluas 1.000 hektare—dari izin pembukaan lahan baru seluas 1.605 hektare.
Menurut Fauzul Abrar, kuasa hukum Kementerian Lingkungan, pembakaran dalam membuka lahan melanggar Pasal 69 Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Pasal 26 Undang-Undang Perkebunan. PT Kallista, menurut dia, juga melanggar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, yang menetapkan tanah gambut dengan ketebalan di atas tiga meter sebagai kawasan dilindungi.
Pembakaran lahan gambut di Rawa Tripa juga dianggap merusak dan mencemarkan lingkungan. Perhitungan ahli dan simulasi di laboratorium menaksir pembakaran lahan gambut seluas 1.000 hektare telah melepaskan sekitar 13 ribu ton karbon dan 4.000 ton karbon dioksida ke udara. Pembakaran juga merusak struktur tanah gambut sehingga kehilangan fungsinya sebagai penyimpan air. Umur pemakaian tanah pun diperkirakan berkurang hingga 15 tahun. Tanah gambut yang berusia ribuan tahun itu tak bakal bisa dipulihkan lagi.
Nah, Kementerian Lingkungan menghitung kerugian negara atas perbuatan Kallista tersebut sekitar Rp 366 miliar. Itu terdiri atas kerugian materi atas kerusakan dan pencemaran lingkungan sebesar Rp 114,3 miliar serta biaya pemulihan lingkungan Rp 251,7 miliar. Agar gugatannya tak sia-sia, Kementerian tak lupa meminta lahan seluas 5.769 hektare milik PT Kallista di Kabupaten Aceh Barat disita sebagai jaminan.
Di persidangan, tim kuasa hukum PT Kallista dari kantor pengacara Luhut M.P. Pangaribuan menyampaikan pembelaan. Mereka menyangkal tuduhan bahwa PT Kallista membakar lahan di Rawa Tripa. Kalaupun ditemukan bekas kebakaran, menurut mereka, itu bisa saja "lompatan api" dari luar lahan milik PT Kallista.
Pengacara Kallista juga menilai gugatan kabur. Penggugat hanya bisa menjelaskan kebakaran pada 23 Maret 2012 di salah satu blok seluas 29,5 hektare. Padahal, kata Luhut, mereka mengklaim lahan yang terbakar 1.000 hektare.
Majelis hakim yang dipimpin Rachmawati tak hanya mengadili perkara ini di ruang sidang. Majelis sampai dua kali menggelar sidang lapangan. Pemeriksaan di tempat berlangsung pada 28-29 Agustus dan 30 September 2012.
Fauzul Abrar menuturkan, sewaktu majelis hakim turun ke lapangan, di lokasi sudah ada menara pengawas kebakaran yang baru dibangun. Regu pemadam kebakaran hutan, lengkap dengan mobil penyemprot air dan alat berat lainnya, juga bersiaga di lapangan. Padahal, dalam tiga kali verifikasi lapangan oleh penyidik, "Semua itu belum ada," ujar Fauzul.
Sidang di lapangan, ditambah penjelasan para saksi ahli yang diajukan Kementerian Lingkungan dalam ruang sidang, tampaknya cukup meyakinkan majelis hakim. Majelis mengabulkan hampir semua tuntutan yang diajukan Kementerian Lingkungan. Hakim hanya menolak tuntutan agar putusan dijalankan meski berkekuatan hukum belum tetap serta tuntutan agar Kallista membayar bunga denda enam persen sejak perkara masuk ke pengadilan.
Di Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menyatakan kelegaannya atas putusan itu. "Keberhasilan ini berkat kerja sama yang baik semua pihak," kata Balthasar dalam siaran pers Senin pekan lalu.
Jajang Jamaludin (Jakarta), Untung Widyanto (Rawa Tripa), Sahat Simatupang (Medan)
Terancam Efek Kallista
Kementerian Lingkungan Hidup menjadikan kemenangan di Rawa Tripa sebagai bekal untuk menyeret perusahaan perusak lingkungan lain ke meja hijau. Jalur pidana dan perdata ditempuh bersamaan.
Kasus Pidana Lingkungan:
Status Hukum:
Kasus Utama:
PT Kallista Alam
Pelanggaran: Pembakaran lahan gambut seluas 1.000 hektare untuk perkebunan sawit di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh.
Pidana: Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh.
Tersangka: Korporasi dan tiga pemimpin perusahaan.
Status terakhir: Persidangan.
Perdata: Pengadilan Negeri Meulaboh.
Status terakhir: Kementerian Lingkungan Hidup menang.
PT Surya Panen Subur
Pelanggaran: Pembakaran lahan gambut seluas 1.100 hektare untuk perkebunan sawit di Rawa Tripa.
Pidana: Pengadilan Negeri Meulaboh.
Tersangka: Korporasi dan tiga pemimpin perusahaan.
Status terakhir: Pelimpahan perkara ke pengadilan.
Perdata: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Status terakhir: Mediasi.
PT Merbau Pelelawan Lestari
Pelanggaran: Perusakan lingkungan dengan penebangan hutan yang tidak sesuai dengan aturan di area seluas 5.590 hektare di Kabupaten Pelelawan, Riau.
Perdata: Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau.
Status terakhir: Proses sidang .
PT Selatanasik Indokwarsa
Pelanggaran: Perusakan lingkungan dengan penambangan yang diduga tidak sesuai dengan aturan.
Perdata
Status terakhir: Peninjauan kembali.
Delapan Perusahaan di Riau
Pelanggaran: Delapan perusahaan perkebunan dan kehutanan di Riau diduga terlibat pembakaran hutan. Mereka adalah PT Adei Plantation, PT Sumatera Riang Lestari, PT Ruas Utama Jaya, PT Sakato Pratama Makmur, PT Bukit Batu Hutani, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, dan PT Langgam Inti Hibrido.
Pidana: Kepolisian Daerah Riau dan Pengadilan Negeri Pekanbaru .
Status: Sembilan orang menjadi tersangka.
Perdata: Pemberkasan di Kementerian Lingkungan Hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo