Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGAR beton setinggi hampir tiga meter yang belasan tahun silam berdiri kokoh itu kini seperti rapuh. Beberapa bagiannya ambruk ke bumi. Tak jauh dari gerbang masuk yang terletak di Jalan Raya Cipeundeuy, Desa Karang Mukti, Kabupaten Subang, itu, pagar yang roboh bahkan mencapai sekitar 300 meter.
Lewat pagar yang bolong itulah penduduk sekitar masuk dan memanfaatkan lahan di balik pagar: bersawah, berkebun, dan menggembalakan ternak. "Sebenarnya masyarakat dilarang memakai lahan itu," kata salah seorang anggota satuan pengamanan di sana.
Lahan milik Marimutu Sinivasan yang didatangi Tempo pada Jumat pekan lalu itu luluasnya sekitar 850 hektare. Inilah kawasan pabrik yang dulu sangat dibanggakan "raja tekstil" tersebut. Saat itu, tak kurang dari 2.000 pekerja setiap hari berkutat di sana. Kini pabrik yang dikelola anak usaha Texmaco Group, PT Perkasa Heavyndo Engineering, itu hanya berisi sekitar 400 orang. Kehidupan kawasan industri "terbalik" seiring dengan ambruknya bisnis Marimutu pada 1998.
Tak banyak diliput media, pada 23 Desember lalu sebuah putusan mengejutkan datang dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan mengabulkan gugatan Marimutu terhadap PT BNI, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), dan Kementerian Keuangan.
Majelis hakim yang dipimpin Mohammad Razzad memutuskan perjanjian restrukturisasi utang atau master restructuring agreement atas Grup Texmaco pada 23 Mei 2001 serta Akta Pernyataan dan Kesanggupan Nomor 51 Tanggal 16 Juni 2001 dinyatakan tidak sah. "Batal karena merupakan perbuatan melawan hukum," kata Razzad. Dengan putusan ini, Marimutu tak lagi memiliki kewajiban membayar utang. Aset yang selama ini di bawah kendali pemerintah mesti dikembalikan kepada Marimutu.
Gugatan berjumlah 19 halaman itu diajukan Marimutu tertanggal 27 April 2012. Marimutu mempersoalkan hak tagih pemerintah sebesar Rp 29,37 triliun yang tercantum dalam perjanjian restrukturisasi utang serta Akta Pernyataan dan Kesanggupan Nomor 51. Marimutu mengaku meneken master restructuring agreement serta akta pernyataan dan kesanggupan dengan terpaksa, dalam tekanan.
Dengan hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Marimutu menyebutkan utangnya yang belum lunas hingga 31 Desember 1999 sebesar Rp 8 triliun. Di luar itu, ia menunjuk perhitungan BPKP soal nilai jaminan yang diberikan perusahaannya, yakni Grup Texmaco, Rp 16 triliun. Menurut dia, dengan penghitungan BPKP di mana nilai utang lebih sedikit daripada jaminan, utangnya otomatis lunas. Karena utang lunas, dia menuntut aset di dua perusahaannya dikembalikan.
Dalam gugatannya, Marimutu menuntut ganti rugi Rp 18 triliun terhadap tiga pihak yang digugatnya tersebut. Menurut dia, Texmaco menderita kerugian, antara lain, karena mesin milik Texmaco dijual secara sepihak. Kerugian penjualan mesin tanpa persetujuan itu—lantaran dianggap tak produktif—Rp 8,96 triliun.
Dia juga merinci kerugian lain, yakni lantaran tak beroperasinya divisi tekstil dan engineering grupnya. Besarnya Rp 16,21 triliun. Lalu kerugian immaterial Rp 5 triliun yang dialami dia dan keluarganya, antara lain karena nama mereka masuk daftar hitam Bank Indonesia. Tak semua tuntutan itu dikabulkan hakim. Tuntutan ganti rugi atas kerugian immaterial, misalnya, ditolak hakim.
PT PPA, yang menjadi wakil pemerintah dalam mengelola aset jaminan debitor akibat kredit macet 1997/1998, kecewa terhadap putusan ini. "Kami akan banding," kata penasihat hukum PPA, Samuel Sampe Rumapea. Menurut dia, pemerintah tidak pernah menguasai aset perusahaan Texmaco Group secara fisik. "Pemerintah hanya menguasai dokumen-dokumennya."
Samuel menegaskan, penguasaan aset oleh pihak Texmaco juga dilakukan terhadap PT Bina Prima Perdana dan PT Jaya Perkasa Engineering. Di Bina Prima, pemerintah memiliki saham 70 persen, sementara di Texmaco 30 persen. "Pemerintah hanya sebagai pemegang kontrol," ucapnya. Adapun untuk PT Jaya Perkasa Engineering, keseluruhan sahamnya dimiliki Marimutu.
Menurut Sekretaris Perusahaan PPA Rizal Ariansyah, nilai aset Texmaco sangat kecil ketimbang kredit macetnya yang Rp 29 triliun. Sebelumnya, kata dia, PPA beberapa kali mencoba menjual saham dan hak tagih itu, tapi gagal terus. Itu lantaran perusahaan tersebut telah belasan tahun mangkrak. "Nilainya makin lama makin drop karena perusahaan itu tidak bergerak," ujar Rizal.
Dalam jawaban atas gugatan Marimutu, kuasa hukum PPA menyatakan Marimutu tidak berhak bertindak atas nama Texmaco karena tidak ada kuasa atau tak ada persetujuan dari komisaris perusahaan. Selain itu, PPA menyatakan gugatan Marimutu salah karena saat perjanjian dibuat belum ada PPA. Lembaga ini baru terbentuk pada 27 Februari 2004.
Pengacara BNI, Deddy Iskandar, kaget terhadap putusan hakim. Padahal, kata dia, pihaknya telah menyodorkan segepok bukti, seperti master restructuring agreement, surat perjanjian pengalihan utang dari BNI ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dan kuitansi-kuitansi utang Marimutu. "Sebanyak 90 persen pertimbangan hakim itu berasal dari bukti-bukti yang diajukan penggugat," ujarnya.
Menurut Deddy, hakim sama sekali tak mempertimbangkan situasi ekonomi-politik saat BPPN dibentuk. Saat itu, kata dia, BPPN memang memiliki kekuasaan di luar kebiasaan untuk menyelamatkan perekonomian.
Pihak Marimutu Sinivasan tak mau berkomentar soal putusan ini. "Prinsipnya kami menghormati putusan pengadilan dan semua materi gugatan sudah diuji dalam sidang," kata kuasa hukum Marimutu, Hery Suryadi. Marimutu tak bisa dimintai komentar. Kepada Tempo, seorang anggota stafnya menyatakan sang bos sedang di luar negeri. Ia tak mau memberitahukan di negeri mana Marimutu berada.
Yuliawati, Febriyan, Rizki Puspita Sari, Erick P. Hardi (Subang)
Juragan Tekstil dari Medan
Lahir di Medan pada 17 Desember 1937, Marimutu memulai bisnisnya dari bawah, yakni berdagang tekstil. Pada 1960, dia pindah dari Medan ke Jakarta. Di sini ia mendirikan pabrik pembuatan bahan sarung. Tujuh tahun kemudian, dia membuat pabrik pencelupan kain dan membeli pabrik batik di Batu, Jawa Timur.
Pada 1977, Marimutu membangun pabrik poliester di Semarang. Sejak itu, bisnisnya semakin ekspansif. Total ada 24 perusahaan di bawah kerajaan bisnisnya, Texmaco Group, yang bergerak di dua lini: tekstil dan mesin. Salah satu pabrik utama Texmaco berlokasi di Subang, Jawa Barat. Dari pabrik ini lahir truk merek Perkasa. Selain berbisnis, Marimutu sempat berkiprah di Partai Golkar. l Yuliawati dan Driyan (PDAT)
Sepak Terjang Sang Obligor
November 1999
Marimutu Sinivasan dan pihak BNI mengakui kredit pra-pengapalan (pre-shipment facility) untuk Texmaco senilai Rp 9,8 triliun bermasalah.
Desember 1999
Kredit pra-pengapalan Texmaco yang macet memasuki proses hukum. Jaksa Agung Marzuki Darusman menetapkan Marimutu sebagai tersangka korupsi pengucuran kredit.
Januari 2000
PT Bank Putera Multikarsa milik Marimutu dibekukan. Marimutu dibebani kewajiban utang ke negara Rp 1,13 triliun lewat program BLBI.
Maret 2000
BNI mengalihkan kredit bermasalah Texmaco Rp 14,9 triliun ke BPPN. Hal yang sama sebelumnya dilakukan PT Bank Rakyat Indonesia (Rp 2,5 triliun), PT Bank Tabungan Negara (Rp 500 miliar), dan PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Rp 1,4 triliun).
Mei 2001
Perjanjian restrukturisasi utang (master restructuring agreement) Texmaco senilai Rp 29,37 triliun disepakati.
September 2001
Komite pemantau pelaksanaan tugas BPPN menyatakan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan restrukturisasi utang Texmaco, khususnya soal waktu restrukturisasi utang yang terlalu lama, lebih dari 10 tahun.
Agustus 2002
Perjanjian restrukturisasi utang Texmaco berlaku efektif setelah dua perusahaan baru mengambil alih hak tagih atas Texmaco Rp 29,37 triliun.
April 2003
BPPN, BNI, dan Marimutu menandatangani kesepakatan menyelesaikan pembayaran L/C Texmaco yang tertunggak di BNI US$ 89 juta (sekitar Rp 756,5 miliar).
Agustus 2003
Dua perusahaan Texmaco gagal melunasi bunga Rp 139 miliar yang jatuh tempo pertama kalinya.
Februari 2004
Sepekan menjelang pembubarannya, BPPN menyatakan Texmaco wanprestasi. Restrukturisasi utang yang disepakati pada 2001 pun dibatalkan. Utang macet Texmaco dialihkan ke Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
Maret 2004
Markas Besar Polri menelisik kemungkinan pelanggaran pidana dalam kasus tertunggaknya surat kredit Texmaco. Berdasarkan audit kantor akuntan PricewaterhouseCoopers pada 2002, ditemukan bukti hasil penjualan ekspor divisi tekstil dipakai untuk membiayai kelompok engineering grup usaha milik Marimutu.
Juli 2004
Kejaksaan menyatakan Marimutu tak bersalah di balik kredit macet senilai Rp 15,37 triliun yang dikucurkan Bank BNI ke Grup Texmaco pada 1997. Perintah pencegahan Marimutu ke luar negeri dihapus pada 2000.
Juli 2005
Bank Muamalat melaporkan tuduhan penipuan Rp 20 miliar atas utang yang belum dibayar Marimutu saat menjabat Direktur Utama PT Multi Karsa Utama. Pada 2003, Marimutu mengajukan utang Rp 50 miliar, yang bersumber dari Bank Duta (Rp 30 miliar) dan Bank Muamalat.
Mei 2008
Bank Muamalat mencabut laporannya ke kepolisian. Kedua belah pihak bernegosiasi dalam penyelesaian utang.
27 April 2012
Lewat Kantor Pengacara Heri Suryadi & Partners, Marimutu menggugat PT BNI, PPA, dan Kementerian Keuangan. Salah satu gugatannya mengenai master restructuring agreement.
23 Desember 2013
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Marimutu Sinivasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo