Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengadili para pewaris

Tahmid rahmat basuki, putra almarhum kartosuwiryo, dijatuhi hukuman 16 th penjara di pengadilan negeri jakarta barat. di bandung kakak tahmid, dodo muhamad darda sedang diadili bersama danu. (hk)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARUL Islam dan Negara Islam Indonesia, ternyata, tidak selesai dengan ditembak matinya tokoh utama pemberontakan itu, S.M. Kartosuwirjo, lebih dari dua puluh tahun lalu. Salah seorang putra Almarhum, Tahmid Rahmat Basuki, Selasa pekan lalu dijatuhi hukuman 16 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, karena dianggap terbukti melakukan kejahatan subversi: hendak mendirikan kembali Negara Islam Indonesia (Nll). Pekan-pekan ini pula di Bandung tengah disidangkan kakak kandung Tahmid, Dodo Muhamad Darda, 49, yang dianggap "putra mahkota" Kartosuwirjo. Bersama Dodo, ikut diadili pula bekas tangan kanan Kartosuwirjo, Haji Danu Mohamad Hasan Dodo dan Danu dituduh jaksa, bersama-sama dengan Tahmid, Haji Adah Djaelani. Ules Sudjai. Haji Zaenal Abidin, Kadar Solihat, Toha Mawardi, Haji Ateng Djaelani, dan tokoh-tokoh DI/TII lainnya yang mendapat amnesti dari pemerintah pada 1962 menghimpunkan kembali kekuatan untuk mendirikan NII. Pada sejumlah pertemuan bekas gerombolan DI/TII itu, sekitar 1970 sampai 1977, menurut jaksa, terbentuk kembali organisasi "NII Gaya Baru". Tertuduh Danu, misalnya, diangkat dalam organisasi itu menjadi panglima Komandemen Perang Wilayah Besar (KPWB) Jawa- Madura - semacam Kowilhan - yang membawahkan Komandemen Perang Wilayah (KPW), Komandemen Daerah (KD), dan Komandemen Kabupaten (KK) . Sebagai wakil, diangkat Haji Hispran Pranoto, dan kepala staf KPWB, Dodo, sang putra mahkota Organisasi NII itu di tingkat atas dilengkapi dengan kepala staf angkatan perang yang dijabat Tahmid. Sebagai kepala negara sekaligus "imam" NII, diangkat Adah Djaelani, yang dibaiat di Tangerang, 1979, (TEMPO, 19 Februari, 1979). Menurut Jaksa Safri, untuk mencapai tujuannya, NII Gaya Baru itu melakukan kegiatan-kegiatan, di antaranya membina kader, membaiat pengurus-pengurus sampai ke tingkat kabupaten, serta mencari dana. Upaya mencari dana inilah, seperti terbukti di pengadilan, yang kemudian meresahkan masyarakat. Tahmid, 38, yang dihukum di Jakarta, misalnya, terbukti memberikan peluang anak buahnya untuk melakukan perampokan dan pembunuhan di Depok, Majenang, Ciamis, dan Purwakarta. Juga serangkaian teror dan pembunuhan di Jawa Tengah yang dipimpin Hispran. Para tertuduh di persidanan tidak mengaku melakukan gerakan untuk mendirikan NII. Danu, 65, bahkan mengoreksi keterangan tentang dirinya seperti yang dibacakan Hakim Djaja Djaelani bahwa ia pedagang dan petani. "Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin," ujar Danu. Ia mengaku sebagai anggota Bakin (Badan Koordinasi Inteligen) di bawah pembinaan seorang perwira tinggi. Namun, Danu tidak bisa memperlihatkan kartu anggotanya kepada Majelis. Bercerita kepada TMPO, Danu menyatakan bahwa ia mulai dibina sejak 1962, dan sampai sekarang masih anggota. "Kalau tidak percaya, tanya ke Bakin," katanya. Atas permintaan instansi itu dan Kodam VI Siliwangi, katanya, ia tiga kali mengumpulkan bekas DI/TII. Pertama kali, ia menghimpunkan bekas teman-temannya itu pada 1971, untuk membendung bahaya komunis. Pada 1977, dua kali ia mengadakan pertemuan - salah satu di antaranya di Kodam Siliwangi - dalam rangka persiapan pemilu dan pernyataan sumpah setia kepada bangsa dan negara. Pertemuan-pertemuan itulah, menurut Danu, yang kemudian dikemukakan Jaksa sebagai kegiatan subversi. Namun, "biar saja ia menuduh begitu, benar tidaknya kita lihat di persidangan," ujar Danu, yang tetap yakin bahwa hakim akan adil memeriksa dan memutus perkaranya. Pemerintah memang tidak menyangkal bahwa pernah membma bekas tokoh-tokoh DI/TII. Jaksa Agung Ismail Saleh, sebelum membawa kasus NII Gaya Baru itu ke pengadilan, membenarkan bahwa pemerintah pernah mencoba membina semua tertuduh - bahkan sampai memberi modal untuk berdagang. Tapi, ternyata, bekas DI/TII itu, menurut Jaksa Agung, menggunakan kesempatan untuk mengkonsilidasikan diri. "Dengan dalih tetap taat dan bekerja sama dengan pemerintah, bantuan yang mereka terima digunakan untuk mengadakan kontak-kontak, menggalang kekuatan mendirikan NII," ujar Jaksa Agung (TEMPO, 19 Februari). Tuduhan Jaksa Agung ternyata dibenarkan pengadilan. Terbukti, beberapa tokoh yang diadili dinyatakan bersalah dan dihukum. Di Jakarta, antara lain Ules Sudjai, Aceng Kurnia, Sayiful Iman dan Opa Mustafa, sebelumnya telah dijatuhi hukuman antara 12 dan 18 tahun penjara. Adah Djaelani, yang dinobatkan sebagai imam, juga beberapa waktu lalu dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus