Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir*
Obligasi US$ 4 miliar yang dirilis pemerintah Indonesia dua pekan lalu sekilas terlihat berlebihan. Namun, untuk sejumlah alasan, pemerintah memang harus meminjam sebanyak mungkin saat ini.
Surat utang di bawah program Global Medium Term Notes ini terbit dalam dua seri. Seri pertama US$ 2 miliar berjangka waktu 10 tahun dengan yield (imbal hasil) 5,95 persen dan seri kedua US$ 2 miliar berjangka waktu 30 tahun dengan yield 6,85 persen. Ini merupakan penerbitan obligasi dolar terbesar di Asia di luar Jepang sejak 1998.
Imbal hasil itu terbukti mampu menarik para investor, sehingga menghasilkan permintaan sampai 4,4 kali (oversubscription). Semula pemerintah hanya menargetkan US$ 3 miliar. Tapi harga yang tinggi ini juga mengundang kritik. Utang pemerintah ini juga dikhawatirkan bakal membengkak dan membebani anggaran negara.
Hanya, kalau dipikir lebih dalam, pemerintah memiliki alasan yang cukup kuat untuk memaksimalkan pinjaman dolar pada awal tahun. Satu alasannya adalah tren suku bunga dolar yang diramalkan meningkat setelah The Fed melakukan tapering atau pengetatan kebijakan moneter secara bertahap, sehingga ada baiknya mengunci tingkat bunga obligasi saat ini.
Selain itu, pemilihan anggota DPR pada April dan pemilihan presiden pada pertengahan tahun ini diperkirakan meningkatkan risiko politik Indonesia. Situasi ini juga akan menaikkan suku bunga obligasi pemerintah Indonesia jika penerbitan obligasi dilakukan di sekitar waktu itu.
Terakhir, sudah ada antrean panjang obligasi pemerintah lain yang segera diterbitkan di pasar. Jadi, dengan menjual duluan, pemerintah dapat menyerap dana semaksimal mungkin. Atas alasan itulah saat ini merupakan waktu yang cukup tepat menjual surat utang.
Yang juga penting, dana US$ 4 miliar yang terkumpul itu diperlukan untuk melunasi beberapa obligasi yang jatuh tempo tahun ini. Ada US$ 1,3 miliar obligasi dan surat berharga yang jatuh tempo pada Maret , lalu US$ 0,65 miliar pada April, dan akhirnya US$ 1 miliar pada Mei.
Arus modal yang masuk dari penjualan obligasi dolar Amerika ini juga akan membantu mengurangi tekanan pada rupiah yang telah jatuh 25 persen sejak Januari tahun lalu. Pemain pasar khawatir akan pelebaran defisit transaksi berjalan dan dampak tapering terhadap rupiah. Sejak penerbitan obligasi, rupiah menguat tipis dari 12.323 per dolar minggu lalu menjadi 12.137 saat ini.
Soal jumlah, para ekonom tidak pernah mencapai kesepakatan mengenai rasio utang terhadap produk domestik bruto yang ideal. Uni Eropa memasang patokan rasio ini pada tingkat 60 persen. Ini berarti anggota negara Uni Eropa harus mengelola utangnya agar tidak melampaui rasio 60 persen utang terhadap PDB.
Beberapa ekonom malah menurunkan pagu ini ke angka 40 persen buat negara-negara berkembang. Apa pun patokan yang dipilih, utang Indonesia dikelola cukup baik dan berada di bawah kedua pagu di atas. Pada 2006, rasio ini berada di tingkat 39 persen dan pada 2013 sudah turun di level 23,4 persen.
Per 10 Januari 2014, utang pemerintah, dalam rupiah dan mata uang asing, berjumlah Rp 1.685,3 triliun. Penambahan Rp 48 triliun (US$ 4 miliar) seharusnya masih terkendali. Bahkan kenaikan bersih hanya US$ 1,05 miliar, kalau dikurangi US$ 2,95 miliar pinjaman pemerintah yang jatuh tempo pada tahun ini. Jadi masih ada cukup ruang untuk meminjam.
Apakah harga obligasi itu terlalu mahal? Obligasi dolar pemerintah berjangka 10 tahun dan 30 tahun yang lama diperdagangkan dengan yield 5,78 persen dan 6,46 persen. Imbal hasil ini tidak banyak berbeda dengan yield dari obligasi teranyar ini. Hal ini menunjukkan diskon yang diberikan cukup wajar untuk menarik dana US$ 4 miliar.
Indonesia kini dimasukkan ke kelompok lima negara yang rapuh bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki, karena defisit transaksi berjalan yang besar dan akibatnya mata uangnya melemah tajam. Namun, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), tingkat utang Indonesia dan defisit transaksi berjalannya terendah di antara lima negara itu. Hal ini menunjukkan pemerintah sejauh ini membuat langkah yang cukup tepat. Sayangnya, prestasi ini belum tecermin pada nilai tukar rupiah, yang sampai saat ini paling terpuruk di antara empat negara itu.
*) Praktisi perbankan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo