DARUL Islam dan Negara Islam Indonesia, ternyata, tidak selesai
dengan ditembak matinya tokoh utama pemberontakan itu, S.M.
Kartosuwirjo, lebih dari dua puluh tahun lalu. Salah seorang
putra Almarhum, Tahmid Rahmat Basuki, Selasa pekan lalu dijatuhi
hukuman 16 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat,
karena dianggap terbukti melakukan kejahatan subversi: hendak
mendirikan kembali Negara Islam Indonesia (Nll).
Pekan-pekan ini pula di Bandung tengah disidangkan kakak kandung
Tahmid, Dodo Muhamad Darda, 49, yang dianggap "putra mahkota"
Kartosuwirjo. Bersama Dodo, ikut diadili pula bekas tangan kanan
Kartosuwirjo, Haji Danu Mohamad Hasan Dodo dan Danu dituduh
jaksa, bersama-sama dengan Tahmid, Haji Adah Djaelani. Ules
Sudjai. Haji Zaenal Abidin, Kadar Solihat, Toha Mawardi, Haji
Ateng Djaelani, dan tokoh-tokoh DI/TII lainnya yang mendapat
amnesti dari pemerintah pada 1962 menghimpunkan kembali kekuatan
untuk mendirikan NII.
Pada sejumlah pertemuan bekas gerombolan DI/TII itu, sekitar
1970 sampai 1977, menurut jaksa, terbentuk kembali organisasi
"NII Gaya Baru". Tertuduh Danu, misalnya, diangkat dalam
organisasi itu menjadi panglima Komandemen Perang Wilayah Besar
(KPWB) Jawa- Madura - semacam Kowilhan - yang membawahkan
Komandemen Perang Wilayah (KPW), Komandemen Daerah (KD), dan
Komandemen Kabupaten (KK) .
Sebagai wakil, diangkat Haji Hispran Pranoto, dan kepala staf
KPWB, Dodo, sang putra mahkota Organisasi NII itu di tingkat
atas dilengkapi dengan kepala staf angkatan perang yang dijabat
Tahmid. Sebagai kepala negara sekaligus "imam" NII, diangkat
Adah Djaelani, yang dibaiat di Tangerang, 1979, (TEMPO, 19
Februari, 1979).
Menurut Jaksa Safri, untuk mencapai tujuannya, NII Gaya Baru itu
melakukan kegiatan-kegiatan, di antaranya membina kader,
membaiat pengurus-pengurus sampai ke tingkat kabupaten, serta
mencari dana. Upaya mencari dana inilah, seperti terbukti di
pengadilan, yang kemudian meresahkan masyarakat. Tahmid, 38,
yang dihukum di Jakarta, misalnya, terbukti memberikan peluang
anak buahnya untuk melakukan perampokan dan pembunuhan di Depok,
Majenang, Ciamis, dan Purwakarta. Juga serangkaian teror dan
pembunuhan di Jawa Tengah yang dipimpin Hispran.
Para tertuduh di persidanan tidak mengaku melakukan gerakan
untuk mendirikan NII. Danu, 65, bahkan mengoreksi keterangan
tentang dirinya seperti yang dibacakan Hakim Djaja Djaelani
bahwa ia pedagang dan petani. "Saya bukan pedagang atau petani,
saya pembantu Bakin," ujar Danu. Ia mengaku sebagai anggota
Bakin (Badan Koordinasi Inteligen) di bawah pembinaan seorang
perwira tinggi. Namun, Danu tidak bisa memperlihatkan kartu
anggotanya kepada Majelis.
Bercerita kepada TMPO, Danu menyatakan bahwa ia mulai dibina
sejak 1962, dan sampai sekarang masih anggota. "Kalau tidak
percaya, tanya ke Bakin," katanya. Atas permintaan instansi itu
dan Kodam VI Siliwangi, katanya, ia tiga kali mengumpulkan bekas
DI/TII. Pertama kali, ia menghimpunkan bekas teman-temannya itu
pada 1971, untuk membendung bahaya komunis. Pada 1977, dua kali
ia mengadakan pertemuan - salah satu di antaranya di Kodam
Siliwangi - dalam rangka persiapan pemilu dan pernyataan sumpah
setia kepada bangsa dan negara. Pertemuan-pertemuan itulah,
menurut Danu, yang kemudian dikemukakan Jaksa sebagai kegiatan
subversi. Namun, "biar saja ia menuduh begitu, benar tidaknya
kita lihat di persidangan," ujar Danu, yang tetap yakin bahwa
hakim akan adil memeriksa dan memutus perkaranya.
Pemerintah memang tidak menyangkal bahwa pernah membma bekas
tokoh-tokoh DI/TII. Jaksa Agung Ismail Saleh, sebelum membawa
kasus NII Gaya Baru itu ke pengadilan, membenarkan bahwa
pemerintah pernah mencoba membina semua tertuduh - bahkan sampai
memberi modal untuk berdagang. Tapi, ternyata, bekas DI/TII
itu, menurut Jaksa Agung, menggunakan kesempatan untuk
mengkonsilidasikan diri. "Dengan dalih tetap taat dan bekerja
sama dengan pemerintah, bantuan yang mereka terima digunakan
untuk mengadakan kontak-kontak, menggalang kekuatan mendirikan
NII," ujar Jaksa Agung (TEMPO, 19 Februari).
Tuduhan Jaksa Agung ternyata dibenarkan pengadilan. Terbukti,
beberapa tokoh yang diadili dinyatakan bersalah dan dihukum.
Di Jakarta, antara lain Ules Sudjai, Aceng Kurnia, Sayiful Iman
dan Opa Mustafa, sebelumnya telah dijatuhi hukuman antara 12 dan
18 tahun penjara. Adah Djaelani, yang dinobatkan sebagai imam,
juga beberapa waktu lalu dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini